REPUBLIKA.CO.ID, Glyn Maclean memiliki darah Skotlandia dengan sedikit campuran darah Irlandia dan Belgia. Ayahnya tiba di Selandia Baru pada tahun 1957 kemudian mereka tinggal di Wellington. Ia memiliki empat saudara, tiga laki-laki dan satu perempuan.
Ayah dan ibunya bertemu di sebuah gereja di Wellington. Mereka sekeluarga berpindah-pindah sepanjang tinggal di Selandia baru. "Aku hampir 12 kali pindah sekolah," katanya.
Ia masih ingat ketika masih kecil ia sekeluarga selalu berdoa memanjatkan syukur sebelum makan. Orang tuanya rajin pergi ke gereja dan ia pun rutin ke sekolah Minggu.
Saat berumur delapan atau sembilan tahun, orang tuanya berhenti pergi ke gereja. Ia juga tak lagi melanjutkan sekolah Minggu. "Aku tak tahu mengapa begitu dan akupun
tak pernah menanyakannya," ujarnya.
Sejak saat itu ia mendapatkan pendidikan sekuler, walaupun ia cenderung tertarik pada teman-teman yang notabene mereka beriman terhadap Kristen. Ia selalu mengatakan "Aku menghargai iman kalian, tapi tolong jangan pernah mencoba untuk mengubah saya," dan mereka semua sepakat tentang hal itu.
Hingga akhirnya ia datang ke Wellington pada tahun 1980-an setelah tamat dari bangku kuliah. Ia melihat betapa pentingnya gereja bagi orang tuanya. "Ya, dulu mereka bertemu di gereja," ujarnya. Ia bergabung dengan kelompok drama yang nomor kontaknya ia dapatkan dari salah satu buku telepon di gereja. Ia baru tahu,ternyata dua orang pamannya menjadi pendiri gereja itu juga.
Seorang perempuan bertanya pada Glyn "Gereja mana yang kamu ikuti?",Glyn menjawab "Tidak ada". Si perempuan bertanya lagi, "Mengapa begitu?", Glyn menjawab "Aku sama sekali tidak ragu Tuhan itu ada,tapi aku hanya tidak merwasa nyaman dengan ajaran yang ada. Jadi aku tidak pergi ke gereja," katanya. Perempuan itu hanya tersenyum d sambil berkata "Tuhan akan membawamu kepadaNya saat Ia siap dengan caranya sendiri."
Glyn menganggap ucapan itu sebagai kalimat yang sangat mempesona.
Kado Jilbab di Hari Natal
Keluarga dekat Glyn, hanya sedikit yang tinggal di Selandia Baru. Kebanyakan dari mereka mameiliki paspor ganda, hanya ada dua orang yang menetap disana.
Ketika Glyn memutuskan memeluk Islam keluarga sangat mendukung. Sang ibu bahkan membantu Glyn mencarikan jilbba untuknya. "Ibu mengajakku pergi ke Melbourne. Di Wellington tak ada yang menjual jilbab," katanya.
Ia masih mengingat betapa sumringahnya menemukan banyak baju muslim di mall. Setelah enam bulan memeluk Islam, memang baru kali itu ia mendapatkan keempatan untuk berbelanja baju muslim. Tak menyia-nyiakan kesempatan, disana ia memilih banyak pakaian yang dibutuhkan untuk menutup auratnya.
Sikap keluarga yang menghormati agama barunya bahkan juga tercermin ketika mereka merayakan natal. Salah seorang anggota keluarga yang cukup konservatif dari Hamilton bahkan memberi hadiah jilbab untuk kado natal. "Ia tidak berkomentar apa-apa soal keimanan saya," kata Glyn.
Menurutnya hadiah natal itu sebuah hal yang bagus untuk menunjukkan saling pengertian. "Saya menghormati keimanan mereka, mereka juga memberikan hadiah yang sesuai untuk orang yang mereka cintai," katanya. Walaupun memang, Glyn mengakui ketika itu, keluarga masih ada juga yang memberi barang haram seperti anggur.
Keputusannya untuk mengenakan dilakukan karena pentingnya kesederhanaan dan sikap kerendahan hati dalam Islam. Ia merasakan jilbab sebagai cara yang pas untuk berperilaku.
Ia menyadari ketika sudah terlibat di masyarakat nantinya ia akan mendapatkan banyak
reaksi negatif. "Saya beruntung memiliki kulit putih dan mata bitu," katanya. Ia merasa anugrah Allah berupa mata biru itu mengejutkan orang-orang yang ia temui di jalan. "Biasanya saya berjalan merunduk. Mereka akan melihat kepada saya. Tapi ketika saya mulai memperlihatkan wajah saya dan tersenyum, mereka terkejut melihat perempun bermata biru dan kulit putih memakai jilbab," ujarnya.
Setelah kejadian 11 September, semuanya menjadi sangat sulit di Wellington, termasuk bagi perempuan untuk menggunakan jilbab. Namun, ia selalu berusaha untuk tetap keluar rumah dan tersemnyum kepada siapa pun yang ia temui. "saya selalu mengucapkan salam kepada setiap wanita yang berjilbab. Tak peduli kenal atau tidak," katanya.
Ia hanya akan tersenyum jika melihat ada orang yang tampak ketakutan atau memandang negatif melihat wanita berjilbab. "Jika ada yang memandang agresif terhadapku, aku hanya akan tersenyum dan ini bener-benar membuatku merasakan perbedaan," ujarnya.
Jilbab baginya adalah simbol kebebasan. Glyn mengalami cacat sejak umur 20 tahun dan memakai tongkat di usia 24. Sebelum mengenakan jilbab, orang-orang sibuk menanyakan riwayat medis yang ia alami hingga memakai tongkat. Setelah mengenakan jilbab, orang lain jutru ingin mengetahui bagaimana seorang gadis yang memakai tongkat memutuskan untuk berislam dan menggunakan jilbab.
Ia hanya merasakan perlakuan yang aneh ketika pergi ke salon untuk mencukur rambut. Kebetulan, seorang kenalannya memiliki penata rambut sang bekerja khusus untuk wanita. Ia dan kenalannya kemudian mendatangi penata rambut untuk menanyakan apakah ia bisa menata rambut Glyn.
Penata rambut heran melihat wanita berjilbab berniat memotong rambutnya. "Saya hanya berjilbab di tempat umum. Saya tetap ingin merapikan rambut ketika berada di rumah," katanya. Penata rambut itu menolak dan membuat kenalannya terheran-heran.
Ia sering mendengar orang menjadi sangat marah ketika membahas jilbab. Berbagai media di Selandia Baru mengatakan jilbab sebagai perilaku agresif. "Tapi yang saya tahu, tempat saya dilahirkan dan dibesarkan membebaskan warganya untuk memakai apapun asal sesuai dengan standard kesopanan,"katanya.
Kisah berislamnya Glyn bisa dibaca di sini
Tidak ada komentar:
Posting Komentar