mission-focus.com
Iman Sotiria Kouvalis
Selasa, 16 Agustus 2011 12:26 WIB
REPUBLIKA.CO.ID, ATHENA - Perkenalan Iman Sotiria Kouvalis dengan Islam dimulai dengan cara yang aneh. Suatu hari melihat perempuan Muslim di kampus dan merasa kasihan pada mereka. "Aku tidak mengenal mereka tapi ketika kami menyeberangi jalan di kafetaria, aku tersenyum pada mereka karena aku pikir mereka tertindas. Aku tidak pernah berbicara dengan mereka tapi aku hanya berasumsi bahwa mereka dipaksa memakai jilbab," katanya.
Saat itu, wanita yang tumbuh dan besar di Ontario, Kanada ini mengaku benar-benar berpikir bahwa semua orang di dunia adalah orang Kristen. Kejadian ini terjadi sekitar 10 tahun yang lalu, sebelum peristiwa 11 september terjadi.
Pada saat yang sama, Iman, begitu ia minta dipanggil sekarang, tengah mengalami kekosongan batin. Meskipun dibesarkan dalam keluarga Ortodoks Yunani dan menghadiri gereja setiap Minggu hampir tak pernah bolong, "Gereja tidak lagi memiliki arti dalam hidupku dan ada banyak pertanyaan yang tidak bisa dijawab oleh Gereja," katanya.
Suatu dikotomi mulai muncul, di mana kehidupan dan agama itu hanyut ke sisi berlawanan. "Aku tidak bisa melihat bagaimana membuat agama relevan dengan kehidupan sehari-hari. Dan itulah bagaimana aku mulai menjauh dari Gereja," katanya.
Di kampus, ia mulai berinteraksi dengan mahasiswa Muslim. "Mereka menghidupkan kembali rohaniku untuk menjadi dekat dengan Tuhan lagi," katanya. Ia mengaku sedikit cemburu; bagaimana mereka begitu setia dan damai dan aku tidak, meskipun aku akan ke surga dan mereka tidak?
Ia mulai masuk ke perdebatan agama dengan mereka. Salah satu misinya, mengenalkan Yesus. Ketika mereka menyatakan percaya pada Yesus, ia terkejut. "Mereka menghormati Yesus bukan sebagai Tuhan, tapi utusan Tuhan dan salah satu nabi mereka," katanya.
Diam-diam, ketika tidak ada yang melihat, ia menyelinap ke perpustakaan untuk membaca tentang Islam untuk meyakinkan mereka bahwa mereka salah. "Aku hanya menemukan beberapa buku benar-benar aneh dan tua. Saat itu adalah zaman pra-Google sehingga tidak ada sumber informasi lain yang bisa dikorek," katanya.
Suatu hari, saat berjalan menyusuri salah satu aula universitas ia melihat beberapa pamflet di dinding tentang Islam. Sampai di rumah ia mulai membaca dan takjub. Satu pamflet bahkan berbicara tentang isyarat Muhammad dalam Alkitab. "Alkitab? Aku pikir ini bohong! Tapi aku memeriksa ayat dalam Alkitab, ternyata benar," katanya.
Ia makin bimbang. "Sampai di satu titik aku berdoa pada Tuhan untuk menunjukkan mana agama yang benar," katanya.
Ia mendatangi gereja lagi, dan lebih sering ke sana, dua kali seminggu. "Aku mulai membaca Alkitab lagi, tapi kali ini dalam rangka untuk menemukan jawaban atas pertanyaanku," katanya.
Setelah berbulan-bulan ini, ia mengaku tidak tahan lagi dan memutuskan untuk pergi menemui pendeta. "Pertanyaanku tiga: Jika Yesus mati untuk dosa-dosa kita dan kita hanya perlu percaya ini untuk diselamatkan dan masuk surga, lalu bagaimana itu masuk akal? Itu berarti aku dapat melakukan dosa dan diselamatkan? Bagaimana bisa Tuhan 3 in 1? Apa pendapat Anda tentang Islam?"
"Untuk dua pertanyaan pertama, ia mencoba yang terbaik untuk menjelaskan, tapi sudah jelas bagiku bahwa ada banyak ambiguitas dalam jawabannya. Ketika kami sampai ke pertanyaan ketiga, matanya melotot keluar dan wajahnya memerah! Ia memintaku untuk menjauh dari orang-orang yang mempengaruhiku hingga bertanya demikian."
Ia meninggalkan pertemuan dengan kecewa. "Untuk pertama kalinya, hal ini menyebabkan celah pasti dalam imanku. Aku justru makin menemukan jawaban," katanya.
Setelah berbulan-bulan lebih intens membaca, studi kritis terhadap kedua agama dan berdoa pada Tuhan untuk ditunjukkan agamanya, hatinya makin condong pada Islam. Namun, ia masih ragu dan takut akan perubahan sikap orang-orang terdekatnya, terutama keluarganya. Ia takut menyakiti hati mereka.
Namun, ia dikuatkan setelah bertemu ayat 113-115 dalam surat Ali Imran. "Aku mengerti bahwa sebagai Muslim kita harus menghormati orang dari agama lain untuk beberapa dari mereka benar-benar tulus dan mereka percaya Allah. Pada akhirnya, bukan mereka atau aku yang akan menghakimi orang, hanya Tuhan yang bisa melakukan itu," katanya.
Iapun memutuskan bersyahadat. "Aku datang pada Islam melalui buku. Melalui studi kritis dan intens seperti mualaf lain. Jika Anda berada dalam situasi ini, Anda berutang kepada diri sendiri untuk menemukan jawaban sekarang karena kita tidak tahu kapan kita akan mati. Dan untuk mengetahui bahwa Tuhan memberikan kita pikiran untuk berpikir kritis. It's OK untuk mengajukan pertanyaan dan it's OK untuk menemukan jawaban."
Saat itu, wanita yang tumbuh dan besar di Ontario, Kanada ini mengaku benar-benar berpikir bahwa semua orang di dunia adalah orang Kristen. Kejadian ini terjadi sekitar 10 tahun yang lalu, sebelum peristiwa 11 september terjadi.
Pada saat yang sama, Iman, begitu ia minta dipanggil sekarang, tengah mengalami kekosongan batin. Meskipun dibesarkan dalam keluarga Ortodoks Yunani dan menghadiri gereja setiap Minggu hampir tak pernah bolong, "Gereja tidak lagi memiliki arti dalam hidupku dan ada banyak pertanyaan yang tidak bisa dijawab oleh Gereja," katanya.
Suatu dikotomi mulai muncul, di mana kehidupan dan agama itu hanyut ke sisi berlawanan. "Aku tidak bisa melihat bagaimana membuat agama relevan dengan kehidupan sehari-hari. Dan itulah bagaimana aku mulai menjauh dari Gereja," katanya.
Di kampus, ia mulai berinteraksi dengan mahasiswa Muslim. "Mereka menghidupkan kembali rohaniku untuk menjadi dekat dengan Tuhan lagi," katanya. Ia mengaku sedikit cemburu; bagaimana mereka begitu setia dan damai dan aku tidak, meskipun aku akan ke surga dan mereka tidak?
Ia mulai masuk ke perdebatan agama dengan mereka. Salah satu misinya, mengenalkan Yesus. Ketika mereka menyatakan percaya pada Yesus, ia terkejut. "Mereka menghormati Yesus bukan sebagai Tuhan, tapi utusan Tuhan dan salah satu nabi mereka," katanya.
Diam-diam, ketika tidak ada yang melihat, ia menyelinap ke perpustakaan untuk membaca tentang Islam untuk meyakinkan mereka bahwa mereka salah. "Aku hanya menemukan beberapa buku benar-benar aneh dan tua. Saat itu adalah zaman pra-Google sehingga tidak ada sumber informasi lain yang bisa dikorek," katanya.
Suatu hari, saat berjalan menyusuri salah satu aula universitas ia melihat beberapa pamflet di dinding tentang Islam. Sampai di rumah ia mulai membaca dan takjub. Satu pamflet bahkan berbicara tentang isyarat Muhammad dalam Alkitab. "Alkitab? Aku pikir ini bohong! Tapi aku memeriksa ayat dalam Alkitab, ternyata benar," katanya.
Ia makin bimbang. "Sampai di satu titik aku berdoa pada Tuhan untuk menunjukkan mana agama yang benar," katanya.
Ia mendatangi gereja lagi, dan lebih sering ke sana, dua kali seminggu. "Aku mulai membaca Alkitab lagi, tapi kali ini dalam rangka untuk menemukan jawaban atas pertanyaanku," katanya.
Setelah berbulan-bulan ini, ia mengaku tidak tahan lagi dan memutuskan untuk pergi menemui pendeta. "Pertanyaanku tiga: Jika Yesus mati untuk dosa-dosa kita dan kita hanya perlu percaya ini untuk diselamatkan dan masuk surga, lalu bagaimana itu masuk akal? Itu berarti aku dapat melakukan dosa dan diselamatkan? Bagaimana bisa Tuhan 3 in 1? Apa pendapat Anda tentang Islam?"
"Untuk dua pertanyaan pertama, ia mencoba yang terbaik untuk menjelaskan, tapi sudah jelas bagiku bahwa ada banyak ambiguitas dalam jawabannya. Ketika kami sampai ke pertanyaan ketiga, matanya melotot keluar dan wajahnya memerah! Ia memintaku untuk menjauh dari orang-orang yang mempengaruhiku hingga bertanya demikian."
Ia meninggalkan pertemuan dengan kecewa. "Untuk pertama kalinya, hal ini menyebabkan celah pasti dalam imanku. Aku justru makin menemukan jawaban," katanya.
Setelah berbulan-bulan lebih intens membaca, studi kritis terhadap kedua agama dan berdoa pada Tuhan untuk ditunjukkan agamanya, hatinya makin condong pada Islam. Namun, ia masih ragu dan takut akan perubahan sikap orang-orang terdekatnya, terutama keluarganya. Ia takut menyakiti hati mereka.
Namun, ia dikuatkan setelah bertemu ayat 113-115 dalam surat Ali Imran. "Aku mengerti bahwa sebagai Muslim kita harus menghormati orang dari agama lain untuk beberapa dari mereka benar-benar tulus dan mereka percaya Allah. Pada akhirnya, bukan mereka atau aku yang akan menghakimi orang, hanya Tuhan yang bisa melakukan itu," katanya.
Iapun memutuskan bersyahadat. "Aku datang pada Islam melalui buku. Melalui studi kritis dan intens seperti mualaf lain. Jika Anda berada dalam situasi ini, Anda berutang kepada diri sendiri untuk menemukan jawaban sekarang karena kita tidak tahu kapan kita akan mati. Dan untuk mengetahui bahwa Tuhan memberikan kita pikiran untuk berpikir kritis. It's OK untuk mengajukan pertanyaan dan it's OK untuk menemukan jawaban."
STMIK AMIKOM
Tidak ada komentar:
Posting Komentar