Rabu, 18 November 2009

KITAB SUCI ISLAM

Susunan Alquran

Ketika seseorang yang sudah terbiasa dengan Alkitab, lalu mengambil Alquran dan mulai membacanya, dia segera menyadari bahwa dia sedang berurusan dengan literatur yang seluruhnya berbeda dengan yang ditemukan dalam Alkitab.

Sementara Alkitab berisi banyak narasi sejarah, Alquran sangat miskin sejarah. Sementara Alkitab memberi penjelasan mengenai istilah-istilah atau teritori-teritori yang tidak dikenal, Alquran tidak memberi penjelasan terhadap hal-hal tersebut.

[ Sementara Injil menampilkan penggenapan nubuat dan saksi-saksi mata, Alquran tidak memberikan nubuatan, bukti dan saksi!].

Perbedaan-Perbedaan Struktural

Pada kenyataannya, cara Alkitab disusun sebagai suatu kumpulan dari 66 buah Kitab menunjukkan bahwa Alkitab diatur sesuai dengan kronologi, subyek, dan temanya.

Namun ketika anda berbalik kepada Alquran, anda akan menemukan susunan yang membingungkan dan campur aduk dari setiap Surat.

Beberapa ilmuwan Barat menyatakan bahwa struktur Alquran demikian campur baurnya, sehingga membutuhkan kerja keras buat seseorang untuk menggali isinya.

[ Dengan perbedaan format, struktur dan narasi antara kedua Kitab ini, cukuplah untuk mempercayai bahwa keduanya tidak datang dari sumber yang sama].

Komentar-Komentar Pakar





Ilmuwan Skotlandia, Thomas Caryle suatu saat mengatakan:

Sungguh bacaan yang sangat melelahkan ketika saya membacanya. Suatu yang menjemukan, campur aduk, dengan loncatan-loncatan narasi, acak-acakan yang membingungkan. Tidak ada pilihan lain kecuali kerja keras yang harus dilakukan orang Eropa kalau ingin memahami Alquran.

Ilmuwan Jerman, Salomon Reinach menyatakan:

Dari sudut pandang kesusasteraan, Alquran hanya sedikit manfaatnya. Deklamasi, pengulangan-pengulangan, mentah dan ketidak logisan, lepas-lepas, tidak menyatu, akan menyulitkan setiap pembaca polos untuk membacanya. Sungguh merendahkan martabat intelektual manusia memikirkan bahwa untuk sebuah Kitab yang mutu literaturnya tidak seberapa ini telah menjadi subyek dari sekian banyak komentar dan bahwa jutaan manusia telah membuang waktu secara sia-sia untuk mencernakan.

Ahli sejarah Edward Gibbon telah mendiskripsikan Alquran sebagai “suatu pujian fabel, suatu ajaran, serta deklamasi yang tidak menyatu yang kadang-kadang meninggi hilang di awan-awan.

Encyclopedia McClintock dan Strong menyimpulkan: Yang merupakan masalah dari Alquran yaitu bahwa Kitab tersebut sangat tidak koheren, menggunakan bahasa bunga, serta tidak memiliki alur berpikir yang logis secara keseluruhan maupun secara bagian demi bagiannya.

Bahkan ilmuwan Muslim, Ali Dashti mengeluhkan rendahnya mutu kesusasteraan Alquran sebagai berikut: Patut disayangkan bahwa pengeditan Alquran sangat jelek dan susunan isinya sangat tidak teratur. Semua siswa dalam mata pelajaran Alquran menyayangkan mengapa para editor Alquran tidak menggunakan metode yang logis yang biasa digunakan dalam menyusun urutannya menurut waktu wahyu tersebut diterima. Kenapa tidak mengikuti susunan kronologis seperti halnya dengan teks Alquran yang hilang milik Ali bin Abi Thaleb.

Buku Referensi Islam Standar, The Concise Encyclopedia of Islam, menyebutkan “Ciri-ciri tak beraturan dan tak bersatu sendi” dari teks Alquran.

Untuk menemukan tulisan-tulisan yang pararel dengan Alquran, seseorang harus menyelidiki mengenai kesusasteraan Arab zaman pra-Islam dimana kita dapat menemukan banyak contoh ekstatik semacam ini serta bahan-bahan puitis yang membingungkan.

[ E.H Parker, Guru Besar Universitas Cambridge, ahli bahasa Arab yang menterjemahkan Alquran ke dalam bahasa Inggris pada tahun 1876, menyatakan bahwa bahasa Alquran itu “kasar dan tidak teratur”. Tetapi pakar Muslim menanggapi pernyataan E.H Parker ini dengan mengatakan bahwa dia tidak dapat memahami keindahan bahasa Alquran].

Mekah Dan Medinah

Pelayanan keagamaan Muhammad sebagaimana yang tercantum dalam Alquran tersebar dalam dua periode. Periode pertama berlangsung di Mekah paling tidak sebelum tahun 612 sesudah Masehi dan berjalan selama kurang lebih 10 tahun. Periode kedua dipusatkan di Medinah dan sekali lagi berlangsung kurang lebih 10 tahun sampai Muhammad meninggal tahun 632 sesudah Masehi. Kedua bagian pelayanan tersebut telah diakui oleh para ilmuwan pada umumnya.

Kematian Yang Tidak Diramalkan

Sebagaimana yang telah kami sampaikan, Muhammad tidak bisa meramalkan kematiannya sendiri, walaupun dia menyatakan dirinya adalah Nabi Tuhan. Oleh karenanya Muhammad tidak mempersiapkan untuk mengumpulkan dan menyusun semua berkas-berkas dari wahyu yang diterimanya dalam satu kumpulan dokumen.

[ Ia juga tidak sempat tinggalkan wasiat, kepada siapa pimpinan Islam harus diserahkan dan diteruskan].

Tidak Ada Naskah Aslinya

Dari catatan sejarah yang tidak ada keraguan dalam ketelitiannya yang dapat dipercaya, kita mengetahui bahwa ketika Muhammad mengalami keadaan seperti orang kerasukan (trans) dan kemudian berbicara kepada orang-orang lain tentang apa yang dilihatnya selama tenggang waktu itu, dia tidak menulis sendiri ceritanya itu dalam suatu naskah.



Berbeda dengan pernyataan-pernyataan tanpa landasan yang diungkapkan oleh sebagian pembela Islam modern, Muhammad sendiri tidak menulis atau menyiapkan naskah akhir Alquran.

Kematiannya tidak terduga baik oleh para pengikutnya maupun oleh dirinya sendiri. Dia bahkan tidak punya kesempatan untuk mengumpulkan catatan-catatan dari sejumlah Surat yang berceceran.

Tulang-Tulang, Daun-Daun, Dan Batu-Batu

Segalanya tergantung pada para pengikut Muhammad untuk mencoba dan mencatatkan apa yang pernah Muhammad ucapkan. Catatan-catatan ini ditulis sebisanya di atas bahan-bahan yang seadanya tersedia di kala Muhammad mengalami keadaan kesurupan (trans) yang tak terduga sambil menerima wahyu.

The Concise Encyclopedia of Islam berkomentar:

Alquran dikumpulkan dari apa yang dituliskan pada lapisan luar benda-benda atau apapun yang dapat ditemukan, dari potongan-potongan papyrus, batu-batu rata, daun palem, tulang belikat atau tulang rusuk binatang, potongan-potongan kulit, papan-papan kayu, dan...dari hafalan orang-orang yang mengetahuinya.

Bahkan ilmuwan Muslim yang dikenal secara internasional Mandudi, mengakui bahwa Alquran aslinya dicatat pada daun-daun pohon kurma, kulit-kulit pohon, tulang dan lain-lain.

Di kala tidak ada benda-benda di sekelilingnya yang dapat ditulisi, mereka berusaha menghafalkan wahyu yang diperoleh Muhammad sedapat mungkin mendekati aslinya. Menurut Mandudi tugas yang dihadapi oleh para pengikut Muhammad setelah kematiannya yang tidak terduga adalah mengumpulkan semua kotbah-kotbah Muhammad yang berceceran, sebagian bahkan ditulis pada benda-benda yang dapat memudar, sebagian yang lain tidak ditulis tetapi hanya berdasarkan hafalan.

Hal ini tentunya menimbulkan kesulitan besar. Beberapa kulit pohon hancur atau rusak dan beberapa batu hilang. Lebih parah lagi, seperti yang ditulis Ali Dashti, hewan-hewan pada masa itu makan daun palem atau lembaran anyaman daun-daunan di atas mana tertulis Surat-Surat Alquran.

Beberapa orang yang mengetahui Surat-Surat tertentu telah mati dalam peperangan sebelum mereka sempat menyalin apa yang telah mereka dengar/ketahui.

Pengumpulan bahan-bahan Alquran berlangsung beberapa tahun. Banyak masalah muncul karena daya ingat dan hafalan-hafalan seseorang tidak persis sama dengan orang lain. Hal ini merupakan salah satu kelemahan manusia yang tidak dapat diabaikan. (Ketika lebih dari satu orang yang hadir dan mendengar kotbah yang sama diminta untuk menceritakan kembali apa yang mereka dengar sering timbul silang pendapat mengenai apa yang persis diucapkan oleh si pengkotbah!)

Seperti yang akan kita lihat nanti, masalah perbedaan tersebut diatasi/dipecahkan dengan menggunakan cara kekerasan fisik dan memaksa orang-orang untuk menggunakan hanya salah satu versi saja tentang apa yang pernah dikatakan Muhammad. Tidak diberi peluang untuk mengakomodasikan versi-versi lain dari catatan tentang apa yang diucapkan Muhammad itu.

Urut-Urutan dari Surat-Surat Alquran

Jika anda membuka Alquran, anda akan menemukan bahqa 114 Surat, atau wahyu, yang diberikan kepada Muhammad memang tidak tersusun menurut urutan kronologis ketika mana wahyu diturunkan. Seandainya telah tersusun menurut urutan kronologis pasti Surat pertama adalah merupakan wahyu yang diterima Muhammad pertama pula dan Surat terakhir pasti juga merupakan wahyu terakhir.

[ Wahyu pertama dari Allah yang diterima Muhammad dari langit, kini di dunia menjadi Surat urutan yang ke-96 (Al’Alaq). Urutan kronologis turunnya wahyu ditiadakan, dan diganti dengan urutan acak, sehingga malah berubah berdasarkan sisipan ayat susulan dan panjangnya Surat!

Surat Pertama al-Fatihah yang ada sekarang ini tidak diketahui kapan diturunkan. Tidak seorang pakar Islam-pun yang tahu di mana posisinya ketika diturunkan: sebelum atau sesudah Surat apakah? Utsman menempatkannay sebagai Surat pertama, namun kehadirannya sebagai Surat wahyu ditolak oleh Ibnu Mas’ud, sahabat Muhammad yang paling berotoritas dalam surat-surat Makkiyah].

Alquran juga tidak disusun dengan menggunakan pola narasi sejarah yang runtun di mana kita dapat mengikuti kehidupan, tindakan-tindakan, dan pengajaran-pengajaran yang dilakukan oleh Muhammad mulai dari awal sampai akhir.

Sebaliknya kita dihadapkan pada kumpulan Surat-Surat yang campur baur yang tidak menggambarkan adanya pola penyusunan secara wajar sesuai konteksnya.

Cara Alquran dibundel oleh penerus Muhammad setelah dia meninggal semata-mata hanya berdasarkan ukurannya (panjangnya/volum-nya). Jadi Alquran disusun mulai dari Surat yang paling panjang sampai pada Surat yang paling pendek, dengan tidak memperdulikan urutan kronologisnya turunnya wahyu.

[ Dan itu diklaim dengan mengatas namakan “Penetapan Nabi” berdasarkan permakluman Jibril. Padahal urutan ayat dan Surat tidak pernah ditetapkan oleh Muhammad secara baku.

Lihat balik tradisi, ketika mana Muhammad mengadakan pengajian ayat Surat-surat Quran dari waktu ke waktu. Adakah pembacaan/pengajian itu memastikan satu metode baku pengurutan? Ibnu Mas’ud dalam satu acara khusus pernah mendemonstrasikan mengaji hingga lebih dari 70 Surat (di mana Muhammad sendiri hadir dan tidak ada yang menyalahkan pengajiannya, (Sahih Muslim, vol 4, hlm 1312), namun jelas pengajian ini TIDAK MENURUTI URUTAN SURAT YANG BAKU, terbukti Ibnu Mas’ud sendiri menolak Al-Fatihah dan Surat 113 dan 114 sebagai wahyu Allah (lihat Al-Itqan dalal bab Pengumpulan Alquran). Kronologi urutan sebenarnya mutlak dibutuhkan karena Allah SWT sendiri berulang-ulang menurunkan ayat-ayat baru “nasakh” untuk mengganti ayat-ayat lama “mansukh” yangt dibatalkan-Nya.

Jadi per definisi, konsep dasar “nasakh-mansukh” adalah bersifat kronologis. Apakah mungkin Allah SWT sekali menurunkan ayat-ayat kronologis, lalu sengaja mengacakkan ayat-ayatNya, sambil sebagiannya di-nasakh-kan dan dibatalkan, kemudian semuanya ditempatkan dalam Surat-surat yang nantinya diurut lagi berdasarkan panjangnya? Kedengarannya amat melecehkan Daya Cipta-Nya]

Penanggalan Surat-Surat Alquran

Dalam pelayanan kerohanian, setiap pimpinan agama cenderung bersuara makin panjang sesuai dengan makin lamanya pelayanannya. Maka sebagian besar ilmuwan percaya bahwa Surat-Surat Alquran yang pendek adalah bagian dari Surat-Surat awal yang diajarkan Muhammad. Seiring dengan berjalannya waktu dan banyaknya pesan yang akan disampaikan, Surat-Surat Alquran menjadi makin panjang.

[ Itu namanya pentahapan yang baik. Tetapi sekalipun Quran mengakui pewahyuan tahapan-angsur berdikit-dikit (QS. 76: 23 dll), namun justru Utsman menyusunnya berdasarkan keterbalikan 180 derajat dari pentahapan yang baik dan logis ini].

Namun sesekali terjadi pula campuran wahyu-wahyu yang diturunkan di Mekah (disebut Surat Makkiyah) dengan wahyu-wahyu yang diturunkan di Medinah (disebut Surat Madaniyah) di dalam satu Surat yang sama. Sehingga sekalipun urutan Alquran mengacu kepada ukuran (panjangnya) Surat, namun hal itu tetap merupakan suatu cacat terbuka dalam pemberian urutan pada Surat-Surat Alquran yang seharusnya baik dan sempurna.

Kata Ganti Orang Pertama

Umat Muslim menyatakan bahwa Alquran selalu ditulis dalam kata ganti orang pertama (maksudnya aku, saya, atau kami), karena Allah sendiri sebagai Aku berbicara pada manusia. Pernyataan semacam ini, bagaimanpun, tidak sesuai dengan teks Alquran. Banyak bagian yang dengan jelas menunjukkan bahwa bukan Allah yang berbicara, tetapi Muhammad.

[ Contoh yang amat menyolok adalah Surat Al-Fatihah, di aman wahyu dari muluit Allah telah dimulai sejak dari ayat 1, ayat basmalah. Ayat ini, bersdama dengan ayat 2, 3, dan 4, memperlihatkan betapa Allah memuji diriNya sendiri. Namun selanjutnya, tiba-tiba mulut Allah berganti menjadi mulut manusia yang menyerukan “ayat” 5, 6, 7: “Hanya engkaulah yang kami sembah dan hanya kepada engkaulah kami mohon pertolongan, tunjukilah kami jalan yang lurus”?].

Pengulangan Tiada Akhir

Masalah lain yang berkenaan dengan Alquran yaitu bahwa Alquran ditujukan untuk dihafalkan oleh orang-orang yang buta huruf dan tidak berpendidikan, sehingga Alquran menekankan pada pengulangan-pengulangan yang sama secara terus-menerus.

Akibatnya orang seringkali menemukan cerita-cerita yang sama yang diulang-ulang dalam Alquran. Bagi masyarakat buta huruf, pengulangan yang banyak itu memang sangat membantu mereka mengenal Alquran, namun bagi orang-orang berpendidikan hal tersebut hal yang sangat membosankan.

“Rasa” yang Benar (the right “feel”)

Pengamatan terakhir mengenai Alquran memberi kesan dan rasa bahwa Alquran tidak merupakan suatu karya yang lengkap.

Kalau anda membuka Alkitab, anda akan melihat bahwa Alkitab berawal dengan kalimat pada mulanya Tuhan menciptakan langit dan bumi (Kej. 1: 1)

Ketika anda terus membaca isi Alkitab, anda akan mengetahui adanya urutan kronologis mulai dari penciptaan, kejatuhan manusia ke dalam dosa, air bah, menara Babel, panggilan Abraham, tua-tua Alkitab, panggilan Musa, keluarnya bangsa Israel dari tanah perhambaan, pembentukan bangsa Israel, Israel menjadi bangsa tawanan lagi, orang-orang Israel dalam pembuangan, mereka kembali di bawah perintah Cyrus, pembangunan kembali Israel, nubuatan akan datangnya Messiah, kedatangan Messiah dan kehidupanNya, kematianNya, kebangkitanNya, dan berawalnya zaman gereja...Kemudian anda akan sampai pada buku terakhir dalam Alkitab, dan anda akan membaca mengenai berakhirnya alam jagat raya.

Alkitab memberi rasa dan kesan utuh, lengkap, karena diawali dengan pernyatan pada mulanya dan berlangsung terus sampai berakhirnya sejarah manusia.

Tidak Ada Awal, Tidak Ada Akhir

Tetapi kalau anda memperhatikan Alquran, karena kondisinya yang tidak beraturan, anda tidak akan dibawa kepada perasaan yang komplit. Anda merasa ada sesuatu yang lepas ngambang, setelah anda membaca Surat demi Surat, karena tidak ada kaitan kelogisan antara Surat yang satu dengan Surat yang lain.

Contohnya, satu Surat membahas mengenai hal sepele, bahwa Allah menghendaki agar para istri Muhammad berhenti berdebat dan cekcok di hadapannya, sementara Surat berikutnya meloncat mengenai penyerangan atas berhala-berhala Arab. Jadi anda merasakan sesuatu yang tidak utuh, juga merasa tida puas karena anda tidak dapat mengetahui inti ceritanya, apalagi secara keseluruhan.

[ Alquran mempunyai surat yang diklaim sebagai prolog yaitu Al-Fatihah, namun tanpa epilog. SURAT PENUTUP seharusnya ada demi merangkum ayat-ayat penutupan yang strategis, dan sekaligus memeteraikan amanat atau kesimpulan, pesan dan janji-janji Allah yang akan “pamit” berwahyu bagi uamtNya. Surat 114 (An-Naas, manusia) DITEMPATKAN TERAKHIR, namun itu hanya pinjam tempat saja. Ia bukanlah Surat dengan wahyu-wahyu khas penutupan Allah. Ia tidak memiliki keunikan dan keistimewaan tersendiri di antara surat-Surat lainnya bagi orang-orang Muslim. Apalagi isi Surat 114 ini pengulangan yang dipersempit dari Surat 113, yaitu sebentuk permohonan perlindungan kepada Tuhan dari kejahatan makhlukNya, jin dan manusia. Tambah ironisnya, Surat An Naas bersama dengan Surat Al-falaq (Surat al-Muauwadsatain) justru bermasalah, karena Ibnu Mas’ud menolak al-Muauwadsatain dan Al-Fatihah sebagai bukan bagian dari Al-Quran. (baca Al-Itqan bab tentang Pengumpulan Alquran).

Lain lagi Surat Al-Fatihah, yang memperlihatkan bahwa semula Surat tersebut tidak termasuk dalam Alquran, melainkan perkembangan tradisi bersembahyang-lah yang menjadikan ia diterima sebagai bacaan Quran (Imam Malik dalam Muwatta, Buku III/no 3.9.39). Karena tradisi yang berkembang mencari bentuknya, maka naskah Al-Fatihah menurut versi Shiah, dijumpai berlainan teksnya dibandingkan dengan teks Utsman (lihat Tadhkirat al-A’imma, Muhammad Baqir Majlisi, edisi Teheran 1331,p.18).

Abu bakar al-Asamm, imam masjid di Wasit dan guru Abu Bakar an-Naqqash, menyatakan bahwa Surat Al-Fatihah pada mulanya tak termasuk dalam bagian Quran, alias non wahyu (Ibnu al-Jazari Tabaqat, no.3943, vol II, p.404)].

Tradisi Yang Jalin-Menjalin Ke Dalam Wahyu

Tradisi dan pelaksanaan ibadah shalat/doa dan lain-lain, di masa awal perkembangan Islam bukanlah seperti apa yang kita kenal sekarang ini. Alquran memcatat banyak sekali ayat lepas, ayat secara bertahap yang menyuruh ruku’ (QS 2: 43, 3: 43, 22:77, 77: 48, dan lain-lain), ada yang ditahapkan bersujud (QS 15:98, 17: 107, 25:64, 84:21, dan lain-lain), ada yang menyuruh berdiri QS 25: 64, shalat berjamaah, bahkan ada doa santai ketika berdiri, duduk, dan berbaring, QS 3: 191. Semuanya masih mencari-cari bentuk. Quran umumnya menyebutkan 2 waktu bersembahyang, bukan 5 (yaitu “siang dan malam”, atau “pagi dan petang”, atau “sebelum dan sesudah matahari terbit”, lihat QS 17: 78, 20: 130, 24: 36, 50: 39, 76:25 dan lain-lain).

Memang ada ayat-ayat shalat hanya untuk malam hari, atau di tengah-tengah siang hari tanpa waktu khusus. Namun di manapun tidak pernah ada perintah 5 waktu shalat yang persis yang ditetapkan oleh Alquran.

Dalam perkembangannya, pola dan tradisi sembahyang Nabi yang awal-awalnya berbasiskan wahyu tahapan itu segera “dikalahkan” dalam jalinan ritual tradisi (non wahyu) yang semakin formak sehingga timbul aturan 5 waktu persis untuk bershalat! Dan ini diadopsi sebagai WAHYU!

Hiruk pikuk perubahan shalat bukan hanya terbatas soal waktu, tetapi juga menyangkut pembatalan tata cara bersembahyang:

Kiblat shalat yang tadinya menghadap Yerusalem diubah menjadi menghadap Baitullah. Sembahyang malam yang tadinya diwajibkan separuh waktu setiap malam, tiba-tiba diringankan Allah menjadi bersembahyang dan membaca Alquran menurut apa yang dianggap mudah/nyaman.

Ayat-ayat wajib sembahyang tahajud yang panjang akhirnya juga dicabut. Penggantian ini terjadi begitu saja lewat satu Surat Makkiyah yang pendek, yaitu Surat 73.

Al-Fatihah tidak tercatat keabsahannya sebagai wahyu (kapan, di mana, bagaimana turunnya dan diperkenalkan), namun dalam perkembangannya dimufakati begitu saja sebagai wahyu agung, diberi nama Surat Al-Fatihah (bukan nama dari wahyu), dan karenanya ditempatkan urutannya sebagai Surat pertama.

[ Tidak heran Ibnu Mas’ud menolaknya sebagai wahyu, dan Rasululah sendiri memang sempat rancu menetapkan apakah Al-Fatihah wajib dibaca dalam shalat atau tidak. Di satu pihak ia berkata dalam tradisi (di luar wahyu) bahwa “tidak (sah) shalat orang yang tidak membacakan Al-fatihah”. Namun di lain pihak diriwayatkan Al-Bukhari dan Muslim bahwa Rasululah SAW mengatakan kepada seseorang yang belum baik bacaan shalatnya: “ Apabila engkau melaksanakan shalat, maka bertakbirlah, kemudian bacalah ayat-ayat Alquran yang mudah untukmu” (tidak harus membaca Al-Fatihah). Dan ini bahkan diberlakukan umum oleh wahyu Allah sendiri (QS 73:20): “maka bacalah apa yang mudah (bagimu) dari Alquran.” (bukan Al-Fatihah).

Dominasi tradisi shalat juga tampak ketika Abu Ubaida, menyusuli Ibnu Mas’ud menolak Al-Fatihah sebagai bagian Alquran. Orang-orang justru menepis penolakan Abu Ubaida itu dengan alasan bahwa “Surat Al-Fatihah” memang telah menjadi terlalu populer sehingga tidak ada masalah yang perlu dipersoalkan (The True Guiedance, IV.p.58)]

Kesimpulan

Bandingkan rumitnya “koordinasi ilahi” yang runtun dan utuh buat 66 kitab dalam Alkitab yang ditulis dalam kurun waktu beberapa ribu tahun oleh paling sedikit 40 orang penulis yang saling asing dan berbeda. Lalu kontraskan dengan Alquran yang tidak runtun walau diturunkan hanya lewat satu tangan (Muhammad) selama satu masa hidupnya, maka pasti anda tidak akan berhasil membandingkan keduanya. Terlalu superior yang satu terhadap yang lain!

Klaim sepihak bahwa Alquran adalah merupakan kelanjutan dari Alkitab Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru sesungguhnya hanya merusak citra Islam sendiri, karena dalam analisis akhir, diketahui bahwa substansi, struktur dan gaya sastera Alquran sama sekali tidak cocok dengan yang bisa dijumpai dalam Alkitab Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru.

[ Sejarah tidak pernah menemukan Kitab Suci Israel bereksistensi seperti Quran].

Sebagian besar ilmuwan menyimpulkan bahwa bila kita berangkat dari Alkitab dan melanjutkannya ke Alquran sama saja artinya dengan berangkat dari yang bermutu tinggi menuju kepada mutu rendah, dari yang besar kepada yang kerdil, dari yang nyata kepada yang maya. –

Tidak ada komentar:

Posting Komentar