Nama saya, Anna Marcelina. Saya anak kelima dari tujuh bersaudara, iahir dalam keluarga Kristen (Protestan) yang tergolong fanatik. Semula, mama saya seorang Muslimah, tapi kemudian masuk Kristen karena desakan ekonomi. Mama lebih mengorbankan akidahnya ketimbang harus berpisah dengan ayah. Yang saya ketahui tentang keluarga mama hingga saat ini, mereka masih mempertahankan agama Islam, hanya mama saja yang tergoda pindah agama menjadi Kristiani, mengikuti ayah. Setelah ayah meninggal dunia, mama saya kurang menjalani agamanya yang baru sebagai Kristiani. Suatu ketika, saya menegur, kenapa mama tak pernah berdo'a dan ikut kebaktian. Tapi teguran saya itu tak digubris oleh mama. Seiring perjalanan waktu, saya menikah dengan seorang laki-laki Muslim. Sebagai istri, saya bertekad untuk tetap mempertahankan iman Kristiani saya. Dan suami saya pun tetap pada akidah Islamnya. Meski berbeda akidah, saya tetap menghormati suami, begitu pula suami saya tidak memaksa saya pindah agama. Saya tahu, dalam Islam, tidak ada paksaan dalam beragama. Bagiku agamaku, bagimu agamamu. Prinsip itu diikuti oleh suami saya. Memang, dulu saya menikah dengan cara Islam. Tapi saya tidak menjadikan itu sebagai jalan untuk menjadi seorang Musilmah. Selama mengarungi rumah tangga yang baru seumur jagung, suami saya banyak membimbing saya dengan kesabaran dan kelembutan. Padahal, jujur saja, saya sempat berpikir untuk mengkristen dia, termasuk mengkristenkan saudara ibu saya. Tapi pikiran itu selaiu gagal untuk diwujudkan. Sebelum menikah, saya adalah seorang aktivis gereja di Bandung. Boleh dibiiang, saya bukan sekadar penganut Kristen biasa. Saya tergolong seorang yang militan. Kata teman-teman di gereja, saya punya kharisma. Entahlah. Yang jelas, saya sering mengajak dan menyampaikan kebenaran Kristen. Bahkan ketika saya masih kuliah, saya sempat mendirikan persekutuan do'a dan kebaktian di kampus. Padahal sebelumnya tak pernah ada kegiatan kerohanian Kristen. Lebih dari itu, saya bahkan pernah mengkristenkan dua orang Muslim, yang kebetulan dari golongan yang kurang educated. Tanpa melalui diskusi atau debat, cukup saya memberi pengertian tentang ajaran kaslh terhadap sesama. Dengan kata lain, saya menggunakan cara-cara yang halus dan lebih menggunakan pendekatan yang simpatik. Berbeda dengan lapisan masyarakat yang educated, mereka harus dihadapi melalui perdebatan lebih dulu. Alhasil, saya dapat merangkul beberapa Muslim lainnya. Dalam dakwah Kristen dikenal istilah "Jadilah penjala ikan". Ikan itu adalah manusia, dan kitalah yang menjalanya. Ketika sudah menjadikan diri sebagai penjaia ikan, maka harus ada follow up-nya. Sebagai penjala ikan, saya belum sampai menggunakan uang atau materi untuk mengajak mereka yang Muslim. Saya hanya menggunakan pendekatan yang lebih persuasif. Lagipula, saya bukanlah seorang misionaris. Saya hanya jadi pengikut saja. Artinya, saya memang belum menjadi seorang misionaris dalam pengertian sesungguhnya, yang menyampaikan ajaran Kasih Kristus ke penjuru dunia, mulai dari kota hingga daerah terpencil. Sejauh itu, saya hanya menyampaikan firman Allah, dan mengajarkan nyanyian puji-pujian saja. Asli, sejak saya lahir, saya tidak pernah mengenal apalagi mencari tahu tentang Islam. Meskipun mama saya awalnya Muslimah, saya tak ingin menyentuh hal-hal yang berkaitan dengan Islam. Itu, mungkin, karena saya seorang Kristen fanatik. Lalu, apa yang membuat saya ingin memeluk Islam? Kedengarannya sepele, suatu malam saya bermimpi dikelilingi oleh ibu-ibu berbusana Muslim, mengenakan jilbab putih bersih, dan menggenggam tasbih seraya melafazkan La Ilaha Illallah. Gemuruh suara itu membuat hati saya bergetar dan membuat saya terisak-isak. Saat terbangun, saya pun bertanya-tanya tentang takwil mimpi saya semalam, terutama kalimat La Ilaha Illallah. Setelah saya mencari tahu, ternyata saya baru memahami, bahwa kalimat tauhid itu bermakna Tiada Tuhan Selain Allah. Entah kenapa, saya yang dikenal sebagai seorang Kristiani yang fanatik, merasa yakin bahwa mimpi itu bukan sembarang mimpi atau bukan sekadar kembang tidur. Anehnya, saya langsung percaya. Dalam hati kecil saya, ini seperti petunjuk dan jalan terang bagi saya. Kalau ditanya, kenapa saya langsung percaya? Karena memang, saya selalu meyakini setiap mimpi sebagai firasat dan petunjuk dari Yang Kuasa. Boleh dibiiang, saya punya kelebihan untuk menjadikan mimpi saya sebagai petunjuk. Sebelumnya, pernah saya bermimpi adik saya sedang dirawat di sebuah rumah sakit di Jakarta. Anehnya, mimpi saya itu selalu menjadi kenyataan. Waktunya pun berlangsung cepat. Malamnya bermimpi, esoknya betul-betul terjadi. Bahkan jauh sebelumnya, saya pernah bermimpi saudara saya meninggal, esok harinya benar-benar terjadi. Umumnya, seseorang yang bermimpi sekitar pukul 2.00 pagi hingga menjelang Subuh, biasanya akan menjadi kenyataan. Karena pada saat itu, bukan sekedar mimpi, tapi sebuah firasat yang sangat kuat. Setelah mimpi yang pertama, kegelisahan saya semakin bertambah ketika saya mendengar adzan Subuh berkumandang. Saya merasakan keanehan. Setiap kali saya mendengar adzan Subuh, pasti saya terbangun dan tidur saya. Padahal, sebelumnya saya selalu bangun agak siang, saat matahari mulai meninggi. Untuk kedua kalinya, saya lagi-lagi bermimpi, seseorang berlutut (bersujud) dengan mengenakan sorban putih. Kemudian orang itu berdo'a, "Semoga kamu meraih kebahagiaan di dunia yang sekarang dan kebahagiaan di akhirat kelak." Setelah mimpi berturut-turut, saya tak kuat menyimpannya sendiri. Saya menceritakannya kepada suami saya. Suami saya agak surprise dan mendengarnya dengan penuh perhatian. Akhirnya, tahun 2004, saya memutuskan untuk masuk Islam. Saya diislamkan di sebuah pulau terpencil di luar Jawa. Sejak saya menjadi Muslimah, saya berganti nama menjadi Siti Masitoh. Saya teringat, ketika pertama kali shalat, hati saya terasa bergetar. Apalagi jika ayat-ayat Tuhan diperdengarkan, hati saya pun semakin tambah bergetar. Masa transisi dari Kristen menuju Islam, saya rasakan ujian yang sangat berat. Di samping berpisah dengan keluarga, silaturrahim terputus, saya juga mendapat kesulitan ekonomi. Hingga suatu malam, saya memohon dan bermunajat kepada Allah, agar Allah memberi kemudahan dan menguatkan kesabaran saya. Alhasil, do'a saya langsung dijawab Allah, betul-betul instan. Sebagai seorang guru, saya belum menerima gaji bulanan. Padahal, uang saya ketika itu tinggal Rp. 15.000,-, sementara tanggal 30 masih jauh. Mengandalkan suami, tentu tidak mungkin, mengingat suami saya berprofesi sebagai wiraswasta kecil-kecilan. Begitu saya shalat Tahajud dan bermunajat kepada Allah dengan penuh kesungguhan, tanpa diduga saya menerima telepon dari teman satu gereja saya dulu yang sedang berada di Arab Saudi untuk mentransfer uang sebesar Rp. 1 juta. Saat itu, saya bertambah yakin, Allah sungguh Mahahidup. Dia tahu kegelisahan dan penderitaan hambaNya. Padahal kawan saya itu belum tahu, bahwa saya sudah menjadi seorang Muslimah. Setahun berjalan menjadi Muslimah, saya sering mengenang dosa-dosa yang telah saya perbuat di masa lalu. Dalam kesendirian, di tengah malam yang sunyi, jiwa saya merintih, air mata ini tak mampu lagi saya bendung. Sedih, kalau saya ingat bahwa saya dulu bukan orang baik, apalagi sempat mengkristenkan beberapa orang Islam. Ingin sekali saya menebus dosa-dosa saya, meski saya harus memulai hidup ini dari nol lagi. Apa pun yang terjadi, saya serahkan seluruh hidup saya kepada Allah. Saya hanya ingin mendapat ampunan dan ridhaNya. Terakhir, saya ingat, saya sempat pamit pada ibu saya. Terus terang, hanya ibu yang tahu dengan keislaman saya. Sementara saudara-saudara saya yang lain belum mengetahui. Sejak saya menikah, hubungan saya dengan saudara-saudara yang lain terputus. Saya memang berusaha menyembunyikan keislaman saya. Saya khawatir dengan keselamatan diri saya dan keluarga saya. Karena saya tahu, keluarga dari pihak kakak-kakak saya adalah orang-orang keras. Mereka tidak segan-segan mencederai saya, kalau tahu saya memeluk Islam. Tapi, bagi saya, kebenaran itu harus diungkapkan, jangan disembunyikan. Hanya Allah lah sebaik-baik Pelindung. Banyak hal yang saya dapatkan setelah masuk Islam. Selain rasa ketenangan, saya juga menilai Islam adalah agama yang mengutamakan disiplin. Setiap saya bangun malam untuk shalat Tahajud, saya merasa dekat dengan Tuhan. Terlebih, saat Subuh, saya selalu berjama'ah dengan suami. Kemantapan iman saya semakin kokoh, ketika saya mengikuti workshop ESQ pimpinan Ary Ginanjar. Dengan pelatihan itu, iman saya seperti di-ces kembali. [amanahonline] |
Kamis, 03 Juli 2008
Anna Marcelina Masuk Islam setelah Mendapat Mimpi
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar