Aku murtad bukan karena aku tidak suka dengan Islam atau aturan ibadahnya, tetapi karena telah menyadari bahwa Islam ternyata bertentangan dengan pengetahuan modern seperti sains, filosofi, etika, anthropologi, dan bidang yang paling kugemari dan kupelajari yakni psikologi: ilmu dan penelaahan kelakuan manusia.
Di bulan-bulan mendatang, aku akan menyumbangkan artikel-artikel ke FFI (faithfreedom.org) yang menelaah perilaku manusia dan berbagai tipe kejiwaan Muslim: Muslim Barat, Sufi, Salafi, Muslim yang didorong tujuan politik (Hizb/Ikhwan) sebagaimana ada dalam berbagai kelompok Muslim, yang masing-masing mengakibatkan perilaku dan mentalitas yang berbeda.
Aku telah menghabiskan waktu dan tenaga untuk mempelajari berbagai aliran dan budaya dalam umat Islam. Karena telah mengalami sendiri pengalaman spiritual dan religius Islam, dan mempelajari imam-imam dan khotbah-khotbah mereka, membaca berbagai buku, artikel, argumen mereka, maka sekarang aku merasa sangat yakin bahwa aku mengerti keadaan psikologi mereka, dan aku akan membahas hal ini lebih jauh dalam artikel-artikelku.
Aku sadar bahwa teologi Islam yang sudah berusia 1400 tahun – bukanlah kebenaran sejati – tetapi merupakan usaha primitif untuk memahami dan menetapkan standar sosial, spiritual, agama dan etika. Standar-standar abad ke 7 M ini bisa menunjukkan bagaimana kebudayaan Arab berkembang dari kebudayaan sebelumnya, yakni ‘jahiliyah’, tapi lalu mengalami stagnasi dalam nilai-nilai tradisionalnya yang kaku, dan tak mengijinkan budaya Arab berkembang lebih jauh. Satu-satunya usaha untuk berkembang dilakukan oleh kelompok Mu’tazila di abad ke 8 M, yang memungkinkan tercapainya Jaman Keemasan Islam. Tapi para pemikir maju ini malah dianggap sebagai bi’dah dan murtad sehingga akhirnya lenyap semua di abad ke 13. Sekarang yang berkembang di dunia Islam adalah Sunnah atau dogma tradisional Islam.
Aku juga sadar bahwa aku bisa menerima ancaman mati di bawah hukum Syariah atas keputusanku untuk murtad. Hal ini sangat mengganggu pikiranku dan menunjukkan bahwa umat Muslim menggunakan taktik menakut-nakuti dengan hukum Syariah demi menjaga keutuhan agama dan tujuan politik Islamnya. Di lain pihak, yang membuatku senang adalah, aku bisa melihat evolusi kemanusiaan yang tidak lagi terkekang oleh bentuk primitif teologia dan hukum, sehingga bisa terus mengembangkan integritas, kejujuran, kerendahan hati, dan stabilitas moral. Ini merupakan masa depan yang menjanjikan bagi umat manusia yang tidak lagi berada dalam kegelapan akibat cuci-otak para pemuka agama.
Farhan Qureshi ketika masih menjadi seorang apologet Islam, dalam sebuah debat terbuka menghadapi Sham Shamoun mengenai topik "Trinitas"
Dulu sebagai pembela Islam, aku berdebat dengan berbagai pihak di mesjid, gereja, universitas, balai pertemuan dan perpustakaan. Aku juga berdebat melawan para apologet Kristen seperti Dr. James White, Dr. Tony Costa dan Prof. David Wood. Dari mereka aku belajar tujuan pembelaan agama bukanlah untuk berkonfrontasi tapi untuk mengerti akan kebenaran, bahkan jika ini berarti pandangan kita harus berubah. Kita harus bersikap menerima kebenaran yang sudah jelas, dan bukannya melawannya. Jika kita melawan kebenaran atau realitas yang sudah nyata, maka ini berarti kita bersikap munafik: sudah mengerti sesuatu itu benar, tapi masih ngotot saja menyangkalnya karena alasan-alasan membenarkan diri sendiri atau keterikatan akan pemahaman yang salah. Aku ingin berterima kasih pada Ali Sina karena memberikan sarana untuk menyelidiki Islam dan menunjukkan sifatnya yang primitif dan tidak sesuai lagi dengan realitas modern.
Sumber: Faithfreedom.org
Berita Terkait: "I Declare My Apostasy" & "Debat Farhan vs Shamoun"
bagus juga karanganya
BalasHapuspos balik di
>> www.kristendalamfakta.blogspot.com <<