Rabu, 25 April 2012, 19:02 WIB
Blogspot.com
Mualaf (ilustrasi).
REPUBLIKA.CO.ID, Setelah terus-menerus menghabiskan waktu bersama keluarga temannya itu, Kaci mulai diperkenalkan tentang kajian Perjanjian Baru. Mereka tidak bernyanyi atau mendengarkan khotbah.
Perempuan juga tidak diizinkan untuk berbicara selama pertemuan gereja. Natal, Paskah dan hari libur lain juga tidak dirayakan. Anggur dan roti tidak dihidangkan saat hari Minggu.
"Meskipun aku sudah dianggap sebagai Kristen, anggota jemaat ini percaya bahwa aku akan ke neraka jika tidak dibaptis lagi. Inilah pukulan pertamaku terkait keyakinan Kristen," kata dia.
Melihat hal itu, Kaci memutuskan untuk berdialog dengan ibunya. Ia bercerita tentang mengapa harus kembali dibaptis. Padahal dirinya sudah dibaptis waktu kecil. Ia pun bertanya mengapa kewajiban membaca Alkitab hanya sewaktu hari Minggu saja. "Saat itu, aku mulai kritis," ujarnya.
"Aku pun berdoa kepada Tuhan agar mendorongku untuk tetap melakukan hal yang benar. Nyatanya, doaku belum jua terkabul," tambah dia.
Tahun berikutnya, Kaci mulai menapaki jenjang pendidikan perguruan tinggi. Di tahun pertamanya, ia memutuskan untuk bergabung dengan asosiasi mahasiswa pembaptis. Pikirnya, dengan memasuki organisasi itu ia akan mendapatkan jawaban atas kebingungannya. "Aku merasa menemukan sesuatu yang aneh dari organisasi ini," ungkapnya.
Perkenalan
Pada tahun keduanya, Kaci menghabiskan banyak waktu untuk ambil bagian dalam paduan suara gereja Wake Forest. Ia sebenarnya enggan ikut serta dalam kelompok paduan suara, namun karena masalah uang, ia coba acuhkan pertanyaan demi pertanyaan yang terlintas dalam pikirannya.
Pada bulan Oktober, Kaci bertemu dengan pria Muslim yang tinggal di asrama. Ia merupakan pria yang ramah. Dengan nyaman, Kaci banyak melontarkan pertanyaan kepada temannya ini. "Dari dialog ini, aku kian mempertanyakan kepercayaanku sendiri. Apakah memang kita dilahirkan untuk agama yang kini aku peluk," ujarnya.
Musim panas berikutnya, Kaci mulai bekerja di sebuah toko buku. Ia pun bersinggungan dengan buku-buku keislaman. Ia pun melirik-lirik Alquran. Rasa penasaran tentang kepercayaan yang dianut pria Muslim itu menjadi pemicunya.
Seolah tak puas, Kaci tergerak untuk mengunjungi masjid. Harapannya ia akan mendapatkan pengetahuan itu secara langsung. "Aku mengunjungi masjid dua kali selama setahun," ungkapnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar