Kamis, 04 September 2008

Sambut Ramadan, Angelina Sondakh Jadi Mualaf


Katagori : Muslim Convert News
Oleh : Redaksi 04 Sep 2008 - 5:30 am

imagePuteri Indonesia 2001 yang kini menjabat sebagai anggota DPR, Angelina Sondakh ikut menjalani puasa karena ia sudah jadi mualaf. Hal itu disampaikan guru mengaji Angie, Habib Abdurrahman Assegaf.

"Dia masuk Islam tapi masih disembunyikan dari keluarga," ujar Habib Abdurrahman saat berbincang dengan detikhot di Perumahan Witanaharja, Pamulang, Tangerang, Banten, Selasa (2/9/2008) malam.

Dilanjutkan Habib Abdurrahman, Angie pasti akan bicara ke keluarganya soal dirinya sudah jadi mualaf. Namun kekasih Adjie Massaid itu menunggu waktu yang tepat.

"Ya seperti Iga Mawarni yang menyembunyikan Islamnya sampai tiga tahun dari keluarga," tutur pria yang menjadi guru mengaji sejumlah artis itu. Dalam mempelajari Islam, menurut Habib Abdurrahman, Angie berbeda dengan artis-artis lainnya. Jika sebagian besar artis yang menjadi muridnya belajar dengan datang ke rumahnya tidak demikian dengan perempuan asal Manado itu.

"Biasanya kita ketemu di luar," ungkap Habib Abdurrahman yang juga jadi guru mengaji Kristina itu.

Sayangnya ketika ditanya kapan persisnya Angie masuk Islam, Habib Abdurrahman enggan memberi tahu. Ia juga mengaku lupa saat ditanya kapan Angie mulai mempelajari Islam. (eny/eny/detikhot)

Angelina Sondakh Belajar Islam Sejak Dekat Adjie Massaid
imageGuru spiritual Angelina Sondakh mengakui kalau Puteri Indonesia 2001 itu mempelajari agama Islam. Angie belajar Islam persisnya sejak kenal dekat dengan kekasihnya Adjie Massaid.

"Angie belajar tentang Islam sejak dekat dengan Adjie dan ingin dekat dengan anak-anak Adjie," ujar sang guru spiritual Ustad Agus Abubakar Arsal saat ditemui di kediamannya di kawasan Jati Melati, Kampung Sawah no.39, Jatiwarna, Bekasi, Jawa Barat, Jumat (22/8/2008).

Keinginan Anggie tersebut ditambahkan sang ustad karena anggota DPR itu juga ingin membantu anak-anak kekasihnya ketika belajar. "Untuk itu ia mungkin juga merasa perlu belajar agama," jelas Ustad Agus Abubakar.

Angie yang belajar agama Islam menurut Ustad Agus adalah sesuatu hal yang wajar. Apalagi jika perempuan 30 tahun itu ingin menikah dengan Adjie, tentunya ia sudah harus jadi muslim.

Perempuan asal Manado itu memang belajar Islam setelah pacaran dengan Adjie. Namun menurut Ustad Agus Abubakar keinginan Angie tersebut bukan karena dorongan kekasihnya.

"Ia selalu menegaskan tidak ada hubungannya dengan Adjie. Jika kelak memang berjodoh, itu berarti pilihan Angie untuk memeluk agama Islam," urai pria lulusan Ilmu Filsafat Universitas Indonesia itu. (eny/eny/detik)

Selasa, 02 September 2008

Teologi Apologetik dalam Membaca “Kitab Suci”

Oleh : Redaksi 28 Aug 2008 - 6:00 pm

Oleh Qosim Nursheha Dzulhadi *)
imageDalam situs pribadinya, Ulil Abshar-Abdallah menulis satu artikel tentang cara membaca Kitab "Suci" –baik Al-Qur'an maupun yang lainnya. ( Memahami Kitab-Kitab "Suci" secara non-apologetik ). Dalam artikelnya itu, Ulil menolak pembaca Kitab "Suci" secara apologetic. Karenanya dia mengusulkan bagaimana membaca kitab "suci" itu secara non-apologetik. Dia merasa terganggu oleh kalangan umat Islam yang banyak menunjukan kontradiksi dalam Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru. Karena menurutnya, itu hanya usaha untuk menunjukkan kehebatan Al-Qur'an.

Artikel ini, hemat penulis, perlu dicermati karena menyangkut otentisitas Al-Qur'an. Selain itu, ada semacam usaha Ulil untuk "menyamakan" antara Al-Qur'an dengan kitab-kita agama lain –khususnya Bible. Di sini akan penulis kutip beberapa pernyataan Ulil yang penting untuk dikritisi.

Di awal artikelnya, Ulil menulis: "
SAYA sering terganggu oleh sikap beberapa kalangan Muslim apologetik yang dengan mudah menunjukkan adanya kontradiksi dalam Kitab Perjanjian Lama dan Baru. Dengan gigih sekali mereka mencoba memperlihatkan bahwa dalam dua kitab "suci" itu tersua sejumlah pertentangan internal.

Usaha itu bukan tanpa tujuan: yaitu untuk menunjukan kehebatan Quran sebagai Kitab "Suci" yang paling baik, solid, koheren, logis, tidak mengandung pertentangan internal apapun. Lalu mereka mengutip sebuah ayat dalam Quran yang terkenal, "Afala yatadabbarun al-Quran, wa law kana min 'indi ghair al-Lahi lawajadu fihi ikhtilafan katsira." (4:82) Artinya: Apakah mereka tak merenungkan secara mendalam mengenai Quran itu; seandainya ia berasal dari selain Tuhan, maka sudah pasti mereka akan menjumpai banyak pertentangan di dalamnya.

Hal serupa juga ada pihak Kristen (dan juga Yahudi). Saya banyak sekali menjumpai buku-buku apologetika Kristen (juga Yahudi) yang menunjukkan adanya sejumlah pertentangan internal dalam Quran."

Dia juga menulis:
Tanpa mengurangi penghormatan saya pada kepercayaan teman-teman Muslim yang lain mengenai Quran, sejauh menyangkut kontradiksi, dalam Quran banyak sekali kita jumpai kontradiksi dan pertentangan internal. Bukan hanya itu, dalam hampir semua Kitab "Suci" selalu akan kita jumpai kontradiksi semacam itu. Tugas penafsirlah untuk melakukan "harmonisasi" agar pertentangan itu bisa "dihaluskan" (explained away) atau malah dihilangkan sama sekali. Orang yang datang dari luar tradisi Islam (terutama orang Kristen), misalnya, dan ujug-ujug langsung membaca Quran, kemungkinan akan terperanjat, karena Quran di matanya boleh jadi mirip sebuah "jumble mumble", atau kitab yang sama sekali tanpa struktur, temanya loncat-loncat tanpa aturan, seperti sebuah buku yang tak diedit dengan baik, dan mengandung banyak kontradiksi di dalamnya. Dia akan cenderung membandingkan Quran dengan Kitab Perjanjian Lama yang lebih memiliki struktur naratif yang rapi. Hal yang sama terjadi pada orang yang datang luar tradisi Kristen (misalnya seorang Muslim), lalu ujug-ujug membaca Kitab Perjanjian Lama atau Baru, boleh jadi dia akan menjumpai sejumlah kontradiksi internal dalam kitab itu, apalagi menyangkut gambaran Tuhan dalam Perjanjian Lama yang, mohon maaf, tampak aneh dan sama sekali tak masuk akal."

Tentang keimaman seoramg Muslim terhadap kitab-kitab lain, Ulil menyatakan bahwa "sorang Muslim percaya bahwa kitab-kitab sebelum Quran bersumber dari Tuhan yang sama. Tetapi, iman mereka pada kitab-kitab itu tak sama dengan iman mereka pada Quran. Meskipun mengimani Bibel, tetapi mereka memandang Kitab "Suci" itu sebagai buku yang "defektif" atau cacat."

Dua Catatan Penting
Ada catatan penting, penulis kira, yang harus dikemukan berkaitan dengan pendapat Ulil ini. Pertama, Ulil menyayangkan adanya kaum Muslimin yang melihat kitab-kitab agama lain secara "apologetik". Ulil menginginkan agar hal ini tidak terjadi. Oleh karenanya, tidak boleh membaca kitab agama lain dengan "prasangka buruk". Di sini Ulil mungkin lupa bahwa kontradiksi dalam Al-Qur'an merupakan hal yang mustahil ditemukan. Oleh karenanya, ayat yang dikutip oleh umat Islam di atas adalah "tantangan" Allah s.w.t. bagi orang kafir, jika mereka mengklaim bahwa Al-Qur'an bukan dari Allah s.w.t. Masalah susunan Al-Qur'an yang tidak rapi dan tidak tertib, tidak jadi persoalan. Justru di situ letak keunikan Al-Qur'an. Studi-studi ulama Islam lewat tafsir tematik (al-tafsir al-mawdhu'iy) menyimpulkan harmonitas ayat-ayat Al-Qur'an. Imam al-Biqa'i (w. 885 H), misalnya, sangat "piawai" dalam mengharmoniskan surat-surat dan ayat-ayat Al-Qur'an dan tafsirnya 'Nazhm al-Durar fi Tanasub al-Ayat wa al-Suwar'.

Dan jika Ulil melihat bahwa Bible lebih naratif dan rapi, itu karena Ulil tidak membaca Bible secara kritis. Jika Al-Qur'an di balik ketidakrapiannya justru ayat-ayatnya "harmonis" (tidak saling kontradiktif), dalam Bible justru sebaliknya. Terkesan "rapi" dan "naratif" tapi malah tidak karuan ayat-ayatnya. Sebagai contoh: dalam Kitab Keluaran dijelaskan bahwa Musa mengetahui "kapan dan dimana" dia meninggal dan dikuburkan. Tentu saja ini bertentangan dengan realitas. Dengan begitu, ayat Perjanjian Lama (Torah) ini mengesankan bahwa bukan Musa yang menulisnya melainkan orang ketiga. Ini lah kemudian yang dikritik oleh Baruch Spinoza (1632-1677).

Atau beberapa ayat yang saling bertentangan. Misalnya, dalam kitab Ulangan (12: 9-10) bahwa hukum Taurat ditulis oleh Musa." Ini jelas kata orang ketiga, bukan kata Musa. Dalam kitab Kejadian juga (22: 14) disebutkan bahwa gunung Moria dinamai dengan gunung Allah. Padahal nama ini baru dipakai setelah pembangungan kuil dimulai, yaitu setelah zaman Musa. Bahkan Musa tidak pernah menunjukkan tempat yang dipilih oleh Allah, dia hanya meramalkan bahwa Allah akan memilih satu tempat yang memakai nama Allah. (Lihat, Baruch Spinoza, Kritik Bible, Terj: Salim Rusydi Cahyono, (Bekasi, Fima Rodheta, 2006: 47).

Maka, merupakan hal yang wajar jika kedua umat yang berbeda itu saling tidak mengimani kitab orang lain. Walaupun berbeda dengan umat Islam, dan ini diakui oleh Ulil. Walaupun Ulil menambahkan bahwa umat Islam masih melihat bahwa kitab-kitab yang lain adalah "defektif" atau cacat. Pandangn ini bukan tanpa dasar. Allah sendiri yang menjelaskan dalam Al-Qur'an bahwa kaum Ahli Kitab "terbiasa" melakukan distorsi terhadap kitab "suci" mereka. (Lihat, Qs. Al-Baqarah [2]: 75; al-Nisa' [4]: 46; al-Ma'idah [5]: 13 dan 41). Dan banyak ayat-ayat yang lainnya.

Tentu pandangan ini sulit diterima oleh seorang Ulil. Karena dia menginginkan agar seorang Muslim –usulan Ulil—membaca Bible lewat kacamata orang Yahudi-Kristen. Di sisi lain –dan ini dapat dipastikan mustahil—Ulil menyeru agar mereka membaca Al-Qur'an sebagai umat Islam membacanya. Meskipun dia juga 'mengejek' umat Yahudi-Kristen dengan mengatakan, mohon maaf, tampak aneh dan sama sekali tak masuk akal.

Solusinya, menurut Ulil, adalah mengikut nasehat Durkheim: "What I ask of the free thinker is that he should confront religion in the same mental state as the believer… He who does not bring to the study of religion a sort of religious sentiment cannot speak about it! He is like a blind man trying to talk about colour." (hal. xvii, dikutip dari pengantar Karen E. Fields atas karya utama Durkheim, "Elementary Forms of Religious Life").

Dengan kata lain, saat membaca suatu Kitab "Suci" dari agama manapun, kita harus memiliki "religious sentiment" –meminjam istilah dari Durkheim itu– sebagaimana dimiliki oleh orang yang mengimani kitab itu. Jika kita kehilangan sentimen itu, maka kita akan melihat sejumlah pertentangan dalam kitab tersebut.

Jika anda kebetulan seorang Muslim, cobalah sekali-kali anda membaca Quran dengan mengambil "jarak" sebentar, mencoba keluar dari sentimen keimanan yang selama ini anda miliki.

Dalam keadaan sebagai seorang "skeptis sementara" itu, anda akan menjumpai sejumlah hal yang kontradiktif dan tak masuk akal dalam Quran. Sebagai contoh saja, dalam satu ayat dikatakan bahwa Tuhan tak menyerupai apapun, Laisa kamitslihi syai'un (42:11), tetapi dalam banyak ayat yang lain Tuhan digambarkan memiliki tangan, wajah, bahkan dalam hadis digambarkan pula memiliki jari-jari (ashabi' al-rahman).

Jika orang Islam keberatan dengan penggambaran tentang Tuhan yang "brutal" dan sangat antropomorfis dalam, misalnya, Perjanjian Lama, maka mereka sebetulnya lalai bahwa dalam Quran juga kita jumpai penggambaran yang kurang lebih serupa: Tuhan yang "brutal" dan antropomorfis.

Bagaimana umat Islam bisa melewatkan begitu saja kisah tentang Nabi Nuh di Quran tanpa bertanya-tanya secara "kritis": bagaimana mungkin Tuhan menenggelamkan seluruh umat manusia hanya karena mereka tak beriman kepada Nuh dengan sebuah banjir besar yang melanda begitu hebat? Apakah reaksi Tuhan semacam ini tidak keterlaluan? Mana sifat belas-kasih Tuhan? Baiklah, granted,Tuhan memang mempunyai sifat adil dan pengazab, selain sifat rahman dan rahim (kasih sayang).

Tetapi mengirim banjir begitu hebat untuk mengazab seluruh manusia hanya gara-gara segelintir manusia tak beriman kepada Nabi Nuh — apakah azab seperti itu proporsional? (Jawab seseorang yang memiliki sentimen keagamaan tentu sudah bisa kita tebak: rasio manusia tak mampu memahami tindakan Tuhan).

Banyak hal dalam Quran yang bisa kita persoalkan secara "kritis", kalau kita mau sebentar melepaskan diri dari sentimen keimanan sebagai seorang Muslim.

Itulah yang terjadi pada seorang Muslim yang membaca Bibel: karena mereka tak memiliki sentimen keagamaan seperti dimiliki oleh umat Kristen, maka mereka menjumpai banyak sekali kontradiksi dalam Kitab "Suci" itu, seraya lupa bahwa kontradiksi serupa bisa dijumpai dalam Quran."

Kedua, di sinilah letak 'lucu' dan rancunya logika berpikir Ulil. Dia memaksakan setiap pemeluk agama agar ikut 'nasehat Durkheim'. Tentu saja amat sulit dilakukan. Merubah teologi semacam itu adalah absurd. Apalagi Ulil mengusulkan agar "sentimen" keimanan umat Islam dikeluarkan dulu –atau umat Islamnya yang keluar dari sentimen itu—agar membaca Al-Qur'an dengan kacamata dan hawa yang berbeda. Intinya, agar seorang Muslim dapat membaca dan menemukan kesan yang berbeda. Contohnya, seorang Muslim –menurut logika Ulil—agar mengetahui bahwa ternyata Allah juga dalam Al-Qur'an "brutal". Di sini Ulil ingin mengatakan bahwa setiap agama –khususnya Islam—jangan mengklaim kitab sucinya yang paling benar. Karena di dalamnya terdapat banyak kontradiksi juga –sebagaimana halnya Bible.

Sejatinya, Ulil terjebak logika orang "Kristen Liberal-Plural" yang ingin merelatifkan seluruh agama. Kenapa? Karena mereka "kebingunan", sudah tidak ada lagi yang dapat dipertahankan dari agama mereka. Termasuk Bible, bahkan Yesus. Timbullah inisiafit "liberal" dari Knitter. Menurut Knitter, "All religions are relative—that is, limited, partial, incomplete, one way of looking a think." Di sini Knitter ingin menyamakan semua agama: sama-sama relatif (tidak absolut), parsial (tidak global, tidak universal), tidak komplit (memiliki kekurangan), hanya memiliki satu cara pandang terhadap sesuatu. Oleh karena itu, menurut Knitter, pemeluk agama yang mengklaim agamanya "paling benar" adalah salah; ofensif dan berpandangan sempit. Dia menulis: "To hold that any religions is intrinsically better than another is felt tobe somehow wrong, offensif, narrowminded." (Lihat: Paul Knitter, No Other Name, A Critical Survey of Christian Attitudes toward the World Religion, 1985), p. 23).

Ulil kemudian memberi memberi contoh dengan ayat 'laysa kamitsilihi sya'in' yang dikaitkan dengan ayat-ayat yang menyatakan bahwa Allah punya "tangan", wajah dan jari-jari. Di sini Islam punya konsep dan metode "takwil" dalam menyikapi ayat-ayat yang seperti itu. Ulama Islam dalam masalah akidah, punya konsep yang jitu dalam memahami ayat-ayat "sifat" (ayat al-shifat) dalam ranah ilmu Tawhid (al-'akidah). Tidak ada yang rigid dalam Islam. Jika Ulil "rajin" membaca kitab-kita akidah, dia tidak akan terkejut ketika menemukan ayat-ayat yang seperti itu. Karena metode pemaknaannya sudah mapan. Sebagai contoh, untuk menjelaskan ayat-ayat Al-Qur'an dan hadits yang dianggap "problematis" (musykil), Imam Ibnu Qutaybah menulis buku yang sangat baik: 'Ta'wil Musykil al-Qur'an' dan 'Ta'wil Musykil al-Hadits'.

Ulil juga memberikan contoh tentang "kebrutalan" Allah lewat kisah umat nabi Nuh dalam Al-Qur'an. Apakah ini tidak keterlaluan? Tanya Ulil. Hal itu dipermasalahkan oleh Ulil, karena menurutnya "tidak proporsional". Bagi orang yang faham Al-Qur'an, hal tersebut proporsional. Dan itu pun sudah lewat peringatan dari Allah. Bahwa orang-orang kafir pada zaman nabi Nuh jika tidak beriman kepada nabi Nuh akan ditenggelamkan. Dan "pemusnahan" ini pun lewat permohonan nabi Nuh (Qs. Nuh [71]: 26-27), bukan insiatif Allah per se. Bahkan ketika nabi Nuh 'protes' kepada Allah tentang anaknya yang ikut orang kafir dan juga ditenggelamkan oleh Allah, Allah menyatakan bahwa ilmu nabi Nuh tidak sampai untuk memahaminya. (Qs. Hud [11]: 25-47 dan al-Mu'min [23]: 27, 32-42). Konon lagi kita menuduh Allah –dan kita anggap ini kritis—"brutal" dan "tidak proporsional". Sekelas nabi Nuh kah kita?

Berbeda dengan Bible. Umat nabi Nuh ditenggelamkan karena Allah "menyesal" melihat manusia yang semakin banyak dan semakin jahat di atas permukaan bumi. Tuhan dalam versi Bible ini pun mengirimkan "banjir bandang" yang luar biasa. Bukanya itu, seluruh hewan yang ada di atas dunia dimusnahkan oleh Allah.

  • 6:4 Pada waktu itu orang-orang raksasa ada di bumi, dan juga pada waktu sesudahnya, ketika anak-anak Allah menghampiri anak-anak perempuan manusia, dan perempuan-perempuan itu melahirkan anak bagi mereka; inilah orang-orang yang gagah perkasa di zaman purbakala, orang-orang yang kenamaan.
  • 6:5 Ketika dilihat TUHAN, bahwa kejahatan manusia besar di bumi dan bahwa segala kecenderungan hatinya selalu membuahkan kejahatan semata-mata,
  • 6:6 maka menyesallah TUHAN, bahwa Ia telah menjadikan manusia di bumi, dan hal itu memilukan hati-Nya.
  • 6:7 Berfirmanlah TUHAN: "Aku akan menghapuskan manusia yang telah Kuciptakan itu dari muka bumi, baik manusia maupun hewan dan binatang-binatang melata dan burung-burung di udara, sebab Aku menyesal, bahwa Aku telah menjadikan mereka." (Kejadian 6: 4-7). Masya Allah. Tuhan apakah yang ada dalam Bible ini? Tentu sangat berbeda dengan kisah Nuh di atas. Setiap pasang hewan dibawa naik ke atas kapal oleh nabi Nuh, karena dia dan umatnya yang beriman akan mendirikan kehidupan yang baru di bukit Judi.

Kisah nabi Musa yang "menyebrangi laut" pun membuat Ulil ragu. Karena dia terpengaruh oleh pemikirn Richard Dawkins dan Sam Harris. Dia bukannya mempertahankan bahwa keajaiban yang terjadi dalam Al-Qur'an adalah "mukjizat", malah "membebek" kepada pemikiran skeptis seperti itu. Menyedihkan. Benar-benar menyedihkan jika ada seorang Muslim yang seperti itu. Apa yang tidak mungkin bagi Allah? Dalam beberapa ayat Al-Qur'an Allah menjelaskan bahwa jika DIA ingin melakukan sesuatu, cukup dengan 'innama amruhu idza arada syai'an an yaqula lahu kun fayakun'. Nabi Ibrahim tidak terbakar, tentu "bukan dongeng". Dan semuanya terjadi atas perintah dan kehendak Allah. Karena bagi Allah api itu "relatif": bisa panas, dingin bahkan hangat kuku. Karena api adalah milik-Nya, bukan milik raja Namrudz.

Urgensi Teologi Apologetik
Hemat penulis, teologi apologetik sangat diperlukan. Apakah akan menimbulkan kekerasan dan negatif? Bisa jadi ya, bisa jadi tidak. Di Mesir sendiri, umat Kristen banyak mengamalkan ini, lewat metode yang mereka sebut dengan al-lahut al-dhifa'iy (teologi apologetik). Di satu sisi ini mungkin dianggap "ekslusif", tapi di sisi yang lain ini akan menguatkan keimanan pemeluk agama masing-masing. Dan tradisi ini sudah lama diamalkan oleh kedua belah pihak, khususnya ulama klasik Islam.

Penjelasan tentang sosok (pribadi) Yesus, misalnya, sudah dimulai oleh Ja'far ibn Abi Thalib ketika berhadapan dengan para pendeta Negus (Najasyi) di Abessinia (Ethiopia).

Untuk mempertahankan dan membela kesucian Al-Qur'an dan akidah Islam, ulama kita kemudian banyak yang menulis buku-buku kristologi, seperti 'Anti-Christian Polemic in Early Islam: Abu Isa al-Warraq Against the Trinity' (edited and translated by David Thomas [The Bishop of Blackburn's Adviser on Inter-Faith Relations], Cambridge-New York: Cambridge University Press). Dalam buku ini, Abu Isa al-Warraq mengkritik dogma Trinitas yang tidak masuk akal dalam agama Kristen; Abu Hamid al-Ghazali menulis al-Radd al-Jamil 'ala Uluhiyyat 'Isa bi Sharih al-Injil; Ibnu Taimiyyah menulis 'al-Jawab al-Shahih liman Baddala Din al-Masih'; Ibnu Qayyim al-Jauziyyah menulis 'Hidayat al-Hiyara fi Ajwibat al-Yahud wa al-Nashara'; dan 'Allamah al-Hindi menulis 'Izhar al-Haqq'. Dari kalangan ulama kontemprer, misalnya, Ahmed Deedat menulis 'The Choice: Islam and Christianity'; Syeikh Muhammad al-Ghazali menulis 'Shaihah al-Tahdzir min Du'at al-Tanshir'; Ismail R. al-Faruqi menulis 'Christian Ethics: A Historical and Systematic Analysis of Its Dominant Ideas' (Kuala Lumpur: Pustaka Hidayah, ttp); Kamar Oniah Kamaruzaman menulis 'Early Muslim Scholarship in Religionswissenchaft: The Works and Contribution of Abu-Rayhan Muhammad ibn Ahmad Al-Biruni' (Kuala Lumpur: International Institute of Islamic Thought and Civilization (ISTAC: 2003). Dalam buku ini, Al-Biruni, setelah menjelaskan keempat Gospels yang ada (Matius, Markus, Lukas dan Yohanes), "mengkritik" geneologi Kristus (Messiah). Kamar Oniah menulis: "Al-Biruni also highlights some discrepancies that are found among these Gospels, particularly those which pertain to the geneology of the Messiah, thereby indicating the inaccuracy of the information in them." (Oniah, p. 159). Dan jika kita lihat Gospel yang berbicara tentang geneologi Kristus memang tidak akurat (Bandingkan: Matius 1: 6-16 dan Lukas 3: 23-31).

Kerja-kerja kristologi seperti ini tentu akan membuka pintu dialog yang kritis. Sehingga akan muncul tanggapan dan sanggah yang kritis pula. Dengan catatan bahwa budaya kritik itu harus dibangun di atas "fakta dan data", bukan berdasarkan sentimentil tanpa dasar. Dengan begitu, jalan menuju kebenaran pun semakin terbuka lebar. Buktinya dapat kita lihat, bagaimana Ahmed Deedat membuktikan kebenaran Al-Qur'an yang merespon berbagai penyimpangan dan distorsi dalam Bible. Hal itu membuka mata para pendeta dan pastor bahwa memang dalam kitab 'suci' mereka ada problem serius.

Dan para ilmuwan dan kristolog Muslim di atas tentunya harus dijadikan sebagai "uswatun hasanah" dalam membela akidah Islam. Kesimpulannya, umat Islam –dan mungkin juga umat yang lain—sah-sah saja membaca kitab 'sucinya' sendiri maupun kitab suci orang lain secara "apologetik". "

* Qosim Nursheha Dzulhadi, staf pengajar di pondok pesantren Ar-Raudhatul Hasanah, Medan-Sumatera Utara. Penulis juga peminat Qur'anic-Hadith Studies and Christology. Sekarang sedang mengikuti Program Kaderisasi Ulama di Centre for Islamic and Occidental Studies (CIOS), ISID-Gontor Ponorogo.

Namanya juga Liberal...."

Oleh : Wildan Hasan 01 Sep 2008 - 11:00 pm

Oleh : Wildan Hasan *)
Tanggapan atas tulisan Ulil A Abdala - "Menjadi Muslim dengan perspektif liberal"
Namanya juga refleksi, tidak usah terlalu dianggap serius apalagi diklaim sebagai kebenaran absolut. Karena dalam kamus Mas Ulil dan kawan2 tidak dikenal istilah kebenaran absolut. Semua kebenaran adalah relatif, termasuk kebenaran versi mereka...harusnya.

Bagaimana ini ko terbolak-balik?
menjadi muslim dengan persfektif liberal, menjadi liberal dengan persfektif muslim, menjadi muslim sekaligus liberal atau menjadi liberal sekaligus muslim? mana nu pokok mana nu cabang, mana nu dasar mana nu tambahan, mana yang ushul mana yang furu'? atau mana yang asli mana yang palsu?

penting mana jadi muslim atau jadi liberal? jadi muslim yang liberal atau jadi liberal yang muslim? apa itu muslim, apa itu liberal?

kita seharusnya sebelum berdiskusi harus terlebih dahulu menetapkan batasa-batasan, kriteria, distingsi dan kategorisasi2 dari kata2 kunci yang kita diskusikan. Agar diskusi tidak jadi liar dan membabi-buta.

Muslim adalah hamba Allah yang bersaksi tiada Tuhan selain Allah dan Muhammad utusan Allah, menegakkan sholat, membayar zakat, melaksanakan shaum Ramadhan, dan menunaikan haji jika mampu (HR. Bukhari Muslim dari Abdullah bin Umar Ra).

apakah mas Ulil masih minat terhadap hadits ini atau tidak. Atau harus didekonstruksi dulu…

Terus apa arti liberal? Coba tanya apa arti liberal sama mereka. Maka mereka akan sama bingungnya dengan kita. Kenapa? Karena makna 'liberal' itu sendiri tidak jelas. Batasan makna liberal tidak dieksplorasi secara mendalam, padahal konsep 'batas' dapat merumuskan kriteria, distingsi dan kategorisasi liberal.

Akibat kaburnya batasan itu adalah timbulnya ide 'tak terbatas'. Hasilnya, paham liberal cenderung dibangun di atas paham relativisme, skeptisisme, dan agnotisisme. Gagasan liberalisme Islam tanpa konsep yang jelas dapat berujung pada gagasan Islam liar yang bersembunyi dibalik jargon kebebasan.

Oleh karena tidak adanya konsep batasan tersebut, maka konsep Islam liberal tersebut menjadi kriteria yang longgar dan kabur. Ketidakjelasan definisi atau deskripsi makna liberal terungkap secara implisit dalam pemikiran Charles Kruzman. Kruzman menggambarkan konsep Islam liberal dengan sesuka hatinya. Karena tidak adanya batasan yang jelas, Kruzman memasukkan nama Yusuf al-Qaradhawi dan M. Natsir sebagai pemikir Islam Liberal. Padahal jelas bahwa karya-karya mereka tidak sesuai untuk disandingkan dengan gagasan Islam liberal yang sumber pemikirannya adalah akal yang skeptis.

Strategi Kruzman dalam memaknai Islam liberal dapat disejajarkan dengan strategi Michel Foucaulst (salah satu tokoh rujukan Islam liberal) ketika memahami makna hewan. Foucaulst, yang meninggal karena penyakit AIDS, mengutip sebuah ensiklopedia Cina tertentu yang mengklasifikasikan binatang sebagai berikut; yang dimiliki kaisar, yang dimumikan, yang jinak, babi-babi yang menyusui, yang merayu betina, yang menakjubkan, anjing-anjing yang sesat, yang termasuk dalam klasifikasi sekarang, yang gila, yang tidak dapat dihitung, yang dilukiskan dengan sikat rambut unta yang cantik, yang telah mematahkan teko air dan yang kelihatan seperti lalat dari kejauhan.

Jadi deskripsi Foucault mengenai makna hewan mencerminkan relativitas. Sama halnya dengan definisi Kruzman mengenai 'liberal' dalam menggambarkan makna Islam liberal. Implikasi dari ini semua adalah adanya kekaburan makna. Kebenaran akan menjadi kesesatan dan sebaliknya. Keyakinan akan menjadi keraguan dan sebaliknya. Yang haq akan jadi batil, yang batil jadi haq. Yang yakin dijadikan keraguan dan yang ragu dijadikan keyakinan. Inilah hakikat dari strategi postmodernism.

Mas Ulil di tahun 2001 pernah menegaskan bahwa masa depan hanya pada Islam liberal. Membicarakan masa depan berarti mengukur manfaat wacana bagi peningkatan taraf hidup semua unsur masyarakat. Misalnya, manfaat apa yang dirasakan wong cilik dari perkembangan pemikiran Islam liberal? Dengan demikian, kegiatan pemikiran tidak hanya menjadi kegenitan intelektual belaka yang kegunaannya sebatas untuk kesenangan para aktifis dan pemikirnya. Adakah korelasi Islam liberal dengan pengentasan kemiskinan misalnya? Bukankah mas Ulil dan kawan-kawan (termasuk Rizal Malarangeng) langsung atau tidak termasuk pendukung kebijakan kenaikan harga BBM? Atau mau dibantah, silahkan…

Intinya point paling penting dalam ke-Islaman seseorang adalah meyakini kebenaran yang disampaikan Allah dan Rasulnya tanpa reserve. Harus dipertanyakan ke-Islaman seseorang yang mengaku rajin solat dan puasa tapi tidak meyakini syariat Islam sebagai kebenaran absolute.

Contoh....
Seorang anak berkata kepada ibu kandungnya; "Ibu saya melakukan perintah ibu, tapi maaf saya tidak meyakini ibu sebagai ibu kandung saya".

Sebab menurut mas Ulil Tuhan itu bukan hanya Allah-nya umat Islam. Padahal di Qur'an dan hadits bertebaran keterangan qot'i yang menegaskan Allah itu ahad tidak boleh didua dan ancaman-ancaman Allah terhadap orang yang mensyarikatkan-Nya.

Bagaimana bisa rela seorang ibu kalau anak kandungnya mau melaksanakan perintahnya, tapi tidak yakin bahwa ibunya itu sebagai ibu kandung satu-satunya bagi dia?..

Dekontruksi makna Islam yang dilakukan oleh mas Ulil dan kawan2 sebenarnya merupakan dekontruksi Islam secara keseluruhan. Jika makna Islam didekonstruksi, maka akan terdekonstruksi juga makna; Kafir, murtad, munafik, al-haq, dakwah, jihad, amar makruf nahi munkar, dan sebagainya. Jika dicermati, dalam berbagai penerbitan di Indonesia , upaya-upaya dekonstruksi istilah-istilah itu bisa dilihat dengan jelas. Bahkan, berlanjut ke konsep-konsep dasar Islam, seperti; wahyu, Al-Qur'an, sunnah, mukjizat dan sebagainya.

Dekonstruksi makna Islam, dan mereduksinya hanya dengan makna "submissiom", berdampak pada tidak boleh adanya klaim kebenaran (truth claim) pada Islam. Kata mereka, Islam bukan satu-satunya agama yang benar. Ada banyak agama yang benar. Atau "semua agama yang benar" bisa disebut "Islam". Kebenaran tidak satu, tetapi banyak. Sehingga, orang Islam tidak boleh mengklaim sebagai pemilik agama satu-satunya yang benar.

Tidaklah mengherankan, jika ide dekonstruksi dan reduksi makna Islam, biasanya berjalan beriringan dengan propaganda agar masing-masing pemeluk agama menghilangkan pikiran dan sikap merasa benar sendiri.

Jika orang muslim tidak boleh meyakini bahwa Islam adalah satu-satunya agama yang benar, dan agama lain salah, lalu untuk apa ada konsep dan lembaga dakwah? Jika seseorang tidak yakin dengan kebenaran agamanya-karena semua kebenaran dianggapnya relatif-maka untuk apa ia berdakwah dan berada dalam organisasi dakwah? Atau makna dakhwah pun harus didekonstruksi agar tidak bertentangan dengan konsep liberal? Kenapa liberal harus mengangkangi dakwah? Dan makna amar makruf nahi munkar didekonstruksi juga?

Pada akhirnya, golongan 'ragu-ragu' akan 'berdakwah' mengajak orang untuk bersikap ragu juga. Mereka sejatinya telah memilih satu jenis keyakinan baru, bahwa tidak ada agama yang benar atau semuanya benar. Artinya, hakekatnya, ia memilih sikap untuk tidak beragama, atau telah memeluk agama baru, dengan teologi baru, yang disebut sebagai "teoligi semua agama" atau "agama plularisme."

Cak Nur sendiri menyatakan bahwa sekularisme itu ialah paham yang tidak bertuhan dan sekularisasi merupakan salah satu gagasan penting-kalau tidak disebut sebagai gagasan utama-kelompok Islam liberal. Maka seorang sekuler yang konsekuen dan sempurna adalah seorang ateis. Jika tidak, akan mengalami kepribadian yang pecah.

Sekedar contoh, jika kita dibolehkan memaknai Islam dan syariatnya semau kita yang mungkin saja berdampak pelecehan terhadap agama…

misalnya, salah satu kitab aliran kebatinan di Indonesia , yang bernama "Darmogandul," dalam salah satu bait Pangkur-nya menyatakan, "Akan tetapi bangsa Islam, jika diperlakukan dengan baik, mereka membalas jahat. Ini adalah sesuai dengan dzikir mereka. Mereka menyebut nama Allah, memang Ala (jahat) hati orang Islam. Mereka halus dalam lahirnya saja, pada hakekatnya mereka itu terasa pahit dan masin."

Ada lagi ungkapan dalam kitab itu, "Adapun orang yang menyebut nama Muhammad, Rasulullah, nabi terakhir. Ia sesungguhnya melakukan dzikir salah. Muhammad artinya makam atau kubur. Ra-su-lu-lah, artinya rasa yang salah. Oleh karena itu ia itu orang gila, pagi sore berteriak-teriak, dadanya ditekan dengan tangannya, berbisik-bisik, kepala ditaruh di tanah berkali-kali." (menghina praktek sholat)

Dibagian lain disebutkan, "Saya mengira, hal yang menyebabkan santri sangat benci kepada anjing, tidak sudi memegang badannya atau memakan dagingnya, adalah karena ia suka bersetubuh dengan anjing di waktu malam. Baginya ini adalah halal walaupun tidak pakai nikah. Inilah sebabnya mereka tidak mau makan dagingnya."

Inti ajaran Darmogandul :
Yang penting dalam Islam bukan sembahyang, tetapi syahadat 'sarengat'. Dan 'sarengat' artinya: hubungan kelamin antara laki-laki dan perempuan. Hubungan seksual itu penting sekali, sehingga empat kiblat juga berarti hubungan seksual.

Darmogandul menafsirkan kata-kata pada ayat kedua dalam surat al-Baqarah sebagai berikut; "zalikal" artinya "jika tidur, kemaluan bangkit," "kitabu la" artinya "kemaluan laki-laki masuk secara tergesa-gesa ke dalam kemaluan perempuan," raiba fihi hudan" artinya "perempuan telanjang," "lil muttaqin" artinya "kemaluan laki-laki berasa dalam kemaluan perempuan." (Perkembangan kebatinan di Indonesia. Hamka, Bulan Bintang, 1971, hlm 22-23)

Katakan kakalu saja kawan-kawan FPI menuntut pemerintah untuk membubarkan aliran kebatinan seperti ini, maka kalangan Islam liberal dengan jargon kebebasannya akan paling depan membela penistaan agama seperti ini. Sama seperti kasus Ahmadiyah.

Soal buka puasa sebagai tindakan kolektif mah terserah. Itu soal perasaan tidak perlu jadi dalil wajib atau haramnya buka puasa sendirian atau berjama'ah. Kita juga sering ifthor jama'i, malah duluan kita daripada dia...

Pengalaman sosial yang dialami mas Ulil saat buka puasa dan solat tarawih berjama'ah sebagai pengalaman yang paling membekas katanya. lagi-lagi pengalaman pribadi yang masing-masing orang akan merasakannya berbede-beda. Tidak perlu dibuat dramatis lah..

Apa mas Ulil baru tahu bahwa buka puasa bersama dan solat tarawih berjama'ah itu lebih syahdu dan lebih nikmat? Apa baru sekarang bisa merasakan buka puasa dan solat tarawih bersama? Duh…kemarin-kemarin kemana saja bang....

Hehe…lagi-lagi pengalaman sosial, lagi2 pengalaman sosial. Apakah mas Ulil baru mengalami hidup bersosial? Jadi selama ini mas Ulil duduk ekslusif di menara gading merasa paling benar sendiri dengan teologi inklusifnya. Eh…pas turun gunung berbaur dan mau sedikit bertoleransi, hati baru terbuka betapa nikmatnya hidup bermasyarakat.

Padahal kita sudah biasa merasakan nikmatnya hidup bersosial. kaburo maqtan (Ash-Shaf: 3)

Bahasan lain…

Jelas pasti ada di belakang mas Ulil yang berkata, " kenapa solat dan puasa, bukannya liberal?"

Ini adalah bukti kebingungan dan pecah kepribadian (split personality) kawan2 liberal. Sebab mereka menganggap berbeda dan tidak ada kaitan antara keimanan dengan praktek amaliyah ibadah. Tidak ada kaitan antara aspek esoteris dan eksoteris agama. Bagi mereka solat, puasa, zakat dan haji hanya kulit atau bagian luar dari praktek keberagamaan seseorang dan tidak menentukan posisi keimanan dirinya.

Tapi anehnya mereka suka berdalil atas kasusnya itu: "nih..lihat liberal juga saya masih solat dan puasa," atau "tuh lihat liberal juga ternyata 'santun'." Sengaja kata 'santun' diberi tanda petik. Sebab santun menurut siapa, apa batasannya, standar kesantunan itu apa, kriterianya mana, santun yang ini masuk kategori siapa dan yang mana? atau akan direlatifkeun juga....

Ana Istighfar dan taubat jika pernyataan ana ini salah. Ana menyangsikan jika kawan2 liberal ta'at solat dan puasa. Dimana taat sekalipun, nudah-mudahan bukan ta'at seperti Abdullah bin Ubay bin Salul…maaf kalau pernyataan ini tidak 'santun.'

Ana yakin kita harus dalam posisi mengasihani mereka dalam pencarian kebenaran tanpa ujung, penuh fatamorgana dan kamuflase.

Ada sebuah dialog menarik;

Muslim : "Apakah anda sudah menemukan kebenaran hakiki?'

Liberal : "Belum, karena saya dalam posisi pencari kebenaran"

Muslim : "Lalu kalau diri anda saja belum mendapatkan kebenaran, kenapa anda menyalah-nyalahkan orang lain yang sudah mendapatkan kebenaran dan meyakininya?"

Liberal : "justru ini salah satu cara saya menemukan kebenaran."

Muslim : "Kalau begitu cara anda salah. Yang namanya mencari kebenaran itu dengan jalan bertanya. Anda belum juga bertanya sudah menggugat kebenaran yang diyakini orang lain. Berarti anda tidak siap untuk belajar. Pantas saja anda tidak pernah menemukan kebenaran. Sebaiknya anda temukan dulu kebenaran yang akan anda yakini kebenarannya. Baru nanti kita ketemu lagi."

Pada akhirnya liberal tidak pernah datang-datang lagi karena kebenaran hakiki tidak pernah ia dapatkan. Karena bagi dia semua kebenaran adalah relatif, tanpa ujung, tanpa pegangan, dan nyangkut di tempat mana yang paling menguntungkan ke-tuhan-an akal dan hawa nafsunya. Himmatuhum Butunuhum….

Tujuan utama dari JIL penuh tuduhan tak berdasar. Ironisnya sebagai yang meng-klaim berideologi liberal yang mengedepankan toleransi dan kebebasan ternyata tidak toleran dan berstandar ganda. Harusnya mas Ulil juga toleran kepada paham fundamentalis, radikal dan pro kekerasan seperti yang dituduhkannya. Sekalipun cap itu belum tentu benar karena hanya sepihak, tuduhan liar seperti ini akan mengenai siapapun dan apapun. Bahwa tuduhan seperti inipun termasuk kekerasan verbal yang sangat ditentang oleh mas Ulil.

Soal bajak membajak Islam. Menurut ana jangan sampai tamiang meulit ka bitis, bumerang buat si penuduh. Bicara membela Islam tapi….

Begitulah mereka yang anti "truth claim". Namun karena merasa paling benar (padahal mereka anti terhadap klaim merasa paling benar) dengan pemahamannya itu, akhirnya membabi buta aktif menyalahkan-nyalahkan yang lain. Benar-benar sudah jauh menyimpang dari filosofi liberalisme yang diagung-agungkannya.

Bukankah mereka sendiri yang menyatakan bahwa keyakinan dan pemahaman seseorang tidak bisa dihakimi? Lalu kenapa mereka dengan mudahnya menghakimi pemahaman dan keyakinan orang lain? Yang fair dong…

tidak akan cukup singkat saja membahas tujuan kedua JIL yang disebat rasional, kontekstual, humanis dan pluralis. Kembali ke soal konsep batas, kalau konsep batas tetap tidak dipakai maka tetap akan jadi debat kusir. Tapi itulah liberal.

Saat mas Ulil mengatakan "di mata saya dan kawan-kawan" Jelas pandangannya sangat subyektif. Artinya harus dianggap biasa pernyataannya tidak ada implikasi dan konsekeunsi apapun. Karena sepihak. Mengatakan "di mata saya" "menurut saya" sebenarnya hal yang ketat dihindari oleh mas Ulil dan kawan-kawan. Tapi kenapa begitu, ya itulah liberal.

Mereka anti disesatkan dan dikafirkan. Maka agar fair sebagaimana yang selalu mereka dengung-dengungkan, jangan pula menyebut yang lain konservatif, Arabis, kolot, kuno, fundamentalis, radikal dan pro kekerasan. Sekalipun makna masing-masingnya belum tentu berkonotasi negatif.

Lagi-lagi tuduhan ieu teh, soal teks dan konteks. Persoalan pengelolaan Negara yang harus dicontoh mentah-mentah atau mateng-mateng dari Rasulullah perlu pembahasan yang panjang dan mendalam….

Insya Allah mudah-mudahan terbahas di diskusi "Posisi Syariat Islam dalam Sistem Konstitusi Indonesia / Posisi konstitusi Indonesia dalam pandangan Syariat Islam" Ba'da lebaran tgl 04 Oktober di Pasantren PERSIS Majalengka biidznillah.

Persoalan yang digugat oleh mas Ulil bukan persoalan ibadah mahdoh dan goer mahdoh. Tapi persoalan bagaimana cara pandang seseorang memakai cara pandang Islam itu sendiri atau tidak. Islam menurut siapa? Ini biasanya pertanyaan yang akan dilontarkan oleh mereka. Mendingan mana penilaian terhadap seorang anak, obyektif menurut ibunya atau tetangganya? Memahami Islam tentu harus dari orang yang pakar tentang Islam dan hidup dalam kehidupan Islam. Bukan dari non muslim yang hidup tidak mengenal Islam. Sekalipun ada beberapa kebaikan yang juga harus diambil dari mereka seperti sains dan teknologi dsb.

Khilafiyah antara khutbah jum'at berbahasa Arab dan berbahasa lokal tidak bisa disebutkan sebagai pertentangan antara yang konsevatif dengan yang liberal. Ini dinamakan pengaburan untuk pengelabuan makna. Harusnya gentle saja tidak perlu ditutup-tutupi, kan katanya yakin benar dengan aqidah liberal. Ko yakin ditutup-tutupi, apa ada yang salah? Kayaknya tidak begitu deh penerapan makna liberal yang selama ini mas Ulil lakukan? Kenapa agar istilah liberal diterima oleh kaum Muslimin kemudian persoalan khilafiyah umat diseret-seret? Apa tidak ada cara lain….

Dalam kasus khutbah jum'at dan sholat memakai bahasa apa. Mas Ulil justru mencoba mengomentari apa yang bukan wilayahnya. Hingga liar main comot untuk menjustifikasi pemahaman liberalnya. Dalam sejarah Islam para ulama Islam sepakat bahwa bahasa sholat adalah bahasa Arab. Tidak pernah dikenal di bagian manapun dalam sejarah Islam ada Ulama-bukan ulama-ulamaan-yang sholat menggunakan bahasa selain Arab. Kecuali sekarang 'intelektual-intelektual' genit korban perasaan inferior terhadap peradaban lain. Kalau anda berpendapat seperti itu berdasar ijtihad Abu Hanifah. Ketahuilah bahwa Abu Hanifah tidak pernah berpendapat demikian. Anda suka sekali mengambil pandangan-pandangan yang tidak sharih dan mutawatir.

Kalau mas Ulil menyatakan bahwa sholat menempati kedudukan yang penting dalam pemahaman Islam liberalnya, itu hak beliau beranggapan seperti itu. Namun kemudian kalau sholatnya tanpa disertai dengan keyakinan akan kebenaran seluruh syariat Allah bahwa hanya ada satu tuhan Allah swt dan hanya Islam agama yang benar dan memilah-milah mana syariat yang cocok dan tidak, mana yang disuka dan tidak buat dirinya, jelas sama saja dengan tidak sholat. Percuma saja sholat jungkel jumpalik ari teu percaya ka Dzat anu marentahkeunana sebagai Kholik satu-satunya, sebagai Syari' dengan syariat yang tidak ada bandingnya.

Pembicaraan mas Ulil kemudian mengarah untuk mengajak pembaca berpandangan bahwa orang yang berseberangan dengan beliau tidak rasional dan konsevatif. Cukup jelas mas Ulil yang senantiasa mendorong untuk membudayakan dialog tidak cukup mampu berdialog dengan paham yang berseberangan dengannya. Karena tuduhan seperti 'budak' yang taat tanpa berpikir pada sebuah perintah adalah absurd.

Bukankah dengan adanya tafsir Qur'an dan syarah hadits yang disusun oleh para ulama yang tidak diragukan kompetensinya adalah bukti dari buah proses berpikir manusia untuk memahami perintah Tuhannya? Yang membedakan adalah motif dari cara berpikir untuk memahami perintah Tuhan. Yang satu untuk ketaatan yang satu untuk pengingkaran.

Yang aneh kenapa mas Ulil bisa tidak tahu bahwa dalam sejarah Islam pemahaman seperti yang dipermasalahkan mas Ulil adalah hal yang biasa didiskusikan dan dibicarakan oleh kalangan 'konsevatif'. Bukan seperti persangkaannya bahwa umat Islam buta terhadap syariat mana yang ta'abbudi mana yang ta'aqquli.

Ujungnya arah tulisan mas Ulil semakin jelas dalam rangka menegaskan posisi akal dalam Islam versi liberal. Soal mengikuti dan merawat tradisi, tradisi yang mana dan seperti apa yang dimaksud? Lalu QS 26:74 itu anda arahkan kepada siapa? Kepada yang pemahamannya konservatif atau justru kepada yang pemahamannya progresif? Bukankah anda berdalil dan berdalih seperti ini atas tradisi yang diwariskan guru-guru anda seperti Harvey Cox, Robert N. Bellah, Michel Foucaulst dll?

Anda menjaga tradisi pemahaman seperti itu apakah juga bisa dipastikan tidak membabi buta? Apakah anda juga berpikir kritis terhadap pemikiran guru-guru anda? Toh ujung-ujungnya anda meng-klaim ada akar historis antara anda dan kawan-kawan dengan pemikiran kaum muktazilah. Bukankah itu juga berarti anda merawat tradisi? Tradisi muktazilah. Sekalipun sebenarnya Muktazilah tidak se-liar anda dan kawan-kawan.

Ana sepakat kita harus berpikir kritis dalam memahami perintah Tuhan. Namun dalam makna seperti apa? Apakah mengkritisi perintah Tuhan atau mengkritisi akal kita dalam memahami perintah Tuhan? Jangan sampai ketika akal kita belum mampu memahami perintah Tuhan lalu dipaksa agar seolah-olah nampak paham atau memaksakan menyeret perintah Tuhan ke arah standar pemahamannya sendiri. Jadi Tuhan yang maha kuasa dipaksa mengikuti kehendak hambanya.

Salah satu dalil JIL memang memahami syariat dengan persfektif tekstual dan kontekstual (metode ini juga sebenarnya dipakai oleh golongan yang dituduh konsevatif oleh mas Ulil namun dengan metode berbeda). Kasus pengharaman perempuan duduk di parlemen memang harus diperdalam status hukumnya. Tapi apakah benar persis seperti itu kenyataannya di sana ? Apakah juga hanya atas dasar hadits tersebut saja para ulama di sana memfatwakan demikian?

Soal hukum potong tangan. Jika mas Ulil mengajukan banyak pertanyaan, maka Ana oge ingin mengajukan beberapa pertanyaan:

1.Kenapa anda tidak toleran terhadap orang yang berpandangan bahwa hukum potong tangan adalah bentuk hukuman yang relevan untuk saat ini? Toh jika itu kemudian disepakati umum dan diatur oleh Negara itu adalah konstitusional. Kenapa anda tidak biarkan alamiah saja sebagaimana hukum penjara yang warisan kolonial tidak anda ganggu gugat.

2.Apakah jika teknik hukum pidana pencurian bersifat dinamis lalu ada kolerasinya dengan manusia yang makin beradab dan makin matang mentalnya saat ini? Tidakkah anda melihat betapa jauh lebih biadabnya perilaku manusia saat ini? Itukah bentuk manusia yang mentalnya matang? Coba anda bandingkan dengan jujur efektifitas hukum potong tangan dengan hukum penjara katakan (yang mungkin anda anggap dinamis dan kontekstual) di negara-negara yang menerapkannya.

3.Entah anda tahu atau tidak bahwa hukum potong tangan dalam Islam tidak dilakukan begitu saja. Diatur sedemikian rupa sesuai dengan asas-asas keadilan dan hak-hak kemanusiaan. Apakah yang tergambar dalam benak anda orang mencuri lalu langsung dipotong pakai golok si Pitung begitu? Prosesnya tetap melalui pengadilan akhi, harus ada saksi, bukti, laporan dsb. Kadar pencurian juga menjadi pertimbangan, apakah dia miskin atau tidak, terpaksa atau tidak, dalam keadaan sadar atau tidak dsb jadi sangat adil dan manusiawi.

4.Coba anda bandingkan kembali dari sisi efesiensi dan efektifitas lebih dinamis mana lebih berefek mana antara hukum potong tangan dengan hukum penjara (sekalipun di negara-negara yang memberlakukan hukum potong tangan terdapat pula hukum penjara). Coba anda teliti ulang dalam sejarah Islam dan sejarah Yahudi-Kristen Barat atau sejarah manusia 'modern' saat ini, pencurian lebih banyak terjadi dalam sejarah yang mana? Mudah-mudahan anda jujur. Kejahatan, pembunuhan, pemusnahan sumber daya alam, perusakan dan pemerkosaan yang sangat dahsyat terjadi di peradaban yang mana? Sebaiknya anda membaca tulisan Syafii Ma'arif (sesepuh anda dan kawan-kawan) di kolom Resonansi Republika (26/08).

5.Justru anda tidak paham esensi penghukuman. Cara menghukum jelas sangat berkaitan dengan esensi penghukuman. Tolong anda jelaskan apa esensi penghukuman dengan jalan pemenjaraan? Berapa banyak cost sosial, materi dan waktu yang harus dikeluarkan dengan hukum penjara dibandingkan dengan potong tangan? Saya pikir anda hanya sibuk menambah PR umat ketimbang membantu menjawab PR-PR yang sudah ada. Atau bahkan anda sendiri adalah PR besar umat saat ini.

Tradisi mas Ulil dan kawan-kawan adalah suka bermain-main di wilayah esoterik. Memutar-mutar logika agar kelihatan ilmiah sudah menjadi ritual yang niscaya. Termasuk soal 'ibadah murni'-memangnya ada ibadah yang tidak murni? Murni dalam makna apa? PR lagi…

Cara ibadah buat mereka bukan hal penting karena hanya bersifat eksoterik (kulit/cangkang) saja. Tidak substansial cenah. Mereka cenderung tidak menyukai hal-hal yang bersifat formalistik. Dalam Islam tidak ada pemisahan esoterik dan eksoterik. Keduanya seperti dua sisi dari satu mata uang yang sama, berjalin berkelindan tidak dapat dipisahkan. Dua-duanya adalah bagian penting dalam Islam, tidak ada esoterik tanpa eksoterik begitu pula sebaliknya.

Bukankah dalam Islam ada dua syarat diterimanya ibadah oleh Allah swt; pertama harus ikhlas lillahi ta'ala. Entah apakah yang dimaksud dengan penghayatan spiritual menurut mas Ulil teh ikhlas tea kitu? Dan harus showab tata caranya harus sesuai dengan contoh Rasulullah saw. Mas Ulil juga sepakat bahwa hal ini tidak dapat diganggu gugat. Tapi kenapa mas Ulil menyebut tata cara ibadah tidak penting?

Hehe…mas Ulil teks Arab definisi agama masih hafal ya. Husnudzan ah, pasti mas Ulil tidak menghafal lagi.

Pengembangan spiritualitas seperti apa yang dimaksud mas Ulil untuk kebahagiaan ukhrawi teh? Standarnya apa? Ups lupa, bukannya buat mas Ulil tidak ada standar. Metodenya seperti apa, spiritualitas yang mana dan seperti apa? Terus fungsi agama untuk mencapai kebahagiaan. Kebahagiaan sepertia apa, yang mana, kata siapa, buat siapa saja, tujuannya apa, standarnya apa? eh…

Inilah wujud kerancuan sekaligus kebingungan bangunan pola pikir mas Ulil. Bicara konsep kebahagiaan tentu harus merujuk pada apa yang dimaksud oleh Dzat pembuat kebahagiaan itu sendiri. Dalam al-Qur'an dan hadits banyak bertebaran keterangan bahwa orang yang beriman dan beramal sholih (tentu iman dan amal sholih cara Islam) akan mendapatkan kebahagiaan. Mas Ulil pasti setuju dengan konsep ini, sekalipun harus terlebih dulu didekonstruksi maknanya.

Soal depresi sekarang. Menurut Aa justru yang akan depresi adalah individu atau kelompok yang mengumbar dan membebaskan akalnya tanpa bimbingan wahyu. Liar, beringas, nabrak sana nabrak sini, mencari-cari pembenaran, yang ini bias yang itu absurd, masuk ke gang-gang yang buntu.

Menuhankan akal sementara tidak paham bahwa kemampuan akal terbatas. Jadi ingat ke istilah humanisme. Humanisme Barat didefinisikan sebagai "bahwa manusia dengan akalnya tanpa campur tangan Tuhan akan mampu menyelesaikan setiap persoalan." Apakah humanisme dalam makna ini yang dimaksud mas Ulil? Kalau betul, pantesan…

Akhirnya membabi buta, kalap, arogan, fundamentalis dalam keliberalannya, teroris dalam cara 'dakwah'nya, konservatif dalam cara pandangnya, dan radikal (kemaruk) dalam pengamalannya.

Mas Ulil, sebelum bicara soal baik dan benar, harus disepakati konsep standar tentang itu. Jangan mengambang, membuat bingung yang akhirnya malah tidak rasional.

Mas Ulil, saya juga merasa tentram dan bahagia dengan pemahaman saya sebagaimana mas Ulil juga mengatakan merasakan hal yang sama dengan pemahaman mas Ulil. Maka dengan demikian mas Ulil sebagai yang meng-klaim paling toleran sudah sepatutnya menjadi terdepan sebagai 'uswatun hasanah' yang santun, sopan, lembut, toleran dan memberikan kebebasan terhadap pemahaman dan kelompok yang berbeda dengan mas Ulil. Jadi tidak bijak rasanya mas Ulil sebagai orang yang paling toleran, di akhir tulisannya harus dicederai dengan teror dan provokasi.


Al-Faqir ila 'Afwi Robbih
Wildan Hasan
Kordinator Forum Kajian Muhammad Natsir
for World Civilization
(021-9273 9740)

This Article Posted by : Wildan Hasan
Date : 01 Sep 2008 - 11:00 pm

Senin, 25 Agustus 2008

Olimpiade Beijing dan Introspeksi Dunia Islam

Katagori : Dunia Islam
Oleh : Redaksi 24 Aug 2008 - 7:00 pm

Oleh M. Syamsi Ali - KDNY (Kabar Dari New York):
imageimageDua minggu terakhir China sedang menjadi pusat perhatian mata. Bermilyar manusia dari seluruh penjuru dunia menonton perhelatan dahsyat 5 tahunan, Olympic games, yang tidak saja dituan rumahi oleh negara berpenduduk terbesar dunia itu, tapi juga didominasi dalam peraihan medali.

China memang fenomenal. Mungkin kata yang paling pantas adalah bahwa China memang dahsyat dan fantastik. China sejak dulu, tidak saja dikenal sebagai sebuah negara, tapi sebuah peradaban yang yang sejak kala dulu banyak mendominasi dunia kita. Siapa yang tidak kenal sejarah nusantara yang juga tidak terlepas dari sejarah peradaban China ?

Di saat-saat hampir semua negara di Asia digoncang oleh krisis ekonomi dan finansial di tahun penghujung 1997, China dengan tegar dan kokoh solid melalui krisis itu tanpa pengaruh yang bermakna. Jika saja kita melihat negara-negara ASEAN saat ini, termasuk dua negara Muslim mayoritas, Indonesia dan Malaysia, nampak Chinalah yang mendominasi.

Dalam dunia internasional, China dengan kalem tapi mulus dalam menjual dominasinya hampir dalam seluruh linea kehidupan global. Di PBB sendiri China memiliki posisi yang sangat diperhitungkan, bahkan terkadang lebih dperhitungkan ketimbang Rusia atau Prancis misalnya. Pasalnya , China ternyata menancapkan kuku pengaruhnya di berbagai belahan dunia, khususnya di Asia dan Afrika. Bahkan di beberapa negara Amerika Tengah dan Latin , China memiliki pengaruh ekonomi yang berat.

Mungkin bagi kita yang tinggal di negara yang terkadang dijuluki 'the only super power' ini, ternyata China pun bisa dikategorikan sudah menembus dengan goncangan yang menakutkan. Berbagai produksi kecil, dari mainan anak-anak (toys), makanan-makanan hewan piaraan, dll., telah merajai pasar negara ini. Cukup mengkhawatirkan, sampai-sampai ada upaya untuk menjatuhkan citra produksi China dengan kasus-kasus keracunan anjing, dan juga tuduhan mainan anak-anak yang membahayakan. Tuduhan demi tuduhan itu begitu keras, sampai-sampai semua siaran TV hanya menyiarkan hal tersebut berhari-hari.

Dunia Islam?


Local Chinese Women


Local Chinese MenMungkin perlu dibedakan secara jelas antara cita dan realita. Islam adalah cita semua Muslim. Tapi Muslimlah yang kemudian harus membawa cita itu ke sebuah realita. Kegagalan demi kegagalan yang dialami oleh dunai Islam saat ini tidak ada hubungannya dengan Islam. Islam dalam kenyataannya adalah kejayaan. Mungkin akan lebih tegas jika dikatakan: 'tiada kejayaan tanpa Islam dan tiada Islam tanpa kejayaan'.

Bagi beberapa kalangan, pernyataan di atas tidak diterima. Potongan pertama akan mentah-mentah ditolak oleh kalangan 'liberal-secular group', yang selalu melihat sebuah kejayaan dengan keterlepasan dari nilai-nilai agama (baca Islam). Sebaliknya, kalangan 'exclusive- minded group' sudah psti menolak yang kedua karena bagi mereka Islam itu identik dengan keterlepasan dari hiruk pikuk kemajuan dan kejayaan dunia. Bagi mereka, semua yang mirip dengan apa yang mungkin dilihat sebagai kejayaan 'ala barat' adalah tidak Islami dan bahkan antitesis dengan Islam.

Padahal, pernyataan di atas adalah ekspresi sederhana dari doa sapu jagad umat: 'Rabbana atina fiddunya hasanah wa fil akhirah hasana'. Bahwa umat yang mengimani Islam memiliki cita hidup yang jelas, yaitu 'kejayaan dunia dan kejayaan akhirat'.

Namun realitanya, dunia Islam sangat jauh dari cita yang agung itu. Umat saat ini sedang merana di hampir seluruh linea kehidupannya. Bahkan hingga di titik kehidupan yang paling esensial sekalipun, akidah, umat sedang menghadapi krisis yang luar biasa. Saya katakana demikian, karena akidah bertujuan membangun muru'ah (dalam bahasa lain, izzah) atau mungkin dalam bahasa populernya 'self confidence'. Kenyataannya, umat kehilangan kepercayaan diri, dan itu merupakan identifikasi krisis iman yang paling nyata.

Secara ekonomi, dunia Islam dikarunia nikmat kekayaan yang luar biasa. Ada yang memperkirakan, lebih 65% kekayaan alam, dari minyak, pertambangan, lautan, hutan, dll., di berbagai negara di Asia dan Afrika, ada di negara-negara yang berpenduduk mayoritas Muslim. Tapi menyakitkan, mereka yang dikategorikan manusia-manusia yang hidup di bawah garis kemiskinan juga mayoritasnya ada di negara-negara berpenduduk mayoritas Muslim.

Secara politik, hanya bilangan jari saja dari sekian negara-negara Muslim yang mempraktekkan hukum 'syura'. Mayoritasnya, jika tidak dictatorship, ya dipaksa untuk nmenerapkan sistim orang lain. Mungkin kelompok kedua ini boleh jadi memakai sistim dengan istilah cantik, demokrasi misalnya. Tapi kenyataannya, semua hanya simbolisme dominasi sistim yang orang lain paksakan. Buktinya, sistim itu dianggap sukses jika 'delivering interests of certain power'. Jika tidak, walau kenyataannya melakukan hal yang sama, justeru dianggap tidak demokrasi.

Secara kultur dan sosial, dunia Islam masih sangat morat-marit. Kedisiplinan dan etos kerja sangat jauh di atas rata-rata kedisiplinan dan etos kerja orang-orang yang kita sebut 'kafir'. Betapa seharusnya kita kagum dengan etos kerja orang-orang China di kota dunia, New York . Terbukti dengan menjamurnya restoran-restoran China hampir di mana-mana. Demikian pula dengan komunitas Korea , dll.

Dalam arena kehidupan global, umat Islam nyata termarjinalkan dalam segala hal. Produk-produk untuk kebutuhan asasi umat, hatta dalam hal-hal yang sifatnya ritual sekalipun, justeru diproduksi oleh orang lain. Lihatnya pasar di mekah, dari tasbih, sajadah, baju jubah, dll., banyak justeru 'made in China '.

Mungkin yang paling nyata adalah kenyataan bahwa di pusat diplomasi dunia, PBB, dunia Islam sama sekali tidak terwakilkan secara baik. Suara negara-negara Muslim hampir tidak terdengarkan di saat seharusnya didengar karena membela hak-hak sesama yang terinjak-injak di berbagai belahan dunia. Bandingkan antara jumlah negara Uni Eropa dengan negara-negara yang tergabung dalam Organisasi Konferensi Islam (OKI). Namun signifikasi suara kedua organisasi (OKI dan EU) sangat berbeda, bagaikan langit dan bumi.

Alkhulasoh, umat Islam kini berada di sebuah jurang kegagalan. Dan sangat menyedihkan, terkadang kegagalan-kegagalan itu justeru dirasakan oleh sebagian sebagai 'Islamically justified'.

Apa Gerangan?
Kenyataan ini menjadikan banyak kalangan yang tidak habis piker. Apa gerangan? Apa yang sedang terjadi? Apa penyebab sehingga terjadi seperti itu? Bukankah umat islam pernah jaya lebih 7 abad? Sebuah kejayaan terpanjang dalam sejarah hidup manusia?

Pada akhirnya, banyak kalangan pengamat hanya bisa menempatkan pengamatana mereka di satu sisi. Terkadang Islamnya yang disesali. Atau sebaliknya, terkadang apa yang dipersepsikan sebagai lawan Islam yang disesali. Terkadang pula para pengamat itu hanya mengantar umat kepada sikap 'menuduh' dan atau 'menyesali'. Menuduh orang lain atas kegagalan-kegagalan umat. Atau sebaliknya juga menyesali diri sendiri atas kegagalan-kegalan itu.

Yang disayangkan, bahwa ada kecenderungan sebagian untuk saling melemparkan kesalahan. Dan tentunya yang paling tidak membahayakan, ketika pihak-pihak tertentu merasa 'dirinyalah atau metode pendekatannyalah' yang absolute benar. Semua yang tidak sejalan salah dan bahkan dianggap menjadi penyebab atau kontributor kegagalan-kegagalan itu.

Dalam hal ini, ada dua pandangan ekstrim yang sedang berlaga. Pandangan yang mengatakan bahwa dunia Islam saat ini terbelakang karena masih terkungkung oleh konsepsi syariah Islam, yang menurutnya, hanya menjadi aral dalam upaya mencapai kejayaan itu. Sebaliknya, ada pula yang sangat simplistik dalam melihat bahwa berbagai kegagalan disebabkan oleh tidak ditegakkannya syariah Islam. Yang runyam, ketika syari'ah Islam ditafsirkan secara sempit dengan berbagai simbolisme agama yang sama sekali tidak menyentuh substansi kehidupan manusia.


Taxi Driver "Charles Vincent" menjadi Mualaf setelah peristiwa 911Dalam sebuah dialog antar agama (Islam dan Yahudi) di New York University (NYU) beberapa waktu lalu, saya ditanya oleh seorang peserta: 'Bagaimana sikap anda jika ada Muslim yang ingin mempraktekkan syariah di Amerika?'.

Sebagian peserta Muslim tentu bingun untuk menjawab pertanyaan tersebut. Ada pula yang cenderung mengatakan bahwa syari'ah itu adalah isu lama, yang tidak ada lagi dalam agama ini. Sebagian yang lain, menginginkan jika saya menegaskan bahwa tujuan mulia Islam memang adalah menegakkan syari'ah dalam sebuah tatanan pemerintahan Islam yang disebut khilafah.

Dengan tenang dan senyum, saya jawab bahwa sesungguhnya dari pertanyaan anda saya memahami jika anda sedang phobic (ketakutan) dengan konsep syari'ah. Itu menandakan bahwa yang perlu saya lakukan bukan menjelaskan sikap saya, tapi menjelaskan konsepsi syari'ah untuk membenarkan persepsi anda tentang syari'ah itu sendiri.

'Syari'ah adalah jalan hidup. Syari'ah adalah aturan yang mengatur kehidupan seorang Muslim secara menyeluruh, yang dirincikan kemudian dalam sistim hukum mufasshol (detail) yang disebut fiqh. Intinya, tiada Islam tanpa Syari'ah, dan bagi seorang Muslim tiada kehidupan bermakna tanpa Syari'ah'.

Jawaban saya di atas tentunya mengejutkan bagi sang penanya. Penjelasan-penjelas an saya tentang Islam yang terbuka, bersahabat, maju, berbudaya, dll., seolah sirna dengan penjelasan saya tentang Syari'ah tersebut. Bagi dia, seharusnya saya mengatakan bahwa Syari'ah itu adalah hukum kuno yang hanya berlaku 25 abad silam. Kini, dengan kehidupan modern di abad 21, umat tidak perlu lagi syari'ah.

imageTapi kemudian saya susuli: 'Amerika Serikat, sebagai sebuah negara dan bangsa, telah mempraktekkan banyak hal yang sifatnya syari'ah. Bahkan tidak berlebihan jika saya katakana, dalam beberapa hal, Amerika lebih mempraktekkan syari'ah dari negara-negara yang berpenduduk mayoritas Muslim. 'Keadilan, kesetaraan, kemerdekaan, dan pertanggung jawaban publik' adalah bagian tak terpisahkan dan bahkan menjadi asas dari seluruh sendi-sendi kehdiupan syari'ah kemudian'.

Penjelasan saya tersebut ternyata tercerna secara baik oleh sebagian besar peserta. Sehingga pada akhirnya saya bisa mengatakan, apa yang anda saksikan saat ini di berbagai belahan dunia Islam, dari kediktatoran, kemiskinan, keterbelakangan di dunia sains dan teknologi, hilangnya kedisiplinan sosial dan rendahnya etos kerja, semua itu menunjukkan kegagalan umat Islam dalam menerapkan syari'ah yang sejati.

Pada akhirnya, dengan hiruk pikuk olimpiade Beijing saat ini, umat diajak untuk melakukan introspeksi. Apakah kegagalan-kegagalan itu karena konsepsi Islam? Atau sebaliknya, berbagai kegagalan yang terjadi justeru disebabkan oleh kegagalan umat dalam menerapkan syari'ah yang sejati. Kalaulah Syari'ah itu menjadi 'penghalang' kebangkitan, seharusnya Turki saat ini lebih hebat dari Jerman. Sebaliknya, seandainya 'pengakuan Syari'ah' itu menjadi fondasi kejayaan, tentu Saudi Arabia telah jauh lebih maju ketimbang Singapura.

Saya hanya kembali diingatkan oleh pernyataan Prof. Dr. Habibie, untuk bangkit diperlukan manusia-manusia yang berotak Jerman, tapi berhati Mekah. Mungkinkah? Pasti bisa karena itulah makna 'ulil al baab' yang memiliki dua sayap yang mampu menghantarkannya kepada kehidupan yang lebih tinggi, yaitu 'sayap dzikir dan sayap fikir'.

"alladzina yadzkuruna Allaha qiyaaman wa Qu'uudan wa 'aala junuubihm, wa yatafakkaruna fi khalqis samawati wal al ardh."

New York , 20 Agustus 2008

Penulis adalah imam Masjid Islamic Cultural Center of New York. Syamsi adalah penulis rubrik "Kabar Dari New York" di www.hidayatullah.com

MUSLIM AMERICA