Senin, 09 November 2009

Pasal 20 - Kesaksian Saya Meninggalkan Islam

“[setelah meninggalkan Islam], saya mulai kuliah.. saya memilih apa yang ingin saya kenakan, saya memilih bagaimana saya hidup. Saya membawa anak-anak saya menjauh dari pengaruh yang merusak dari Islam. Saya berharap banyak orang Muslim dapat meninggalkan Islam tahun ini dan tahun-tahun berikutnya sampai tidak seorangpun tersisah.”

Sementara serangan teror telah menggoncangkan dunia, beberapa orang yang murtad telah mengalami bentuk terorisme dan penyiksaan terhadap mereka dalam rumah mereka sendiri. Dalam cerita Shara kita belajar bagaimana penyiksaan dan tirani terjadi di tengah-tengah keluarga Islam ditolerir dan bagaimana hal seperti itu bahkan bisa terjadi dalam sebuah keluarga di Inggris. Sungguh, pada beberapa tahun terakhir ini kita menyaksikan istilah dan efek dari “pembunuhan demi menjaga kehormatan” di banyak kota di Barat. Kesaksian Shara memberikan bukti lebih banyak lagi bahwa wanita secara berkala menderita di bawah Islam – bahkan ketika mereka hidup di negara Barat.

Kesaksian Shara

Ayah saya, seorang Maroko, datang ke Inggris di awal tahun 70 an. Dia mengajukan visa mahasiswa pada waktu itu, dan urusan imigrasi tidaklah sesulit seperti saat ini.

Dia adalah seorang Muslim yang sangat taat pada waktu itu dan memiliki jiwa pemberontak. Dia bertemu dengan ibu saya, seorang warga negara Inggris, tidak beberapa lama setelah dia tiba di Inggris. Dan setelah bertemu dengannya beberapa kali, dia memutuskan untuk menikahinya.

Ibu saya berumur 16 tahun ketika menikah dengan ayah saya, dan ibu saya masih tidak sadar akan orang Muslim dan kebenaran tentang mereka. Setelah sekian tahun menikah, kakak perempuan saya lahir; keadaan menjadi tidak baik diantara orang tua saya. Ayah saya menjadi kasar dan seringkali mencambuk ibu saya hanya karena hal-hal sepele seperti, masakan yang terlalu asing dan lain sebagainya.

Ayah saya selalu memaksa ibu saya untuk menjadi seorang wanita Muslim, dan cintanya pada suaminya berarti bahwa dia tinggal di rumah dan melahirkan saya setelah kakak perempuan saya berusia dua tahun. Ibu saya kemudian melahirkan adik perempuan saya empat tahun kemudian.

Sebagai seorang pria Muslim, ayah saya bertambah marah dengan kenyataan bahwa ibu saya hanya melahirkan tiga anak perempuan. Dia memukul ibu saya dengan keras sehingga ia dirawat di rumah sakit. Para dokter dipaksa untuk menghilangkan lukanya di tempat dimana ia dipukuli dengan keras. Ini hanya satu-satunya jalan untuk menyelamatkan hidupnya. Ketika ibu saya sadar, ayah saya dengan baik-baik mengatakan kepadanya bahwa dia akan menceraikan ibu saya karena dia tidak dapat lagi melahirkan, dan sebagai laki-laki dia membutuhkan seorang anak laki-laki.

Ibu saya melarikan diri dari ayah saya dan kami. Ketika adik saya berumur enam bulan, ibu saya mengemasi barang-barangnya dan meninggalkan kehidupan kami untuk kebaikan; kami tidak pernah melihatnya lagi sampai saya berumur dua puluh tahun (tetapi hal itu adalah cerita yang lain). Saya baru berumur empat tahun pada waktu itu, dan belum cukup dewasa untuk memahami mengapa dia meninggalkan kami. Yang saya lihat adalah bahwa dia tidak dapat mengasihi kami.

Ayah saya tidak dapat mengurus tiga orang anak, sehingga dia menyerah dan menempatkan kami di sebuah panti asuhan. Ini hanya keadaan sementara, sampai ia dapat mencukupi dirinya sendiri. Situasi ini berlangsung selama tiga tahun. Dia mengunjungi kami ketika kami tinggal di panti asuhan itu.

Bisakah anda bayangkan bagaimana kami merasa terhilang dan kesepian? Pada suatu waktu kami memiliki seorang ibu, kemudian dia meninggalkan kami, dan beberapa hari kemudian ayah kami membuang kami? Saya benar-benar menjadi seorang gadis kecil yang sangat tidak beruntung.

Tetapi saya melihat kembali masa tiga tahun ketika berada di panti asuhan dengan kegemaran tertentu, karena waktu itu adalah satu-satunya waktu dalam hidup saya ketika saya mengalami kegembiraan menjadi seorang anak. Ketika saya berumur tujuh tahun, ayah saya kembali dan mengambil kami ke rumahnya. Tetapi yang pertama ia perlukan adalah untuk menikah kembali. Jadi kami semua pergi ke Maroko untuk mengatur pernikahan.

Keluarga kami di Maroko tidak memberi kesempatan lagi kepadanya untuk menikahi seorang wanita kafir, dan mereka telah mengambil seorang wanita desa untuknya. Kami bertemu dengannya, dan dia terlihat cukup baik. Kami merindukan kasih seorang ibu.

Ayah saya menikahi wanita ini dan kami kembali ke Inggris untuk memulai kehidupan keluarga kami. Keadaan menjadi buruk: ayah saya menjadi sangat saleh dan ibu tiri kami menjadi seorang monster. Dia baru saja di Inggris beberapa bulan ketika kami mengalami pemukulan fisik yang pertama.

Dikarenakan kami telah tinggal di Inggris sebelum ayah kami mengambil kami kembali, kami tidak dapat berbicara bahasa Maroko, jadi hal pertama yang diterapkan adalah aturan yang baru. Tidak boleh berbicara di dalam rumah kecuali dengan bahasa Maroko. Mengetahui bahwa kami tidak mengetahui sedikitpun tentang bahasa Maroko, dan kami adalah anak-anak yang banyak berbicara, acapkali kami melanggar aturan. Kakak saya menyebut kata “Dad” dan bukannya menyebutnya dalam bahasa Maroko. Punggungnya dicambuk hingga berdarah. Kapan pun salah salah seorang dari kami melanggar peraturan, maka kami pasti menerima hukuman.

Hidup berubah dengan cepat, dan masa kanak-kanakku telah habis dengan perlakuan sewenang-wenang yang penuh dengan kesakitan, pemukulan, dan air mata. Sebagian besar hukuman fisik adalah dengan dicambuk, dibakar (sebuah pisau yang merah memanas ditempelkan pada kulit kami), diikat dan ditinggalkan, dan dipaksa memakan kotoran. Saya tidak berbohong, hal-hal tersebut adalah hal yang mereka lakukan untuk melatih kami, tetapi sesungguhnya saya sendiri tidak akan melatih seekor anjing seperti itu.

Kami bagaimana cara membaca Quran. Setiap melakukan kesalahan, kami akan dipukul. Kami melakukan semua pekerjaan rumah, dan kami menutupi diri ketika di sekolah. Kami tidak diijinkan memiliki teman, dan kami tidak pernah bepergian kemanapun. Satu-satunya waktu kami bersenang-senang adalah ketika kami berlibur ke Maroko. Kemudian orang tua kami menjadi terlalu sibuk untuk memperhatikan kami setiap saat.

Kemudian, saat saya berumur sebelas tahun, ketika berlibur ke Maroko, ayah saya memukul saya dengan keras di Medina (sebuah kota yang hampir selalu dikunjungi). Dia sangat kejam. Itu pertama kalinya saya mencoba untuk bunuh diri. Saya hanya ingin mati, menyerah, maka saya mengambil sebanyak mungkin pil yang dapat saya dapatkan dan menelannya. Amat disayangkan bahwa semua hal yang saya lakukan menyebabkan saya sendiri menjadi sangat menderita kesakitan. Saya menghabiskan waktu sepanjang malam dengan muntah, dan paman saya menjadi sangat khawatir. Dia berlari dan menjemput ayah saya, yang hanya melihat saya berbaring dan berkata, “Bagus, biarkan dia mati”. Percayalah apa yang saya katakan, pada saat itu saya benar-benar menginginkan kematian.

Tetapi saya tidak mati, saya melanjutkan hidup saya. Kami kembali ke Inggris, dan kehidupan berlanjut dengan cara yang sama: dipukuli dan menangis sepanjang malam.

Pada suatu hari ketika saya berumur tiga belas tahun, ibu tiri saya menjadi berlebihan ketika memukuli saya. Saya terlambat pulang ke rumah dari sekolah (tidak terlalu terlambat) karena saya belajar di perpustakaan. Saya berjalan memasuki rumah dan dia melompat ke atas saya. Saat itu ia mengenakan sepatu hak tinggi, dan menggunakan bagian hak tingginya untuk memukuli kepala saya. Dia terus memukul dan memukul. Saya teringat merasakan sesuatu yang hangat mengalir di wajah saya. Saya teringat meletakkan tangan saya ke wajah saya dan menariknya untuk melihat apakah tangan saya berlumuran darah, dan sungguh banyak darah.

Saya pun pingsan. Ketika sadar saya tengah berada di rumah sakit, dan mereka memberitahu saya bahwa saya mengalami koma selama tiga bulan.

Secara akademis, saya adalah seorang murid yang pandai. Saya lulus semua ujian dasar regular dan saya akan meraih penghargaan dengan disponsori oleh sekolah saya untuk pergi ke NASA ketika saya berumur enam belas tahun. Itu semua hanyalah mimpi karena ayah saya tidak akan mengizinkan saya pergi. Ini adalah contoh mengenai kebiasaannya belajar: Saya suka membaca, jadi saya menyembunyikan buku di kamar saya dan membacanya ketika saya mempunyai waktu luang. Koleksi buku saya menjadi susah disembunyikan dan ayah saya menemukan buku-buku saya. Dia memukul saya dan memperlihatkan kepada saya saat dia membakar buku-buku tersebut. Dia kemudian meletakkan Quran di tangan saya dan berkata bahwa itulah satu-satunya buku yang harus saya baca.

Tetapi serangan ibu tiri saya pada kepala saya, dan sesudah koma tiga bulan kembali menimbulkan efek buruk. Saya tidak mampu untuk sembuh secara total. Biasanya sekali melihat angka maka hal itu akan dengan mudah saya pahami, dan pelajaran ilmu pengetahuan pun saya anggap seperti sedang mengendarai sepeda. Tetapi saat itu semua semuanya membingungkan saya. Saya menjadi bodoh.

Saya ditempatkan di rumah negara, karena orang tua saya tidak lagi memiliki hak untuk merawat saya. Saya menjadi terapung-apung tanpa arah. Saya berhenti sekolah, sungguh memalukan bagaimana ranking saya menjadi sangat rendah di beberapa kelas. Orang-orang tahu apa yang telah terjadi pada saya, tetapi saya terlalu malu untuk berhadapan dengan mereka.

Ketika saya berumur tujuh belas tahun, saya pergi berlibur dengan keluarga saya ke Maroko. Saya mengetahui seberapa buruk orang tua saya kepada saya, dan saya tidak lagi hidup di rumah, tetapi saya masih mengharapkan kasih keluarga. Jadi saya memberi mereka kesempatan dan pergi bersama mereka. Saya mengetahui risikonya. Saya mengemasi kopian passport dan akta kelahiran saya, sejumlah uang ekstra, dan rincian kontak dengan kedutaan Inggris di Maroko. Saya khawatir bahwa mereka akan mencoba menahan saya dengan paksaan di Maroko.

Hal itu tidak hanya menjadi satu-satunya kekuatiran saya. Saya tidak mengenakan jilbab saat itu, dan berpakaian sebagaimana saya inginkan. Pada liburan itu, diperkosa tersebut oleh sepupu saya. Ketika dia menyelesaikan perbuatannya, dia melihat saya dan berkata bahwa saya tidak boleh memberitahu siapapun karena tidak seorangpun akan mempercayai saya, dan cara saya berpakaian menegaskan orang tidak akan menyalahkan dia.

Saya tahu dia benar. Saya menangis sampai tertidur selama waktu saya ada di sana. Tidak seorangpun mengerti mengapa saya menjadi penyendiri, atau mengapa saya membuat paman saya mengawal saya kemanapun – meskipun paman saya tidak mengetahui alasannya. Saya hanya membutuhkan seseorang untuk menemani saya.

Hal yang paling buruk adalah bahwa beberapa tahun kemudian saya memberitahukan kepada kakak saya apa yang saya alami. Saya perlu untuk memberitahu seseorang; saya membutuhkan seseorang untuk mengatakan kepada saya bahwa hal tersebut bukan kesalahan saya. Kakak saya pergi dan memberitahu orang tua saya. Mereka tidak mempercayai saya. Ayah saya membentak saya, dan ibu tiri saya mengatakan kepada saya untuk menganggap hal itu sebagai keberuntungan saya karena pria itu adalah seorang anak muda yang baik. Tidak ada yang menyakitkan selain hal tersebut…setidaknya belum.

Saya menghabiskan waktu tujuh tahun melakukan apa yang saya inginkan, pergi kemana saya mau. Berpakaian seperti apa yang saya kehendaki. Tetapi saya tetap seorang Muslim di dalam hati. Saya hanya menganggap diri saya sendiri sebagai seorang Muslim yang tidak melakukan kewajibannya. Saya punya persoalan, dan meskipun ayah saya sangat kejam kepada saya, saya masih mencoba memperoleh kebanggaan dan penerimaannya.

Saya bertemu dengan mantan suami saya ketika berumur dua puluh tahun. Saya berada di sebuah stasiun pengisian bahan bakar dan kami mulai berbincang-bincang. Dia terlihat sangat baik dan sopan, dan memiliki senyum yang manis. Dia juga seorang Maroko, dimana amat sempurna karena saya masih menginginkan ayah saya untuk mengasihi saya. Dia mengajak saya berkencan, dan saya menerimanya. Kami memiliki saat yang indah, dan hal itu berlanjut dengan kami bertemu satu sama lain ketika saya memiliki waktu luang dari pekerjaan saya.

Ia mengatakan kepada saya bahwa dia bekerja (kemudian saya ketahui bahwa dia berbohong). Ia biasanya meletakkan kepala saya di pangkuannya dan membelai rambut saya; dia penuh kasih sayang dan pengertian. Saya terhanyut. Bagi seseorang yang merasa tidak dikasihi selama hidup, saya akhirnya berpikir bahwa saya telah menemukannya.

Enam bulan pertama pertemuan diantara kami sangatlah spesial. Saya menghargai kenangan tersebut meskipun saat ini saat mengingatnya kembali terasa menyakitkan.

Kami menikah, dan saya hamil saat berumur dua puluh satu tahun. Dan saat itulah saya menemukan siapa suami saya sebenarnya. Jika dulu ia menyambut saya dengan kebaikan, sekarang cercaan keluar dari mulutnya setiap jam, setiap hari. Dimana dulu dia sangat penyayang, dia sekarang mengolok-olok saya, dan mengatakan kepada saya bahwa orang seperti saya tidak layak dikasihi. Dimana seharusnya kami menikmati malam di bioskop, atau di sebuah restauran, sekarang saya tidak diijinkan untuk pergi kemanapun, dan dia merasa tidak tertarik, sebagaimana dia menyebutnya, “ omong kosong Barat”.

Saat pertama dia memukul saya, yang ia lakukan hanyalah sebuah tamparan. Saya mengatakan bahwa itu hanya sebuah tamparan, karena saya tumbuh dengan penyiksaan pada masa lalu.

Saya memiliki rumah sendiri pada waktu itu, bukan milik saya, tetapi disediakan bagi saya oleh dewan. Rumah itu kecil tetapi itu adalah rumah, dan ia seharusnya tinggal disana bersama saya.

Penyiksaan menjadi bertambah buruk. Dia memanggil nama saya karena tidak memakai jilbab, jadi saya mengenakannya untuk membuatnya berhenti. Tetap saja dia tidak berhenti. Dia semakin buruk; dia mulai menendang, mencekik, dan memukul saya.

Ketika usia kehamilan anak pertama saya delapan bulan, dia pulang ke rumah dengan sangat marah. Saya membukakan pintu untuk menyambutnya dan dia menendang saya tepat melalui pintu ganda kami. Tidak masalah bahwa saya hamil darinya; tetapi yang ia lakukan sungguh menyakitkan bahwa dia menendang saya di perut dengan tidak memperhatikan anaknya yang sedang saya kandung.

Saya sedih ketika merasakan bahwa saya layak mendapatkannya. Sungguh mengherankan bahwa saya merasa bahwa saya pantas diperlakukan seperti itu, jika demikian dimanakah sesungguhnya harga diriku?

Juga, berdasarkan Islam, saya merasa wajib untuk tetap berusaha untuk menghadapinya. Saya melahirkan, tetapi tidak ada yang berjalan dengan baik. Saya masih tinggal bersamanya, meskipun saya tidak memiliki kuasa atas diri saya sendiri. Dia tidak mengizinkan saya untuk mendengarkan musik, menonton televisi, membaca buku-buku (membaca buku adalah kegemaran dan menjadi pelarian saya).

Saya tidak diijinkan bertemu dengan teman-teman saya kembali. Saya menjadi terkurung di rumah sebab ia merasa bahwa saya adalah setengah Inggris, dan saya mirip seperti orang yang tidak beriman.

Kapanpun dia memukul saya, dia selalu mengatakan bahwa dia diijinkan melakukannya; inilah mengapa saya menjadi sangat marah ketika orang Muslim mencoba berkata bahwa ayat tersebut berada di sana sebagai alat untuk pencegahan. Allah sendiri di dalam Quran mengijinkan seorang suami untuk memukul isterinya.

Saya tidak akan membuat anda bosan mendengarkan cerita panjang tentang keseluruhan waktu delapan tahun yang saya habiskan bersamanya, tetapi saya akan mengambil beberapa kejadian untuk menegaskan hal ini.

Hari dimana Menara Kembar WTC jatuh, dia sangat gembira. Dia merayakan kematian semua orang-orang itu; ibunya menyelenggarakan pesta besar dan banyak orang Muslim datang ke rumahnya untuk merayakannya. Saya harus duduk disana dan menonton mereka memutar ulang serangan berulang kali. Saya sangat marah dalam hati. Dia tidak dapat melihat kebencian saya kepadanya karena ia menyukai kematian. Ketika kami pulang ke rumah dia menghukum saya dan menyebut saya pecinta Yahudi.

Orang ini melakukan hal-hal yang mengerikan kepada saya selama saya menikah dengannya. Dia mencoba melarikan saya dengan mobilnya dan melemparkan saya keluar dari mobil yang bergerak. Dia memukul saya di depan anak laki-laki saya.

Dia mengatakan kepada saya setiap waktu betapa hinanya diriku dibandingkan dirinya karena saya bukan seorang Muslim yang murni, hanya setengah. Saya mencoba dengan keras untuk menyenangkannya; saya melemparkan diri saya ke dalam kepercayaannya dan mencoba membuktikan diri saya berharga. Tetapi tidak ada satupun yang saya lakukan dipandang cukup baik. Saya berdoa kepada Allah untuk menyelamatkan saya, tetapi tidak ada Allah, jadi tidak ada seorangpun yang menjawab.

Ketika saya mengetahui bahwa saya mengandung seorang anak perempuan, saya tahu bahwa ini adalah waktunya untuk pergi. Saya tidak menginginkan puteri saya tumbuh dengan pemikiran bahwa dia tidak lebih berharga dibanding laki-laki. Atau berpikir bahwa tidak mengapa seorang laki-laki memukul wanita. Saya tidak mau dia menjadi malu karenaku.

Sebagai ibunya saya menjadi contoh panutannya. Contoh panutan seperti apakah yang saya miliki jika saya tetap tinggal bersama suami saya? Jadi saya mengemasi barang-barang saya pada suatu hari ketika suami saya pergi, dan saya melarikan diri. Saya mengambil anak-anak saya bersama saya (tidak seperti ibu saya).

Hari tersebut akan selalu saya ingat hingga hari kematian saya. Saya menghentikan sebuah taksi, dan kami masuk ke dalamnya. Saya meninggalkan dia dan saya sangat senang. Saya melepaskan jilbab saya ketika kami berada pada jarak yang aman dari rumah, dan saya melemparkannya keluar melalui jendela taksi. Anda harus melihat muka dari sopir taksi; dia sangat terkejut sehingga tidak bisa mengatakan apapun.

Saya membiarkan mantan suami saya berhubungan dengan anak-anak saya untuk sementara waktu, tetapi saya menghentikannya sekarang, karena dia mengajarkan kepada mereka kebohongan Islam seperti biasanya, dan anak-anak menjadi sulit diatasi.

Sesungguhnya, kebebasan saya dimulai ketika saya menemukan Faith Freedom International (FFI), sebuah organisasi yang mendukung para Muslim yang tengah berharap untuk meninggalkan keimanannya. FFI membuka mata saya pada cara-cara baru dalam melihat kehidupan. Dan sekarang saya berharap bahwa keadaan menjadi lebih baik dari sekarang dan seterusnya. Bagi kami mantan Muslim, memang tidaklah mudah untuk membuang semua sisa pencucian otak yang telah kami terima sejak masih anak-anak. Saya masih menilai diri saya sendiri dan masih menemukan saat-saat dimana saya merenungkan kembali apakah saya telah melakukan hal yang benar. Tetapi kemudian saya hanya perlu mengambil Quran untuk mengingatnya dan saya merasa lebih baik. Pada suatu hari saya tidak mau memiliki kenangan itu lagi.

Saya mulai kuliah, saya memilih apa yang ingin saya kenakan, saya memilih bagaimana saya harus menjalani hidup. Saya membawa anak-anak saya menjauh dari pengaruh yang merusak dari Islam. Saya berharap banyak orang Muslim dapat meninggalkan Islam tahun ini dan tahun-tahun berikutnya sampai tidak seorangpun tersisa.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar