Orang-orang Muslim terbungkus rapat dalam kebohongan. Karena berbicara menentang Islam adalah sebuah kejahatan yang harus dihukum mati, maka tidak ada seorangpun yang berani mengatakan kebenaran. Mereka yang mengatakan kebenaran, tidak akan hidup lama. Mereka langsung dibungkam. Jadi bagaimana anda bisa tahu kebenaran kalau semua yang anda dengar hanyalah kebohongan?
Setelah membaca Qur’an, perspektif saya terguncang. Saya mendapati diri saya berhadapan muka dengan kebenaran dan saya takut untuk melihatnya. Itu bukanlah sesuatu yang ingin saya lihat. Saya tidak dapat menyalahkan siapapun, mengutuk dan mengatainya sebagai pendusta. Dengan membaca Qur’an saya menemukan absurditas Islam dan tidak manusiawinya pengarangnya. Dan saya syok. Namun syok ini menyadarkan saya dan menghadapkan saya pada kebenaran. Sayangnya, ini adalah sebuah proses yang sangat sulit dan menyakitkan. Kita tidak dapat terus membungkus kebenaran dengan gula. Kebenaran itu pahit, dan itu harus diterima. Kenyataan itu ‘keras kepala’ dan tidak mau pergi. Hanya dengan begitu proses pencerahan bisa dimulai.
Tetapi oleh karena kadar kepekaan tiap orang berbeda, apa yang mengejutkan orang lain belum tentu juga akan mengejutkannya. Bahkan sebagai seorang pria saya terkejut ketika saya membaca bahwa Muhammad memerintahkan para pengikutnya untuk memukuli istri-istri mereka dan ia menyebut kaum wanita sebagai makhluk yang “kurang kecerdasannya”.
Padahal saya telah berjumpa dengan banyak wanita Muslim yang tidak mengalami kesulitan untuk menerima pernyataan yang merendahkan ini yang disampaikan oleh nabi mereka. Bukan karena mereka setuju bahwa mereka memiliki inteligensi yang rendah atau mereka percaya bahwa mayoritas penghuni neraka adalah kaum wanita hanya karena nabi berkata demikian, namun hanya karena mereka dihalangi untuk mendapatkan informasi itu. Mereka membacanya, tapi tidak menghayatinya. Mereka menyangkalinya. Penyangkalan adalah sebuah perisai yang menutupi dan melindungi mereka, yang menyelamatkan mereka agar mereka tidak usah menghadapi kenyataan yang menyakitkan. Jika perisai itu disingkirkan, tidak ada yang dapat mengembalikannya lagi. Pada titik ini iman mereka harus diserang dari berbagai arah yang berbeda. Kita harus membombardir mereka dengan pengajaran Qur’an lainnya yang mengejutkan. Pastilah ada salah-satu yang menjadi kelemahan mereka. Itulah yang mereka butuhkan: sebuah kejutan yang baik. Kejutan itu sangat menyakitkan, tapi dapat menyelamatkan hidup. Kejutan biasa digunakan para dokter untuk menghidupkan kembali pasien yang sudah mati.
Untuk pertama kalinya, internet telah mengubah keseimbangan kekuatan. Kini kekuatan brutal dari senjata api, penjara dan laskar kematian tidak berdaya dan pena berkuasa. Untuk pertama kalinya, orang Muslim tidak dapat membunuh kebenaran dengan membunuh utusan kebenaran. Kini sejumlah besar orang Muslim terhubung dengan kebenaran dan mereka merasa tidak berdaya. Mereka ingin membungkam suara ini, namun tidak sanggup. Mereka berusaha melarang dan menutup situs-situs yang mengekspos kepercayaan mereka yang mereka agungkan; kadang untuk sementara waktu mereka berhasil, tapi banyak kali mereka gagal. Saya menciptakan sebuah situs untuk mendidik orang Muslim mengenai Islam yang sejati. Saya mengalamatkannya di Tripod.com. Para penganut Islam memaksa Tripod untuk menutupnya dan para eksekutif Tripod bersikap pengecut dengan menuruti orang-orang Muslim itu. Saya mendapatkan tempat saya dan situs itu kembali lagi setelah beberapa minggu. Oleh karena itu, cara-cara lama dengan membunuh orang-orang yang dianggap sesat, membakar kitab-kitab mereka, dan membungkam mereka dengan teror tidak akan berhasil. Mereka tidak dapat menghentikan orang agar tidak membaca. Walaupun situs saya dilarang di Arab Saudi, Uni Emirat Arab dan di banyak negara Islam lainnya, sejumlah besar orang Muslim yang tidak pernah tahu kebenaran tentang Islam terekspos dengan kebenaran untuk pertama kalinya, dan mereka terkejut.
Saya bertemu dengan seorang wanita di internet yang berpaling pada Islam dan mulai mengenakan jilbab. Dia memiliki sebuah situs yang memuat gambar dirinya tertutup dari ujung kepala sampai ujung kaki dengan pakaian hitam dan kerudung hitam, dan juga kisah bagaimana ia menjadi seorang Muslim. Ia sangat aktif dan ia selalu menasehati orang agar tidak membaca tulisan-tulisan saya. Namun, ketika ia membaca tulisan saya mengenai Safiyah, wanita Yahudi yang ditawan dan diperkosa Muhammad setelah nabi membunuh suaminya, juga ayahnya dan banyak kerabatnya, ia pun terkejut. Ia bertanya pada orang-orang Muslim lainnya mengenai hal itu, namun sia-sia. Lalu pintu itu terbuka dan ia diusir dari surga ketidakpedulian. Ia terus menulis kepada saya dan mengajukan pertanyaan-pertanyaan. Akhirnya, ia melewati tahap berikut dari iman yang buta kepada pencerahan dengan sangat cepat dan berterimakasih pada saya karena telah membimbingnya menjalani jalan yang sulit ini. Kemudian ia mengundurkan diri dari klub-klub islami Yahoo!
Ketika orang mengetahui kehidupan Muhammad yang tidak suci dan absurditas Qur’an, mereka terkejut. Saya ingin mengekspos Islam; menulis kebenaran mengenai kotornya hidup Muhammad, perkataan-perkataannya yang penuh kebencian, gagasan-gagasannya yang tidak masuk akal; dan membombardir orang Muslim dengan kenyataan-kenyataan. Mereka akan jadi marah. Mereka akan mengutuk saya, menghina saya, dan mengatakan pada saya bahwa setelah mereka membaca artikel-artikel saya iman mereka pada Islam semakin “dikuatkan”. Tapi itu terjadi ketika saya tahu bahwa saya telah menabur benih keraguan dalam benak mereka. Mereka mengatakan semua itu karena mereka terkejut dan telah masuk ke tahap penyangkalan. Benih keraguan telah ditanamkan, dan akan bertunas. Untuk beberapa orang hal itu membutuhkan waktu bertahun-tahun, namun jika diberi kesempatan tunas itu pada akhirnya akan berkembang.
Keraguan adalah karunia terbesar yang dapat kita berikan pada sesama kita. Keraguan adalah karunia pencerahan. Keraguan akan membebaskan kita, akan mengembangkan pengetahuan, dan akan menyingkapkan misteri alam semesta ini.
Salah-satu rintangan yang harus diatasi adalah tradisi dan nilai-nilai palsu yang dicekokkan pada kita melalui pendidikan agama selama ribuan tahun. Dunia ini masih menghargai iman dan menganggap keraguan sebagai sebuah tanda kelemahan. Orang membicarakan tokoh-tokoh iman dengan hormat dan menghina orang-orang yang imannya sedikit. Kita terbelit kusut dalam nilai-nilai kita.
Keraguan di lain pihak berarti, kebalikan dari yang di atas. Keraguan berarti mampu berpikir secara mandiri, mempertanyakan, dan bersikap skeptis. Kita berhutang sains dan peradaban modern yang saat ini kita miliki pada para pria dan wanita yang mempunyai keraguan – bukan pada orang-orang yang beriman. Mereka yang ragu adalah para pelopor; merekalah para pemimpin pemikiran. Mereka adalah para filsuf, para pencipta dan penemu. Mereka yang beriman menjalani hidup dan mati sebagai pengikut-pengikut, dan hanya sedikit berkontribusi, atau bahkan tidak sama sekali, terhadap kemajuan sains dan pemahaman manusia.
Setelah dikejutkan, atau juga terus menerus dikejutkan, orang akan menyangkal. Mayoritas orang Muslim terperangkap dalam penyangkalan. Mereka tidak mampu dan tidak ingin mengakui bahwa Qur’an adalah sebuah cerita bohong. Mereka berusaha keras menjelaskan apa yang tidak dapat dijelaskan, menemukan mujizat di dalamnya, dan dengan rela membengkokkan semua aturan logis untuk membuktikan bahwa Qur’an itu benar. Tiap kali mereka diperhadapkan dengan suatu pernyataan yang mengejutkan di dalam Qur’an atau suatu perbuatan tercela yang dilakukan Muhammad, mereka mengundurkan diri ke dalam penyangkalan. Inilah yang saya lakukan dalam tahap pertama perjalanan saya. Penyangkalan adalah tempat yang aman. Penyangkalan adalah ketidakmauan untuk mengakui bahwa anda telah ditendang keluar dari surga ketidakpedulian. Anda mencoba untuk kembali, enggan mengambil langkah maju. Dalam penyangkalan anda menemukan zona nyaman anda. Dalam penyangkalan anda tidak akan disakiti, semuanya oke, semuanya baik-baik saja.
Kebenaran itu teramat sangat menyakitkan, terutama jika orang sudah terbiasa berbohong selama hidupnya. Tidaklah mudah bagi seorang Muslim untuk memandang Muhammad sebagaimana adanya dia. Itu seperti mengatakan pada seorang anak bahwa ayahnya adalah seorang pembunuh, seorang pemerkosa dan pencuri. Seorang anak yang memuja ayahnya tidak dapat menerima hal itu sekalipun semua bukti yang ada di seluruh dunia diperlihatkan padanya. Kejutan itu terlalu keras sehingga yang dapat dilakukannya adalah menyangkal. Ia akan menyebut anda seorang pembohong, ia akan membenci anda karena anda telah menyakitinya, mengutuk anda, menganggap anda sebagai musuhnya, dan bahkan meledak dalam kemarahan dan akan menyerang anda secara fisik.
Ini adalah tahap penyangkalan. Ini adalah mekanisme pertahanan diri. Jika terlalu menyakitkan, penyangkalan akan membuang rasa sakit itu. Jika seorang ibu diberitahu bahwa anaknya telah meninggal dalam sebuah kecelakaan, seringkali reaksi pertamanya adalah menyangkal. Dalam masa kekacauan besar, orang biasanya terhanyut dalam perasaan bahwa semua ini hanyalah sebuah mimpi buruk dan pada akhirnya ia akan terbangun dan semuanya akan baik-baik saja. Sayangnya, kenyataan itu keras dan tidak mau pergi. Orang dapat hidup dalam penyangkalan untuk sementara waktu, namun cepat atau lambat kebenaran harus diterima.
Orang-orang Muslim terbungkus rapat dalam kebohongan. Karena berbicara menentang Islam adalah sebuah kejahatan yang harus dihukum mati, maka tidak ada seorangpun yang berani mengatakan kebenaran. Mereka yang mengatakan kebenaran, tidak akan hidup lama. Mereka langsung dibungkam. Jadi bagaimana anda bisa tahu kebenaran kalau semua yang anda dengar hanyalah kebohongan? Di satu pihak Qur’an mengklaim dirinya sebagai sebuah mujizat dan menantang setiap orang untuk menghasilkan sebuah Surah seperti itu:
“Dan jika kamu (tetap) dalam keraguan tentang Al Qur’an yang Kami wahyukan kepada hamba Kami (Muhammad), buatlah satu surat (saja) yang semisal Al Qur’an itu, dan ajaklah penolong-penolongmu selain Allah, jika kamu orang-orang yang benar”. Sura 2:23.
Lalu Qur’an memerintahkan para pengikutnya untuk membunuh siapapun yang berani mengkritik atau menantang Qur’an. Jika anda berani menanggapi tantangan itu dan membuat sebuah Sura yang ditulis seburuk Qur’an, anda akan dituduh telah mengolok-olok Islam, dan harus dihukum mati. Dalam atmosfir ketidaktulusan dan penipuan ini, kebenaran dikorbankan.
Rasa sakit yang dialami saat berhadapan muka dengan kebenaran dan menyadari bahwa semua yang kita percayai selama ini ternyata hanyalah kebohongan adalah sesuatu yang sangat menyakitkan. Satu-satunya mekanisme dan cara alamiah untuk mengatasinya adalah dengan menyangkal. Penyangkalan mengusir kepedihan. Penyangkalan adalah angin yang menyejukkan, walau sesungguhnya bagai menyembunyikan kepala di dalam pasir.
Tidak ada seorangpun yang dapat tinggal dalam penyangkalan selamanya. Malam akan segera tiba dan angin dingin kenyataan akan berhembus membekukan tulang, lalu anda akan menyadari bahwa anda tidak lagi berada di dalam surga ketidakpedulian. Pintu itu telah tertutup dan kuncinya sudah dibuang. Anda tahu terlalu banyak. Anda adalah orang yang terbuang. Dengan rasa takut anda menatap kegelapan dan jalan berkelok hampir-hampir tidak dapat anda lihat dalam temaram ketidakpastian anda, dan memantapkan hati anda mengambil langkah-langkah pertama menuju takdir yang tidak anda ketahui. Anda bergulat dan meraba-raba, dengan hati enggan berusaha untuk tetap fokus. Tetapi ketakutan menyelubungi anda dan setiap kali anda mencoba berlari kembali ke taman itu, anda sekali lagi diperhadapkan dengan pintu yang tertutup.
Mayoritas besar orang Muslim hidup dalam penyangkalan. Mereka tinggal di balik pintu-pintu yang tertutup. Mereka tidak dapat kembali dan juga tidak berani untuk berpaling. Mereka yang ada di dalam taman adalah orang-orang yang tidak pernah meninggalkannya. Pintu taman itu hanya akan mengeluarkan anda. Anda tidak dapat masuk. Taman yang indah itu adalah taman ketidakpastian. Taman itu disediakan untuk orang-orang yang setia, bagi mereka yang tidak pernah ragu, bagi mereka yang tidak berpikir. Mereka mempercayai apa saja. Mereka percaya dan akan tetap percaya bahwa malam itu siang, dan siang adalah malam. Mereka percaya bahwa Muhammad naik ke langit ke-7, bertemu dengan Tuhan, membelah bulan, dan bergumul dengan jin-jin.
Orang-orang beriman ini tidak akan melihat kebenaran jika mereka terbungkus rapat dalam kebohongan secara permanen. Sejauh ini apa yang telah mereka dengar adalah dusta yang mengatakan bahwa Islam itu baik dan jika saja orang-orang Muslim mempraktekkan Islam yang sejati, maka dunia akan menjadi surga; bahwa semua permasalahan yang dihadapi Islam adalah kesalahan dari orang-orang Muslim semata. Ini adalah kebohongan. Banyak orang Muslim yang baik. Mereka tidak lebih buruk dan tidak lebih baik dari orang lain. Islamlah yang membuat mereka melakukan kejahatan-kejahatan. Orang Muslim yang melakukan hal-hal yang buruk adalah mereka yang mengikuti Islam. Islam memicu insting kriminal dalam diri manusia. Semakin kuat keislaman seseorang, semakin ia haus darah, penuh kebencian, dan semakin menjadi zombie.
Saya ingin menyangkali apa yang telah saya baca. Saya ingin percaya bahwa makna Qur’an yang sesungguhnya bukanlah seperti yang saya baca, tapi saya tidak bisa. Saya tidak dapat lagi membodohi diri sendiri dengan mengatakan bahwa ayat-ayat yang tidak manusiawi ini telah dikeluarkan dari konteksnya. Qur’an tidak mempunyai konteks! Ayat-ayat dikumpulkan secara acak, dan seringkali tidak berhubungan satu dengan yang lainnya.
Orang-orang yang membaca artikel saya dan tersakiti oleh apa yang saya katakan mengenai Qur’an dan Islam adalah orang-orang yang beruntung. Mereka dapat menyalahkan saya. Mereka dapat membenci saya, mengutuk saya, dan mengarahkan semua kemarahan mereka pada saya. Namun, ketika saya membaca Qur’an dan mempelajari isinya, saya tidak dapat menyalahkan siapapun. Setelah menjalani tahap syok dan penyangkalan, saya bingung dan menyalahkan diri sendiri. Saya membenci diri saya sendiri karena saya berpikir, meragukan, dan karena saya menemukan kesalahan dari apa yang saya percayai sebagai perkataan-perkataan Allah.
Seperti halnya semua orang Muslim, saya diperhadapkan dan menerima begitu banyak kebohongan, absurditas, dan hal-hal yang tidak berperikemanusiaan. Saya dibesarkan sebagai orang yang religius. Saya mempercayai apa saja yang dikatakan kepada saya. Kebohongan-kebohongan itu diberikan pada saya dalam dosis yang kecil, secara bertahap, sejak saya masih kanak-kanak. Saya tidak pernah diberikan pilihan lain sebagai pembanding. Itu seperti vaksinasi. Saya jadi kebal terhadap kebenaran. Tetapi ketika saya mulai membaca Qur’an secara serius dari depan sampai belakang dan memahami apa yang dikatakan kitab ini, saya merasa mual. Semua kebohongan ini tiba-tiba muncul di hadapan saya.
Saya telah mendengar semuanya itu dan telah menerimanya. Pemikiran rasional saya mati rasa. Saya telah menjadi tidak peka terhadap absurditas Qur’an. Ketika saya menemukan sesuatu yang tidak masuk akal, saya menyingkirkannya dan mengatakan pada diri saya sendiri bahwa saya harus melihat “gambar besarnya”. Namun gambar besar yang indah itu tidak dapat saya temukan dimanapun kecuali dalam pikiran saya sendiri. Saya menggambarkan Islam yang sempurna; sehingga semua absurditas itu tidak mengganggu saya karena saya tidak memperhatikannya. Ketika saya membaca Qur’an secara menyeluruh, saya menemukan gambaran yang berbeda dari apa yang ada dalam pikiran saya. Gambaran yang baru mengenai Islam timbul dari halaman-halaman Qur’an yang kejam, tidak bertoleransi, tidak rasional, sombong; jauh dari gambaran Islam sebagai agama yang damai, yang mengajarkan kesetaraan dan toleransi.
Di hadapan banyak absurditas ini, saya harus menyangkalinya agar saya tetap waras. Namun demikian, berapa lama saya dapat terus menyangkali kebenaran sedangkan kebenaran itu bersinar dengan terang benderang di hadapan saya? Saya membaca Qur’an dalam bahasa Arab, jadi saya tidak dapat menyalahkan penerjemahan yang buruk/tidak tepat. Di kemudian hari saya membaca terjemahan-terjemahan lain. Saya menyadari bahwa banyak terjemahan dalam bahasa Inggris tidak sepenuhnya tepat. Para penerjemah telah berusaha keras untuk menyembunyikan hal-hal yang tidak berperikemanusiaan dan kekejaman di dalam Qur’an dengan memutar-balikkan kata-kata di dalam Qur’an dan menambahkan perkataan mereka sendiri, kadang-kadang dalam tanda kurung, untuk memperhalus kekerasan. Qur’an dalam bahasa Arab lebih mengejutkan dari pada terjemahan-terjemahan Qur’an dalam bahasa Inggris.
Saya bingung dan tidak tahu kemana harus bertanya. Iman saya telah digoncangkan dan dunia saya runtuh. Saya tidak dapat lagi menyangkali apa yang saya baca. Namun, saya tidak dapat menerima kemungkinan bahwa semua ini hanyalah kebohongan besar. Bagaimana bisa? Saya terus bertanya pada diri sendiri, begitu banyak orang yang belum pernah melihat kebenaran sedangkan saya dapat melihatnya? Bagaimana mungkin orang berhikmat seperti Jalaleddin Rumi tidak melihat kalau Muhammad adalah seorang penipu dan bahwa Qur’an adalah sebuah kebohongan, sedangkan saya dapat melihat semua itu? Maka kemudian saya memasuki tahap rasa bersalah.
Rasa bersalah itu berlangsung selama berbulan-bulan. Saya membenci diri saya sendiri karena memiliki pikiran-pikiran ini. Saya merasa Tuhan sedang menguji iman saya. Saya merasa malu. Saya berbicara dengan orang-orang terpelajar yang saya percayai, orang-orang yang tidak hanya berilmu namun juga yang saya anggap bijaksana. Saya hanya mendapatkan sedikit jawaban yang dapat memadamkan api yang menyala-nyala dalam diri saya. Salah seorang dari kaum terpelajar itu mengatakan agar saya berhenti membaca Qur’an untuk sementara waktu. Ia menganjurkan agar saya berdoa dan hanya membaca buku-buku yang dapat menguatkan iman saya. Saya melakukannya, tapi itu sama sekali tidak menolong. Pikiran-pikiran mengenai absurditas, kadang kekerasan dan ayat-ayat aneh dalam Qur’an terus berdentam dalam kepala saya. Setiap kali saya menatap rak buku saya dan melihat kitab itu, saya merasa sakit. Saya mengambilnya dan menyembunyikannya di balik buku-buku lain. Saya berpikir jika saya tidak memikirkannya untuk sementara waktu, pikiran-pikiran negatif saya akan pergi dan saya akan memperoleh iman saya kembali. Ternyata tidak. Saya menyangkal dengan segenap kemampuan saya, sampai saya sudah tidak sanggup lagi. Saya terkejut, bingung, merasa bersalah, dan semua itu menyakitkan.
Periode merasa bersalah ini berlangsung sangat lama. Suatu hari saya memutuskan bahwa ini cukup sampai disini saja. Saya mengatakan pada diri saya sendiri bahwa ini bukanlah kesalahan saya. Saya tidak ingin membawa rasa bersalah ini selamanya, memikirkan hal-hal yang tidak masuk akal bagi saya. Jika Tuhan memberi saya otak, itu karena Ia ingin saya menggunakannya. Jika apa yang saya terima sebagai sesuatu yang benar dan salah telah dibengkokkan, maka itu bukan kesalahan saya.
Ia mengatakan pada saya bahwa membunuh adalah perbuatan yang jahat dan saya sadar bahwa membunuh itu jahat, karena itu saya tidak mau dibunuh. Lalu mengapa utusan-Nya membunuh begitu banyak orang yang tidak berdosa dan memerintahkan para pengikut-Nya untuk membunuh orang-orang yang tidak beriman? Jika memperkosa adalah perbuatan yang jahat, dan saya tahu bahwa itu jahat, karena saya tidak mau hal itu terjadi pada orang yang saya kasihi, mengapa Nabi Allah memperkosa wanita-wanita yang menjadi tawanan perangnya? Jika perbudakan itu jahat, dan saya tahu itu jahat karena saya tidak suka kehilangan kebebasan saya dan menjadi seorang budak, mengapa nabi Allah memperbudak begitu banyak orang dan memperkaya dirinya sendiri dengan menjual mereka? Jika pemaksaan agama adalah hal yang jahat, dan saya tahu itu jahat karena saya tidak suka ada orang yang memaksakan agamanya pada saya sedangkan saya tidak menginginkannya, lalu mengapa nabi menyanjung jihad dan mendorong para pengikutnya untuk membunuh orang-orang yang tidak beriman, merampok mereka, dan mendistribusikan kaum wanita dan anak-anak mereka sebagai rampasan perang? Jika Tuhan mengatakan pada saya bahwa sesuatuhal itu baik, dan saya tahu bahwa itu baik karena mendatangkan kebaikan pada saya, lalu mengapa nabi-Nya melakukan hal yang sebaliknya?
Ketika rasa bersalah itu telah diangkat dari pundak saya, kecemasan, kekecewaan dan sinis pun datang. Saya menyesal karena telah menyia-nyiakan begitu banyak tahun dalam hidup saya, dan bagi semua orang Muslim yang masih terperangkap dalam kepercayaan-kepercayaan yang tolol ini, bagi semua yang telah kehilangan hidup mereka atas nama doktrin-doktrin yang palsu ini, bagi semua wanita di negara-negara Islam yang menderita segala macam penyiksaan dan penindasan. Mereka bahkan tidak tahu kalau mereka sedang disiksa.
Saya memikirkan semua perang yang dilakukan atas nama agama – begitu banyak orang mati sia-sia. Jutaan orang beriman meninggalkan rumah dan keluarga mereka untuk berperang dalam nama Allah, tidak pernah kembali, mereka mengira mereka sedang menyebarkan iman kepada Allah. Mereka membantai jutaan orang tidak berdosa. Peradaban-peradaban dihancurkan, perpustakaan-perpustakaan dibakar, dan begitu banyak pengetahuan hilang sia-sia. Saya teringat suatu kali ayah saya bangun waktu hari masih gelap sebelum fajar tiba dan ia mempraktekkan voodoo di air yang sangat dingin di musim salju. Saya ingat bagaimana dia pulang dengan lapar dan haus selama bulan puasa, dan saya memikirkan jutaan orang yang menyiksa dirinya sendiri dengan cara ini untuk sesuatu yang sia-sia saja. Kenyataan bahwa semua yang telah saya percayai adalah sebuah kebohongan dan semua yang telah saya lakukan hanyalah menyia-nyiakan hidup saya, serta masih ada jutaan orang yang tersesat di padang gurun ketidakpedulian yang gersang dan mengejar bayangan yang terlihat oleh mereka seperti air, maka semua hal itu ternyata mengecewakan.
Sebelumnya Tuhan selalu ada dalam pikiran saya. Dalam imajinasi saya, saya selalu berbicara dengan-Nya, dan percakapan-percakapan itu bagi saya adalah sesuatu yang nyata. Saya merasa Tuhan memperhatikan saya dan menghitung semua perbuatan baik yang saya lakukan. Perasaan bahwa ada yang yang memperhatikan saya, memimpin langkah-langkah saya, dan menjaga saya adalah hal yang menenteramkan. Sulit bagi saya untuk menerima bahwa Allah itu tidak ada dan seandainya pun Tuhan itu ada, maka itu bukanlah Allah. Saya tidak berhenti percaya kepada Tuhan, namun kemudian saya yakin bahwa jika alam semesta ini memiliki seseorang yang menciptakannya, maka itu bukanlah sesembahan yang diberitakan oleh Muhammad. Allah itu amat sangat tidak peduli. Qur’an itu penuh dengan kesalahan. Tidak ada Pencipta alam semesta ini yang sebodoh sesembahan yang digambarkan oleh Qur’an. Allah tidak eksis dimanapun, kecuali dalam pikiran orang yang tidak waras. Saya menyadari bahwa Allah hanyalah isapan jempol dari imajinasi Muhammad, dan tidak lebih daripada itu. Betapa kecewanya saya ketika saya menyadari bahwa selama bertahun-tahun saya telah berdoa kepada sebuah fantasi.
Perasaan kehilangan dan kekecewaan ini disertai dengan kesedihan, dan juga depresi. Seakan-akan dunia saya sudah hancur berkeping-keping. Saya merasa seakan-akan tanah tempat saya berpijak sudah tidak ada lagi dan saya jatuh ke dalam jurang yang tidak ada dasarnya. Tanpa bermaksud membesar-besarkannya, saya merasa seperti berada dalam neraka.
Saya tersesat, memohon pertolongan, namun tidak ada yang sanggup menolong saya. Saya merasa malu akan pikiran-pikiran saya dan membenci diri saya sendiri karena mempunyai pikiran-pikiran seperti itu. Perasaan bersalah itu disertai dengan perasaan kehilangan dan depresi yang kuat. Saya adalah orang yang berpikiran positif. Saya melihat sisi baik dari segala sesuatu. Saya selalu berpikiran bahwa esok akan lebih baik daripada hari ini. Saya bukanlah orang yang mudah depresi. Namun, perasaan kehilangan ini sangat mencengkeram saya. Saya masih merasakan beban itu dalam hati saya. Saya merasa Tuhan telah meninggalkan saya dan saya tidak tahu mengapa. “Inikah penghukuman Tuhan?” Saya terus bertanya pada diri sendiri. Seingat saya, saya tidak pernah menyakiti siapapun. Saya selalu berusaha menolong orang yang berpapasan dengan saya dan yang meminta pertolongan saya. Jadi, mengapa Tuhan ingin menghukum saya dengan cara seperti ini? Mengapa Ia tidak menjawab doa-doa saya? Mengapa Ia membiarkan saya bergumul dengan diriku sendiri dandengan pertanyaan-pertanyaan dalam pikiran saya yang tidak ada jawabannya? Apakah Ia ingin menguji saya? Lalu, mana jawaban untuk doa-doa saya? Apakah saya akan lulus dari ujian ini jika saya menjadi bodoh dan berhenti menggunakan otak saya? Jika demikian, mengapa ia memberikan otak pada saya? Apakah hanya orang-orang bodoh yang dapat lulus dari ujian iman ini?
Saya merasa dikhianati dan dijahati. Saya tidak dapat mengatakan perasaan apa yang palling dominan. Ada kalanya saya kecewa, sedih dan putus asa. Walaupun iman adalah sesuatu yang tidak benar, rasanya masih manis. Beriman itu sangat menenteramkan.
Saat saya mulai menyingkirkan perasaan sedih dan kehilangan itu, maka saya pun merasa terbebas. Tak lama kemudian saya tidak lagi merasa bersalah dan bingung. Saya yakin bahwa Qur’an adalah suatu kebohongan dan Muhammad adalah seorang penipu.
Untuk mengatasi kesedihan ini saya berusaha menyibukkan diri dengan berbagai kegiatan. Saya bahkan belajar menari dan mengalami apa artinya hidup, bebas dari rasa bersalah, menikmati hidup dan menjadi normal. Saya menyadari betapa saya telah banyak kehilangan dan betapa dengan bodohnya saya telah melewatkan banyak kesenangan sederhana dalam hidup. Sudah barang tentu, penyangkalan adalah cara yang digunakan bidat untuk mengontrol para pengikutnya. Saya telah menjauhkan diri dari kesenangan-kesenangan sederhana dalam hidup, dulu hidup dalam ketakutan yang terus menerus terhadap Tuhan, dan saya pikir semua itu normal saja. Saya meninggalkan nikmatnya tidur di pagi buta, menari, berkencan, atau menyeruput segelas anggur yang baik.
Saat ini, saya memasuki tahap berikutnya dari perjalanan saya menuju pencerahan. Saya marah. Marah karena telah mempercayai kebohongan itu selama bertahun-tahun, marah karena telah menghabiskan banyak tahun dalam hidup saya untuk “mengejar angsa liar”. Marah terhadap kebudayaan saya karena telah mengkhianati saya, marah terhadap nilai-nilai yang salah yang diberikan oleh kebudayaan pada saya; karena orangtua saya mengajarkan kebohongan pada saya; marah pada diri sendiri karena saya tidak berpikir sebelumnya, karena percaya pada kebohongan, mempercayai seorang penipu; marah pada Tuhan karena telah mengecewakan saya, karena tidak mengintervensi dan menghentikan kebohongan yang disebarkan dalam nama-Nya.
Ketika saya melihat gambar jutaan orang Muslim, yang dengan penuh kesungguhan pergi ke Arab Saudi untuk melaksanakan ibadah haji, dengan menghabiskan uang tabungan mereka, saya jadi marah terhadap kebohongan-kebohongan yang diberikan pada mereka. Ketika saya membaca bagaimana seseorang telah berpaling kepada Islam, hal yang selalu diiklankan orang Muslim dengan senang dan dijadikan pemberitaan yang besar, saya jadi sedih dan marah. Saya sedih memikirkan orang malang itu (yang telah masuk Islam) dan saya marah terhadap kebohongan (yang diberikan padanya).
Saya marah pada seluruh dunia karena berusaha menjaga kebohongan ini, yang membelanya dan bahkan menyiksa anda jika anda angkat suara dan berusaha mengatakan pada mereka apa yang anda ketahui. Bukan cuma orang Muslim, tetapi juga orang-orang Barat yang tidak percaya pada Islam. Tidak apa-apa jika mengkritik apapun selain Islam. Yang mengherankan saya dan membuat saya menjadi lebih marah lagi adalah perlawanan yang saya hadapi ketika saya berusaha mengatakan kepada orang-orang lain bahwa Islam bukanlah kebenaran.
Untunglah kemarahan ini tidak berlangsung lama. Saya tahu bahwa Muhammad bukanlah utusan Tuhan namun seorang dukun, seorang penghasut yang hanya berniat untuk memperdayakan orang dan memuaskan ambisi pribadinya yang narsistik. Saya tahu semua cerita masa kanak-kanak tentang neraka dengan apinya yang menyala-nyala, dan surga dengan sungai anggurnya, susu dan madu yang hanyalah isapan jempol dan buah pikiran seorang yang sakit, liar, tidak aman dan suka melakukan kekerasan terhadap orang lain, seorang yang sangat berhasrat untuk mendominasi dan menegaskan otoritasnya sendiri.
Saya sadar seharusnya saya tidak marah terhadap orang-tua saya; karena mereka telah melakukan yang terbaik dan mengajari saya apa yang menurut mereka adalah yang terbaik pula. Saya tidak dapat marah pada masyarakat atau kebudayaan saya karena bangsaku juga sama mengalami ketidaktahuan seperti halnya orangtua saya dan saya sendiri. Setelah sejenak berpikir, saya sadar semua orang telah menjadi korban. Ada satu milyar korban, bahkan lebih. Bahkan mereka yang telah menindas orang yang tidak beriman juga adalah korban dari Islam. Bagaimana saya dapat menyalahkan orang Muslim jika mereka tidak tahu apa yang diperjuangkan Islam, dan sejujurnya walaupun itu salah, mempercayai bahwa Islam adalah agama yang damai?
Bagaimana dengan Muhammad? Haruskah saya marah padanya karena ia berbohong, menipu dan menyesatkan orang? Bagaimana saya bisa marah pada orang yang sudah mati? Muhammad adalah seorang yang sakit secara emosi yang tidak dapat mengendalikan dirinya sendiri. Ia dibesarkan sebagai anak yatim piatu yang diasuh oleh 5 orangtua angkat yang berbeda sebelum ia mencapai usia 8 tahun. Saat ia dekat dengan seseorang, ia dipisahkan dari orang itu dan diberikan kepada orang lain lagi. Tentunya ini sulit baginya dan mengganggu kesehatan mentalnya. Sebagai seorang anak, yang kehilangan kasih dan perasaan dimiliki, ia bertumbuh dengan rasa takut yang sangat mendalam dan kurang percaya diri. Ia menjadi seorang yang narsistik. Orang yang narsistik adalah orang yang mengalami kekurangan kasih pada masa kanak-kanak, yang tidak mampu mengasihi, namun sangat ingin diperhatikan, dihormati dan diakui. Ia melihat nilai dirinya melalui cara pandang orang lain padanya.Tanpa pengakuan itu ia bukanlah siapa-siapa. Ia menjadi orang yang suka memanipulasi dan seorang pembohong besar.
Orang-orang yang narsistik adalah pemimpin besar. Mereka ingin menaklukkan dunia dan mendominasi semua orang. Hanya dalam lamunan megalomaniak mereka, sifat narsistik mereka dapat terpuaskan. Beberapa narsistik terkenal adalah Hitler, Mussolini, Stalin, Saddam Hussein, Idi Amin, Pol Pot, dan Mao. Orang-orang yang narsistik adalah orang-orang yang cerdas namun rusak emosinya. Mereka adalah orang-orang yang sangat sakit. Mereka menetapkan tujuan-tujuan yang sangat tinggi bagi diri mereka sendiri. Tujuan mereka selalu berhubungan dengan dominasi, kekuasaan, dan respek. Mereka bukan siapa-siapa jika mereka diabaikan. Orang-orang yang narsistik sering mencari pembenaran untuk mengontrol korbannya yang tidak waspada. Bagi Hitler, pembenaran itu berupa pesta dan balapan. Bagi Mussolini, fasisme atau bersatunya sebuah bangsa untuk melawan bangsa lain. Bagi Muhammad, agama.
Tujuan-tujuan ini hanyalah alat bagi mereka untuk mencapai kekuasaan. Alih-alih mempromosikan dirinya sendiri, para narsistik mempromosikan sebuah tujuan, sebuah ideologi, atau agama, sambil menampilkan diri sebagai satu-satunya pihak yang berotoritas dan perwakilan dari tujuan-tujuan itu. Hitler tidak meminta orang-orang Jerman untuk mengasihinya sebagai seorang pribadi, tetapi supaya mereka mengasihi dan menghormatinya karena ia adalah Fuhrer. Muhammad tidak dapat menyuruh siapapun untuk menaatinya. Namun, ia dapat dengan mudah menuntut para pengikutnya untuk menaati Allah dan utusan-Nya. Tentu saja, Allah adalah pribadi Muhammad yang kedua, sehingga pada akhirnya semua ketaatan hanyalah kepadanya. Dengan cara ini Muhammad dapat mengontrol hidup semua orang dengan mengatakan pada mereka bahwa ia adalah representasi Allah dan apa yang dikatakannya adalah penetapan Allah.
Muhammad adalah orang yang kasar dan tidak berperasaan. Ketika ia memutuskan bahwa orang Yahudi sudah tidak menguntungkannya lagi, ia berhenti menjilat mereka dan kemudian memusnahkan mereka. Ia membantai semua pria dari Bani Qurayza dan membuang atau membunuh semua orang Yahudi lainnya dan juga orang Kristen dari Arabia. Tentulah jika Allah ingin menghancurkan orang-orang itu ia tidak akan membutuhkan pertolongan dari utusan-Nya.
Oleh karena itu, saya tidak menemukan alasan untuk marah pada orang yang sakit secara emosi, yang telah meninggal bertahun-tahun silam. Muhammad sendiri adalah korban dari kebudayaan yang bodoh yang dimiliki bangsanya, korban dari ketidakpedulian ibunya yang alih-alih mengasuhnya pada tahun-tahun pertama hidupnya saat ia sangat membutuhkan kasih ibunya, ibunya malah memberikannya pada seorang wanita Bedouin untuk diasuh sehingga ibunya dapat menikah lagi.
Saya tidak dapat mengkritik atau menyalahkan orang-orang Arab dari abad ke-7 yang tidak peduli, karena tidak dapat melihat kalau Muhammad adalah seorang yang sakit dan bukanlah seorang nabi, bahwa janji-janjinya yang aneh, mimpi-mimpi yang mengesankan berkenaan dengan menaklukkan dan menundukkan bangsa-bangsa yang besar sementara dia hanyalah seorang miskin, yang disebabkan oleh komplikasi emosi patologis dan tidak ada hubungannya dengan suatu kuasa illahi. Bagaimana saya dapat menyalahkan orang-orang Arab yang tidak peduli itu karena mereka menjadi mangsa dari seseorang seperti Muhammad sedang pada satu abad lalu, jutaan orang Jerman menjadi mangsa dari karisma seorang narsistik lainnya yang, sama seperti Muhammad, membuat janji-janji yang besar, dan sama kejamnya, sama manipulatifnya, dan sama ambisiusnya.
Setelah memikirkan hal ini dengan mendalam, saya menyadari bahwa saya tidak dapat marah kepada siapapun. Saya menyadari bahwa mereka semua adalah korban dan sekaligus orang yang mengorbankan sesamanya. Penjahatnya adalah ketidakpedulian. Oleh karena ketidakpedulian kita, kita percaya pada isapan jempol dan kebohongan mereka, mengijinkan mereka menaburkan kebencian diantara kita atas nama sesembahan palsu, ideologi, atau agama. Kebencian ini memisahkan kita satu sama lain, dan menghalangi kita untuk dapat melihat diri kita seutuhnya dan memahami bahwa kita semua adalah anggota-anggota umat manusia, yang terhubung satu sama lain dan saling bergantung.
Maka kemudian kemarahan saya berubah menjadi perasaan belas-kasihan, empati dan kasih yang mendalam. Saya berjanji pada diri sendiri untuk memerangi ketidakpedulian ini yang telah memecah-belah umat manusia. Kita telah membayar perpecahan ini dengan harga yang sangat mahal. Perpecahan ini disebabkan oleh ketidakpedulian, dan ketidakpedulian adalah akibat dari kepercayaan palsu dan ideologi yang merusak yang dibuat oleh orang-orang yang tidak sehat secara emosi, untuk kepentingan mereka sendiri.
Ideologi memisahkan kita. Agama menyebabkan perpecahan, kebencian, perkelahian, pembunuhan, dan pertentangan. Sebagai anggota keluarga besar umat manusia, kita tidak memerlukan ideologi, tujuan, atau agama untuk bisa bersatu.
Saya menyadari bahwa tujuan hidup ini bukanlah supaya beriman, tetapi untuk meragukan. Saya menyadari bahwa tidak seorangpun dapat mengajarkan kebenaran karena kebenaran tidak dapat diajarkan. Kebenaran hanya dapat dialami. Tidak ada agama, filsafat, atau doktrin yang dapat mengajarkan kebenaran kepada anda. Kebenaran ada di dalam kasih kita kepada sesama manusia, dalam tawa seorang anak, dalam persahabatan, dalam pendampingan, dalam kasih antara orangtua dan anak, dan dalam hubungan-hubungan kita dengan sesama. Kebenaran tidak ada dalam ideologi. Satu-satunya hal yang nyata adalah kasih.
Proses beranjak dari iman kepada pencerahan adalah proses yang sulit dan menyakitkan. Mari kita meminjam sebuah terminologi dari Sufisme dan menyebutnya sebagai tujuh “lembah” pencerahan.
Iman adalah keadaan bersepakat dengan ketidakpedulian. Anda akan tetap tinggal dalam keadaan indah ketidakpedulian hingga anda dikejutkan dan dikeluarkan dari ketidakpedulian. Kejutan(Syok) ini adalah lembah yang pertama.
Reaksi alamiah pertama terhadap kejutan adalah penyangkalan. Penyangkalan bertindak sebagai perisai. Perisai itu menahan rasa sakit dan melindungi anda dari kesengsaraan yang akan anda alami jika anda keluar dari zona nyaman anda. Zona nyaman adalah tempat dimana kita dapat beristirahat, dimana kita dapat menemukan bahwa segala sesuatu yang ada disana tidaklah asing bagi kita, dimana kita tidak harus menghadapi tantangan maupun hal-hal yang tidak kita ketahui. Inilah lembah yang kedua.
Pertumbuhan tidak terjadi di zona nyaman. Untuk dapat terus maju dan berkembang kita harus keluar dari zona nyaman kita. Kita tidak akan melakukannya kecuali kita telah dikejutkan. Menahan rasa sakit akibat syok dengan cara menyangkal juga merupakan sesuatu yang alamiah. Saat ini kita memerlukan kejutan yang lain, dan bisa jadi kita akan memutuskan untuk memagari diri lagi dengan penyangkalan lain lagi. Semakin kerap orang terekspos dengan kenyataan, semakin ia dikejutkan, semakin ia berusaha untuk menjaga dirinya dengan lebih banyak lagi penyangkalan. Namun, penyangkalan tidak dapat menghapus kenyataan. Penyangkalan hanya memagari kita untuk sementara waktu. Ketika kita diperhadapkan dengan kenyataan, pada titik tertentu kita tidak dapat lagi terus menyangkal. Tiba-tiba kita tidak mampu lagi menegakkan pertahanan kita, lalu dinding penyangkalan akan segera roboh. Pada akhirnya kita tidak dapat terus menyembunyikan kepala kita di dalam pasir. Apabila keraguan telah menerobos masuk, maka keraguan akan membawa efek domino dan kita mendapati diri kita diserang dari segala arah oleh kenyataan yang hingga sekarang masih kita hindari dan sangkali. Tiba-tiba semua absurditas yang telah kita terima bahkan kita bela tidak logis lagi, dan kita menolaknya.
Kemudian kita didorong masuk ke dalam tahap kebingungan yang menyakitkan, dan itulah lembah yang ketiga. Keyakinan-keyakinan lama nampaknya tidak masuk akal, bodoh, dan tidak dapat diterima, namun kita tidak mempunyai pegangan yang lain. Saya yakin, lembah ini adalah tahap yang paling mengerikan dalam perjalanan dari iman kepada pencerahan. Dalam lembah ini kita kehilangan iman kita sebelum menemukan pencerahan. Kita berdiri di dunia antah berantah. Kita mengalami jatuh/terbang bebas. Kita mencari pertolongan namun yang kita dapatkan hanyalah sebuah pengulangan kata-kata klise yang tidak masuk akal. Nampaknya orang-orang yang berusaha menolong kita juga tersesat, namun mereka sangat yakin. Mereka percaya pada apa yang tidak mereka ketahui. Argumen-argumen yang mereka sampaikan sama sekali tidak logis. Mereka berharap agar kita percaya begitu saja. Mereka menceritakan teladan-teladan iman orang lain. Tetapi intensitas iman orang lain tidak membuktikan kebenaran dari apa yang mereka percayai.
Pada akhirnya kebingungan ini memberi jalan menuju lembah yang keempat, yaitu rasa bersalah. Anda akan merasa bersalah karena telah berpikir. Anda merasa bersalah karena meragukan, karena mempertanyakan, karena tidak mamahami. Anda merasa telanjang, dan malu akan pikiran-pikiran anda. Anda mengira andalah yang bersalah jika semua absurditas yang ada di dalam kitab suci anda tidak masuk di akal anda. Anda berpikir Tuhan telah meninggalkan anda atau Dia sedang menguji iman anda. Di dalam lembah ini anda akan dikoyakkan oleh emosi dan intelektualitas anda. Emosi bukanlah hal yang rasional, namun sangat berkuasa. Anda ingin kembali ke surga ketidakpedulian; anda sangat ingin percaya, namun anda tidak bisa. Anda telah melakukan dosa berpikir. Anda telah memakan buah terlarang dari pohon pengetahuan. Anda telah membuat sesembahan dalam imajinasi anda menjadi marah.
Akhirnya anda memutuskan untuk tidak perlu lagi merasa bersalah karena telah mengerti. Rasa bersalah itu bukan milik anda. Anda merasa dibebaskan dan pada saat yang sama kecewa karena semua kebohongan itu telah membuat anda tidak peduli dan telah menyia-nyiakan waktu. Inilah lembahkekecewaan. Pada saat yang sama anda dikuasai kesedihan. Anda merasa dibebaskan, namun seperti baru keluar dari penjara setelah menghabiskan waktu seumur hidup disana, anda diselimuti oleh depresi yang mendalam. Anda merasa sendirian dan, di samping kebebasan anda, anda telah kehilangan sesuatu. Anda memikirkan waktu yang telah hilang. Anda memikirkan orang banyak yang telah mempercayai hal yang tidak masuk akal ini dan yang dengan bodohnya telah mengurbankan segala sesuatu untuk kebohongan itu, bahkan hidup mereka juga. Halaman-halaman sejarah ditulis dengan darah orang-orang yang dibunuh dalam nama Tuhan, Allah, atau sesembahan lain. Semuanya untuk sesuatu yang sia-sia! Semuanya untuk sebuah kebohongan!
Setelah itu anda memasuki lembah yang keenam: marah. Anda marah pada diri sendiri, dan pada semuanya. Anda menyadari betapa hidup anda telah terbuang percuma karena mempercayai kebohongan-kebohongan itu.
Lalu anda menyadari bahwa anda adalah orang yang beruntung karena telah berhasil berjalan sejauh ini, sementara masih ada jutaan orang yang masih berusaha memagari diri mereka dengan perisai penyangkalan, dan tidak mengembara keluar dari zona nyaman mereka. Mereka masih mengarungi rawa di lembah pertama. Pada tahap ini, saat anda telah benar-benar bebas dari iman, rasa bersalah, dan kemarahan, anda telah siap untuk memahami kebenaran tertinggi dan menyingkap rahasia-rahasia kehidupan. Anda dipenuhi empati dan belas kasihan. Anda siap untuk mendapat pencerahan. Pencerahan datang ketika anda menyadari bahwa kebenaran ada di dalam kasih dan di dalam relasi kita dengan sesama manusia dan bukan dalam sebuah agama atau bidat. Anda menyadari bahwa Kebenaran adalah dataran yang tidak mempunyai jalan. Tidak ada seorang nabi atau guru yang dapat membawa anda kesana. Anda sudah ada disana.