Senin, 09 November 2009

Pasal 18 - Saya Melewatkan Shalat dan Tidak Berubah Menjadi Batu

“Ketika berumur sekitar sepuluh tahun, ayah saya mulai mengajak saya mengikuti upacara perayaan tahunan abad ke tujuh belas dibawah kepemimpinan Imam Ali bin Hessein. Pada awalnya, saya diijinkan memukuli dada saya secara perlahan selama acara itu berlangsung. Tetapi ketika saya berumur dua belas tahun, saya diperbolehkan mencambuki badan saya dengan rantai”

Mungkin judul artikel pasal ini terdengar gila, seperti halnya tingkat pengajaran dalam Islam yang dipercayai oleh Esfahani. Dari waktu ke waktu kita mendengar tentang pengajaran Islam yang menebarkan benih kebencian dan ketakutan terhadap pemikiran yang berbeda, termasuk terhadap kebebasan. Sekarang, Esfahani telah murtad namun ia masih menghadapi masalah bagaimana ia harus membesarkan anak-anaknya tanpa sebuah keyakinan. Sungguh, bagi seseorang yang meninggalkan Islam, tidak jadi masalah jika ia tidak lagi menghadiri shalat Jumat, tetapi yang sulit adalah bagaimana mengubah secara keseluruhan cara hidup mereka. Sebagai akibatnya, mereka yang meninggalkan Islam seringkali dikucilkan, ditolak, dan diganggu. Kepada siapa mereka dapat berpaling untuk mendapatkan dukungan; bukan hanya bagi diri mereka sendiri tetapi juga bagi keluarga mereka? Bukankah ini kenyataan yang menyedihkan yang membuat semua kisah-kisah ini semakin memprihatinkan.

Kesaksian Esfahani sangat sederhana: lebih baik membesarkan keluarga di luar Islam daripada dalam Islam. Dia telah berhasil meninggalkan Islam, dan dia mendorong negara-negara Barat untuk memperhatikan bahaya yang muncul dari agama ini.

Kesaksian Esfahani

Saya seorang pria berumur empat puluh tujuh tahun., sudah menikah dan mempunyai dua orang anak. Saya berasal dari Esfahan. Kota asal saya, Esfahan, dianggap sebagai kota yang paling religius di Iran. Esfahanis, secara umum, telah menjadi sumber dari kepercayaan dari rezim Islam di Iran. Kota kelahiran saya terkenal sebagai “nomor satu” penyedia para martir, agen rahasia, penyiksa, sipir penjara, mullah, dan kaum intelektual, politikus serta sarjana yang religius sejak revolusi pada tahun 1979. Saya dibesarkan di lingkungan keagamaan yang sangat khas dari keluarga Esfahani.

Saya dilahirkan bulan Oktober tahun 1961. Saya anak ketiga dari lima bersaudara. Seperti orang Iran lainnya, kami adalah penganut Shiah. Kami bukan orang yang fanatik, tetapi kami merupakan keluarga yang paling saleh di lingkungan tetangga kami. Kesalehan orang tua saya, menjadi hal yang sangat menonjol bagi saya semasa kanak-kanak saya.

Ayah saya selalu memastikan bahwa anak-anaknya melakukan shalat harian, dan ketika kami mulai dewasa, dia melihat bahwa kami melakukan puasa selama bulan Ramadan. Ketika saya berumur sekitar sepuluh tahun, ayah saya mulai menarik saya menghadiri upacara perayaan tahunan abad ke tujuh belas atas kepemimpinan Imam Ali bin Hessein. Pada awalnya, saya diijinkan untuk memukul dada saya perlahan-lahan selama acara berlangsung; tetapi ketika saya berumur dua belas tahun, saya diperbolehkan mencambuk diri saya sendiri dengan rantai. Beberapa tahun kemudian, saat saya tengah belajar di sekolah menengah atas, saya seringkali menyendiri di dalam mesjid sekolah selama shalat tengah hari. Ini adalah suasana yang paling saya idamkan untuk bisa saya nikmati, yaitu ketika saya masih berusia sepuluh tahun.

Akhir tahun 1970, ketidakpuasan terhadap Shah meluas. Banyak orang Iran mulai membuka sikap perlawanan mereka terhadap Shah dan memberi dukungan kepada Khomeini. Ketika gelombang perlawanan ini mencapai Esfahan, saya terlibat dengan revolusi tersebut. Pada awalnya, saya terlibat dalam kegiatan sebuah kelompok yang melawan Shah dengan alasan keagamaan. Kelompok ini menyusun penutupan sekolah-sekolah di Esfahan dan mendorong kelompok usaha yang ada di pasar-pasar di tengah kota supaya menutup usaha mereka sebagai pernyataan solidaritas mereka. Saya juga bergabung dengan kelompok massa untuk merusak bank-bank dan institusi lain yang selama ini menjadi tempat bergantung rezim Shah Iran.

Akhir tahun 1978, saya mendapat balasan dari saudara sepupu tertua saya. Sepupu saya itu pun mendukung penggulingan rezim Shah, tetapi ia bergabung dengan kelompok sosial yang mempunyai visi bagi masa depan Iran yang berlawanan dengan visi dari kelompok keagamaan. Kami banyak berdiskusi tentang revolusi. Saya ingat percakapan saya dimana sepupu saya memandang rendah pandangan keagamaan saya.

Ketika sepupu saya menjelaskan alasan yang bukan bersifat keagamaan, mengapa ia menentang Shah, saya merasa malu dan bodoh. Pada hari itu, saya membuat keputusan untuk meninggalkan shalat malam hari yang selama ini biasa saya lakukan. Saat saya tertidur, saya berpikir bahwa saya sepertinya tidak akan bangun keesokan harinya. Seperti yang saya perkirakan – juga yang orang tua saya perkirakan – bahwa saya akan berubah menjadi batu. Ketika saya terbangun, ternyata saya tetap memiliki tubuh dengan darah dan daging. Karena itu keesokan harinya, saya meninggalkan Islam! Pada hari ini, sudah hampir tiga puluh tahun, saya masih merasa memiliki perasaan yang bertentangan mengenai perubahan yang mendadak itu. Meskipun demikian, perubahan ini telah berakar kuat, sebab saya belum pernah merasa dicobai sedemikian kuatnya untuk berbalik kembali kepada Islam.

Bagaimana kami menggulingkan Shah Iran? Apa yang saya alami sebagai seorang tentara di angkatan bersenjata Iran di Mehran selama perang Iran-Irak. Bagaimana saya bisa secepatnya melarikan diri melewati perbatasan Pakistan, berbalik arah ke Barat menuju Meksiko dan menyeberangi sungai Rio Grande untuk masuk ke wilayah Amerika Serikat? Seluruh cerita ini tidak memiliki kaitan dengan mengapa saya menuliskan kesaksian ini bagi anda. Apa yang telah saya ceritakan pada anda sejauh ini hanyalah sebuah cerita pendek tentang apa yang saya lakukan hari ini dan bagaimana saya mendapatkannya.

Pada hari ini, saya memiliki dua orang anak. Tujuan saya sebagai ayah bagi mereka adalah menunjukkan makna kehormatan dan memberikan mereka tuntunan. Anak-anak saya selalu bertanya kepada saya dan saya acapkali membutuhkan waktu yang tidak sedikit untuk menjawabnya. Sebelum saya memutuskan menjadi seorang ayah, saya pikir alangkah baiknya mengajar anak-anak saya agar mereka menjadi manusia yang penuh kasih, tahu memberi hormat, dan bertoleransi kepada semua orang. Pikiran saya ditujukan untuk membesarkan mereka agar bebas dari ikatan semua agama dengan sebuah pemikiran yang tidak dibatasi oleh Tuhan yang Maha Kuasa. Apa yang gagal saya antisipasi adalah kenyataan bahwa masyarakat kita dibentuk melalui bagaimana kebudayaan serta kepercayaan yang lainnya mempengaruhi kita.

Apa yang seharusnya saya lakukan ketika anak-anak saya pulang dari sekolah dan merasa penasaran mengapa teman sekelas mereka memiliki cerita tentang pengalaman liburan akhir pekan mereka di Senegal, di Gereja, Mesjid dan Kuil yang bisa mereka bagikan dengan teman-temannya yang lain, sementara anak- anak saya bahkan tidak mengetahui tempat-tempat apakah itu? Bagaimana saya harus menjawab pertanyaan mereka, mengenai Ramadan orang Muslim, Natalnya orang Kristen, dan perayaan Yom Kippurnya orang Yahudi: “Ayah kapan dan apa yang akan kita rayakan?” Bagaimana saya menjelaskan makna dari tulisan “Di dalam Tuhan kita percaya (In God We Trust)” sebagaimana yang tertera pada mata uang kita? Secara ringkas, bagaimana saya membebaskan keluarga saya dari jebakan keagamaan sementara Undang-undang dasar hanya menjamin kebebasan beragama?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar