Senin, 26 April 2010

Ketika Aulloh Menipu Manusia

Terkait dengan Peringatan Kematian Yesus, beberapa waktu lalu penulis mendapati buku berjudul Memfitnah Yesus karya Dr Erwin Lutzer di toko buku Gramedia. Buku setebal 167 halaman yang diterbitkan oleh Light Publishing Jakarta ini adalah terjemahan dari edisi asli dalam bahasa Inggris Slandering Jesus.

Secara khusus, buku apologetika kristiani ini didedikasikan untuk memerangi berbagai pandangan teologi yang menentang doktrin Kristen tentang penyaliban, kematian dan ketuhanan Yesus Kristus. Dengan telak, Erwin menuding paham-paham tentang Yesus yang bertolak belakang dengan Kristen sebagai kebohongan.

Dalam bab II, secara khusus Erwin menghantam Al-Qur'an sebagai kebohongan, karena membantah penyaliban Yesus. Dalam judul “Kebohongan 2: Yesus Tidak Disalibkan.” Di bawah judul tersebut, ia mencantumkan terjemah Al-Qur'an surat An-Nisa’ 157” (hlm. 39).

Menurut Erwin, kisah Al-Qur'an tentang kegagalan penyaliban Yesus adalah kebohongan. Alasannya, jika Tuhan menggagalkan penyaliban dengan membuat orang Yahudi salah tangkap, berarti Tuhan dalam Al-Qur'an bersalah atas tindak penipuan. Erwin menulis:

“Menurut Al-Qur'an, orang-orang Yahudi tidak berhasil membunuh Yesus, yang disebut sebagai rasul Tuhan. Beberapa penerjemah Muslim mengatakan bahwa orang-orang Yahudi membunuh seseorang yang dibuat Yesus tampak seperti Yesus. Tetapi hal ini akan membuat Tuhan bersalah atas penipuan dan ilusi. Mengapa Tuhan mau ikut serta dalam suatu tindakan yang menipu dan tidak jujur dengan menciptakan seseorang yang tampak seperti Yesus dan membuat orang yang tidak bersalah ini mati sebagai ganti Yesus? Tuhan pastinya bersalah karena tindak penipuan, memimpin orang-orang untuk percaya bahwa yang disalibkan itu adalah Yesus padahal kenyataannya itu adalah orang lain.” (hlm. 41).

Ayat Al-Qur'an yang digugat DR. Erwin yaitu : “Dan karena kekafiran mereka (terhadap Isa) dan tuduhan mereka terhadap Maryam dengan kedustaan besar (zina), dan karena ucapan mereka: "Sesungguhnya kami telah membunuh Al Masih, Isa putra Maryam, Rasul Allah,” padahal mereka tidak membunuhnya dan tidak (pula) menyalibnya, tetapi (yang mereka bunuh ialah) orang yang diserupakan dengan Isa bagi mereka. Sesungguhnya orang-orang yang berselisih paham tentang (pembunuhan) Isa, benar-benar dalam keragu-raguan tentang yang dibunuh itu. Mereka tidak mempunyai keyakinan tentang siapa yang dibunuh itu, kecuali mengikuti persangkaan belaka, mereka tidak (pula) yakin bahwa yang mereka bunuh itu adalah Isa” (Qs An-Nisa’ 157).

Menurut ayat tersebut, orang-orang kafir tidak berhasil menangkap dan menyalib Nabi Isa, apalagi sampai membunuhnya. Karena yang mereka tangkap lalu mereka salibkan ialah orang lain yang diserupakan dengan Nabi Isa.

Para mufassir memahami surat An-Nisa’ 157 bahwa Nabi Isa sama sekali tidak disalib dan dibunuh, karena yang disalib dan dibunuh adalah orang lain yang diserupakan dengan Nabi Isa. Prof Dr H Mahmud Yunus dalam Tafsir Al-Qur’anul Karim menerjemahkan ayat tersebut, “Sebenarnya Isa itu bukan mereka bunuh atau mereka salibkan, tetapi yang mereka salib itu, adalah orang yang serupa dengan Isa, yang telah dibuat samar” (hlm. 94). Prof Buya Hamka dalam Tafsir Al-Azhar menyatakan, “Syubbiha artinya disamarkan. Yaitu diadakan orang lain, lalu ditimbulkan sangka dalam hati orang yang hendak membunuh itu bahwa orang lain itulah Isa” (Juz 6 hlm. 21).

Ketika Aulloh meminta TUMBAL manusia laen yang jadi KAMBING HITAM pengganti Yesus. Oh AULLOH begitu KEJAMnya DIKAU....

Senin, 12 April 2010

SKANDAL-SKANDAL SEKSUAL SANG NABI

Zainab Affair (Skandal Sang Nabi Dengan Menantu)
Satu hari sang nabi mengunjungi anak angkatnya Zaid. Zaid adalah salah seorang mualaf awal – mualaf ketiga tepatnya – dan dia sangat setia pada ayah angkatnya ini, hingga Muhammad sangat memperhatikan Zaid dan menilainya lebih tinggi dari yang lain. Zaid sudah menikah dengan Zaynab bint Jahsh, keponakan sang Nabi sendiri. Dan tambahan lagi – ini sangat penting dalam kisah ini – Zainab sangatlah cantik mempesona.

Hari itu, Zaid sedang tidak ada di rumah, tapi Zainab yang sedang memakai pakaian sembarangan (sexy) dan menampakkan keindahan tubuhnya membukakan pintu bagi sang nabi, dan memintanya masuk. Ketika Zainab membereskan pakaiannya, Muhammad tersentak oleh kecantikan dan keindahan tubuhnya “Auwloh yang mulia! Auwloh disurga! Betapa kau membalikkan hati para lelaki!” teriak sang Nabi. Dia menolak untuk masuk dan malah pergi sambil kebingungan. Tapi, Zainab telah mendengar perkataannya dan lalu menceritakannya pada Zaid ketika dia pulang. Zaid langsung pergi menemui sang Nabi dan dengan patuh menawarkan untuk menceraikan istrinya demi sang nabi. Muhammad menolak, sambil menambahkan “Pertahankan istrimu dan takutlah pada Auwloh.”

Zainab sekarang seperti terpengaruh dengan ide menikahi sang nabi, dan Zaid, melihat bahwa Muhammad masih birahi (horny) pada istrinya, menceraikan juga Zainab. Tapi rasa takut pada opini masyarakat membuat Muhammad ragu: lagipula, anak angkat saat itu dianggap sama dengan anak kandung; jadi, pernikahan demikian akan berarti incest bagi orang Arab saat itu. Seperti biasa, sebuah wahyu turun baginya tepat waktu, mengijinkannya untuk “membuang segala keberatannya bersama dengan angin.” Ketika Muhammad duduk disamping istrinya Aisha, mendadak dia terpelanting kerasukan. Ketika sadar dia bilang, “Siapa yang mau pergi dan memberi selamat pada Zainab dan bilang bahwa Auwloh telah menyatukan dia denganku dalam perkawinan?” Dengan itu kita mendapatkan surah 33.4-5, 33.36-40:
Auwloh sekali-kali tidak menjadikan bagi seseorang dua buah hati dalam rongganya; …… Dia tidak menjadikan anak-anak angkatmu sebagai anak kandungmu (sendiri). ….. Panggillah mereka (anak-anak angkat itu) dengan (memakai) nama bapak-bapak mereka; itulah yang lebih adil pada sisi Auwloh, Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Auwloh dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan….. Dan (ingatlah), ketika kamu berkata kepada orang yang Auwloh telah melimpahkan nikmat kepadanya dan kamu (juga) telah memberi nikmat kepadanya: "Tahanlah terus istrimu dan bertakwalah kepada Auwloh", sedang kamu menyembunyikan di dalam hatimu apa yang Auwloh akan menyatakannya, dan kamu takut kepada manusia, sedang Auwloh-lah yang lebih berhak untuk kamu takuti. Maka tatkala Zaid telah mengakhiri keperluan terhadap istrinya (menceraikannya), Kami kawinkan kamu dengan dia supaya tidak ada keberatan bagi orang mukmin untuk (mengawini) istri-istri anak-anak angkat mereka, apabila anak-anak angkat itu telah menyelesaikan keperluannya daripada istrinya. Dan adalah ketetapan Auwloh itu pasti terjadi…. Muhammad itu sekali-kali bukanlah bapak dari seorang laki- laki di antara kamu, tetapi dia adalah Rasulullah dan penutup nabi-nabi.

Reaksi yang seketika dan paling alami mengenai kejadian ini pastilah datang dari istri muda Muhammad itu sendiri, Aisha, yang mengatakan keheranannya akan keanehan kejadian ini, “Sungguh, Auwlohmu kelihatannya sangat gesit untuk memenuhi segala keinginanmu.”

Bagaimana para apologis Islam membela hal yang mustahil dibela ini? Watt dan yang lainnya mencoba berkata bahwa perkawinan ini dilakukan untuk alasan politis; tidak ada yang tidak patut secara seksual mengenai tingkah laku Muhammad ini. Mereka menunjuk pada fakta bahwa Zainab waktu itu sudah berumur 35 tahun dan dengan demikian tidaklah mungkin sedemikian membangkitkan birahi. Tapi ini omong kosong belaka. Sumber-sumber muslim sendiri menuliskannya secara seksual: Kecantikan Zainab, keadaan pakaiannya yang berantakan, keindahan tubuhnya yang tersingkap karena angin meniup pakaiannya, komentar Muhammad dan kebingungannya ketika pergi. Sudah jelas pula dari reaksi pengikut Muhammad yang terdiam mendengar wahyu ini, tapi yang membuat kaget mereka bukanlah birahi sang Muhammad. “Yang membuat mereka kaget dan merasa aneh adalah aturan itu (yang ada dalam wahyu tersebut) begitu penuh perhitungan sehingga selain memuaskan keinginan dan birahi si Muhammad tapi juga sekaligus menutup peluang akan konflik tabu dan sosial.” Lanjut Rodinson.
Pemikiran dari apologis muslim paling terpelajar Muhammad Hamidullah mengenai seruan Muhammad ketika melihat kecantikan Zainab adalah: melulu menimbulkan keheranannya, Zaid pastilah tidak bisa mengurus perempuan secantik ini sambil menjalankan tugas- tugasnya, ini tidak masuk akal karena menjadi bertentangan dengan arti sebenarnya seruan tersebut. Bahkan ayat-ayat Quran sekalipun, meski singkat menyatakan bahwa sang nabi juga sebenarnya ingin melakukan apa yang wahyu itu tidak perintahkan untuk dilakukan sampai saatnya tiba, dan bahwa rasa takut pada opini masyarakat sajalah yang mencegah dia untuk melakukannya. Teori dari Hamidullah hanya menunjukkan sekali lagi kepelikan yang berlebihan yang bisa muncul dari hasrat untuk membuktikan teori-teori yang sebenarnya telah dinyatakan dengan jelas dalam dogma itu sendiri.[23]

Skandal seks lainnya mengancam dan mengganggu ketenangan ‘harem’ Muhammad. Untuk mencegah kecemburuan diantara istri-istrinya, Muhammad membagi waktu yang sama diantara mereka, satu malam tiap istri bergiliran. Disaat tiba giliran Hafsa, Muhammad melihat kecantikan budak/pembantunya Hafsa, Maria orang Koptik, Hafsa ditipunya dengan berbohong bahwa dia dipanggil ayahnya, ketika Hafsa pergi dia gagahi Maria diranjang Hafsa itu juga. Hafsa yang kembali karena memang ayahnya ternyata tidak memanggil dia, mendapati sang Nabi sedang menindih budak pembantunya (kepergok lagi “maen kuda-kudaan” sama pembokap). Hafsa menjadi sangat marah dan memaki-maki sang nabi dengan kasar; dia mengancam untuk mengungkapkan hal ini pada istri-istrinya yang lain. Muhammad memohon Hafsa agar berdiam diri jangan memberitahu yang lain dan bersumpah untuk tidak mendekati Maria lagi. Tapi Hafsa tetap tidak bisa berdiam diri dan memberitahu Aisha, yang kebetulan tidak senang pada Maria. Skandal ini menyebar luas diantara harem-haremnya, dan segera Muhammad mendapatkan dirinya diasingkan oleh istri-istrinya sendiri.

Seperti dalam masalah Zainab, sebuah wahyu surga turun untuk membereskan masalah rumah tangga ini. Wahyu surga ini membatalkan sumpah yang dibuat Muhammad untuk tidak mendekati lagi sang budak, Maria orang Koptik, dan menegur para istrinya dengan tuduhan tidak patuh dan durhaka; wahyu itu bahkan mengisyaratkan bahwa Muhammad boleh menceraikan semua istri- istrinya dan menggantinya dengan yang lebih patuh (maksudnya yang tidak marah-marah kalo si nabi bejat itu horny sama pembantunya). Lalu, Muhammad mengurung diri (tidur bersama) dengan Maria Koptik dan menjauh dari istri-istrinya selama sebulan. Akhirnya, lewat campur tangan Umar dan Abu Bakar, Muhammad berdamai dan MEMAAFKAN para istrinya (aneh, kok yang minta maaf malah para istri yang jadi korban dari perselingkuhan si Mamad). Harmoni sekali lagi kembali ke haremnya. Surah yang beruntung kita dapatkan dari kejadian ini adalah:
[66.1] Hai Nabi, mengapa kamu mengharamkan apa yang Auwloh menghalalkannya bagimu; kamu mencari kesenangan hati istri- istrimu? Dan Auwloh Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
[66.2] Sesungguhnya Auwloh telah mewajibkan kepada kamu sekalian membebaskan diri dari sumpahmu (maksudnya, boleh melanggar sumpah sendiri); dan Auwloh adalah Pelindungmu dan Dia Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.
[66.3] Dan ingatlah ketika Nabi membicarakan secara rahasia kepada salah seorang dari istri-istrinya (Hafshah) suatu peristiwa. Maka tatkala (Hafshah) menceritakan peristiwa itu (kepada Aisyah) dan Auwloh memberitahukan hal itu (semua pembicaraan antara Hafshah dengan Aisyah) kepada Muhammad lalu Muhammad memberitahukan sebagian (yang diberitakan Auwloh kepadanya) dan menyembunyikan sebagian yang lain (kepada Hafshah). Maka tatkala (Muhammad) memberitahukan pembicaraan (antara Hafshah dan Aisyah) lalu Hafshah bertanya: "Siapakah yang telah memberitahukan hal ini kepadamu?" Nabi menjawab: "Telah diberitahukan kepadaku oleh Auwloh Yang Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal".
[66.5] Jika Nabi menceraikan kamu, boleh jadi auwlohnya akan memberi ganti kepadanya dengan istri-istri yang lebih baik daripada kamu, yang patuh, yang beriman, yang taat, yang bertobat, yang mengerjakan ibadah, yang berpuasa, yang janda dan yang perawan.
Seperti yang Muir katakan, “pastinya tidak ada ayat yang lebih menjijikan dari ayat ini dalam “Kitab Suci Orang Timur” ini; tapi ayat ini telah berulang kali dibaca dan dilantunkan sepanjang abad, dan sampai sekarang juga masih oleh para muslim baik dimuka umum maupun ditempat tertutup, sebagai bagian dari ayat suci Quran yang abadi.”[24]

Ayat-ayat Setan (Satanic Verses)
Lagi, kita dapatkan dari sumber-sumber Muslim yang diandalkan (al- Tabari; Waqidi), kisah merusak dari ayat-ayat setan (sebuah ungkapan yang dipakai oleh Muir pada akhir tahun 1850an, dan sekarang dikenal luas). Selama hari-harinya di Mekah, sebelum pindah ke Medina, Muhammad duduk bersama-sama para orang terkenal Mekah disebelah Kabah, ketika dia mulai mengucapkan Surat 53, yang menjelaskan kunjungan pertama Jibril pada Muhammad dan lalu berlanjut pada kunjungan keduanya:
Dia juga melihatnya (Jibril) dilain waktu Pada pohon Lote dibagian jauhnya Dekatnya ada surga
Ketika pohon Lote menutupi apa yang ditutupinya
Pandangannya tidak berpaling, tidak juga berpindah
Dan sesungguhnya dia membawa tanda-tanda kebesaran Auwloh
Bagaimana pendapatmu mengenai Lat dan Uzza dan Manat?
Pada titik ini, kita diberitahu bahwa Setan telah menaruh perkataan tersebut di mulutnya (Muhammad), perkataan rekonsiliasi dan kompromi: Mereka (Al-Lat, Al-Uzza, dan Al-Manat; dewi-dewi padang pasir Arabia) adalah para perempuan mulia // Dimana intersesinya dimohonkan (maksudnya; Muhammad mengeluarkan ayat tersebut di atas yang mengakomodir dewa-dewi berhala Arab)
Tentu saja, orang-orang Mekah senang dengan dikenalnya dewi-dewi mereka dan diucapkan dalam doa-doa oleh orang muslim. Tapi Muhammad sendiri lalu dikunjungi Jibril yang membatalkan semua itu dan dikatakan bahwa ayat itu seharusnya berakhir demikian:
Apakah (patut) untuk kamu (anak) laki-laki dan untuk Auwloh (anak) perempuan? // Yang demikian itu tentulah suatu pembagian yang tidak adil. // Itu tidak lain hanyalah nama-nama yang kamu dan bapak-bapak kamu mengada-adakannya
(Maksud ayat di atas adalah, bila manusia saja dapat anak laki-laki, maka alangkah tidak terhormatnya auwloh dapat anak perempuan. Karena nilai anak lelaki dianggap lebih tinggi nilainya daripada anak perempuan)

Muslim selalu tidak nyaman dengan kisah ini, tidak mau percaya bahwa nabinya bisa membuat kompromi untuk menyembah berhala. Tapi jika kita terima keaslian sumber-sumber muslim ini secara umum, tidak ada alasan untuk menolak kisah ini. Kelihatannya tidak masuk akal bahwa kisah demikian direkayasa oleh muslim saleh seperti al-Tabari, atau bahwa dia bisa menerima begitu saja sumber-sumber yang tak jelas.[25] Lagipula, hal ini menjelaskan fakta kenapa para muslim yang lari ke Abyssinia banyak yang kembali diterima: Karena mereka mendengar orang-orang Mekah telah masuk Islam. Sepertinya jelas bahwa tidak ada kisah yang loncat tentang Muhammad disini, malah secara hati-hati hal ini telah diperhitungkan untuk memenangkan dukungan orang-orang Mekah. Hal ini juga menimbulkan keraguan hebat akan kejujuran Muhammad; Meski jika benar Setan menaruh perkataan itu dimulut Muhammad, lalu gimana bisa kita percaya pada orang yang begitu mudah disesatkan oleh setan? Kenapa Tuhan membiarkan ini terjadi? Darimana kita tahu bahwa tidak ada lagi ayat- ayat lain dari Muhammad yang disesatkan oleh Setan?

Perdamaian Hudaibiya
Muhammad juga dikritik oleh para pengikutnya pada kesempatan lain, ketika dia dicurigai telah menyalahi prinsipnya sekali lagi. Muhammad, yang merasa sangat yakin setelah konsolidasi posisinya di Medina, memutuskan saatnya sudah tiba untuk mengambil alih Mekah. Tapi ketika sadar bahwa waktunya belumlah tepat, dia berubah pikiran disaat terakhir dan malah bernegosiasi dengan orang-orang Mekah. Lewat perjanjian Hudaibiya, Muhammad diijinkan untuk melakukan ziarah pada tahun berikutnya, tapi balasannya dia harus menahan diri utk dipanggil nabi, dan menahan diri memakai rumus-rumus islamnya. Belakangan Muhammad melanggar perjanjian dengan Mekah ini.

Dengan elemen-elemen ini kita berada pada posisi yang lebih baik untuk mengerti referensi-referensi dari Dr. Margoliout[26] dalam rangkumannya yang menggambarkan kemunculan Muhammad pada biografi karya Ibn Ishaq:
Sifat-sifat yang diterapkan pada Muhammad dalam biografi karya Ibn Ishak sangat tidak menyenangkan. Demi tujuan-tujuannya dia menyimpang dari jalan yg benar, dan dia setuju kekejian-kekejian yang dilakukan para pengikutnya ketika melaksanakan perintah- perintahnya. Dia yg paling banyak mendapat untung dari persaingan dengan orang Mekah, tapi jarang bersyukur untuk itu. Dia mengorganisir pembunuhan dan pembantaian. Karirnya sebagai tiran dari Medina layak pemimpin garong yang ekonomi politiknya terdiri dari melulu harta jarahan yang dibagi dan diamankan, pembagian harta ini kadang dilakukan dengan prinsip-prinsip yang gagal memuaskan para pengikutnya. Dia sendiri tak terkendali dalam masalah perempuan dan mendorong para pengikutnya untuk melakukan hal yang sama. Untuk apapun yang dia lakukan dia siap membenarkannya dengan bantuan Auwlohnya. Bagaimanapun, mustahil utk menemukan doktrin yang dia tidak siap tinggalkan demi mengamankan tujuan-tujuan politiknya.
Pada titik lain dalam karirnya dia mengabaikan kesatuannya dengan Tuhan dan klaimnya sebagai nabi. Ini adalah gambaran yang tidak pantas bagi seorang pendiri agama, dan tidak bisa dibela dengan alasan bahwa gambaran ini adalah gambaran yang dibuat oleh musuh- musuhnya; dan meski nama Ibn Ishaq untuk suatu alasan dipandang rendah oleh para tradisionalis klasik diabad ketiga Islam, tapi toh mereka tidak membuat upaya-upaya untuk mendiskredit bagian-bagian dari biografinya yang memuat kekejian dari karakter nabi mereka.
Penilaian akhir dari apa yang dicapai Muhammad harus menunggu sampai kita menelaah Quran dan doktrinnya, pada bab selanjutnya.

--------------------------------------------------------
[23] Rodinson, Maxime. Muhammad. New York, 1980., hal.207-208 [24] Muir, Sir W. The Life of Muhammad. Edinburgh, 1923, hal 414
[25] Watt, W. Montgomery. Muslim-Christian Encounters. London, 1991.
[26] Margoliouth, D.S. Muhammad. In Encyclopaedia of Religion and Ethics, vol.8 hal 878

Pembunuhan Politis-Pembantaian Yahudi

Medina tahun 622 ditempati oleh beberapa suku-suku Yahudi; yang besar adalah suku/bani Al-Nadir, Bani Qurayza dan Bani Qaynuqa. Juga ada penghuni Arab pagan yang terbagi menjadi dua klan (klan = kelompok yang lebih kecil di dalam suku), Klan Aws dan Khazraj. Kesetiaan Yahudi juga terbagi, Bani Nadir dan Qurayza yang berpihak pada klan Aws dan Qaynuqa yang berpihak pada Khazraj. Bertahun-tahun persaingan berdarah ini membuat kedua belah pihak letih dan khawatir. Muhammad muncul dalam keadaaan demikian pada September 622M. Tidak lama setelah kedatangannya, Muhammad membuat perjanjian semacam federasi antara kelompok-kelompok Medina dan kelompok baru yang datang dari Mekah. Dokumen ini dikenal sebagai Konstitusi Medina, berikut diambil dari Ibn Ishaq:

Rasul Auwloh menulis dokumen perjanjian antara orang Emigran (yakni muslim pengikut Muhammad yang datang dari Mekah) serta orang-orang Ansar (yakni mualaf dari Medina), dan dengan orang Yahudi, yang menetapkan agama dan kepemilikan orang Yahudi dan memberikan mereka hak-hak serta kewajiban-kewajibannya.

Menurut beberapa scholar terkenal[9], konstitusi ini menunjukkan bahwa dari awalpun Muhammad sudah punya maksud untuk melawan orang-orang Yahudi. Bagi Wellhausen, ini menunjukkan “ketidakpercayaan pada orang Yahudi”; sementara Wensinck percaya bahwa “Muhammad membuat konstitusi melulu hanya untuk menetralisasi pengaruh politis dari klan-klan Yahudi; dia menunda waktu sampai dia punya kesempatan untuk menaklukan mereka.”

Moshe Gil percaya bahwa:
Lewat persekutuannya dengan suku-suku Arab di Medina, sang Nabi akan mendapatkan cukup kekuatan untuk menerapkan kebijakan Anti- Yahudinya, meski ada keberatan dari pihak-pihak sekutu yang orang Medina… Malah Konstitusi Medina itu sejak ditulispun sudah berbau ‘pengusiran’ Yahudi.

Dokumen tersebut dengan demikian bukanlah sebuah perjanjian bagi orang Yahudi. Tapi sebaliknya berupa pernyataan resmi untuk tujuan agar melepaskan klan-klan Arab Medina dari orang Yahudi yg sampai saat itu masih merupakan tetangganya.[10]

Awalnya, Muhammad harus bertindak hati-hati, karena tidak semua orang Medina menyambut dia, dan posisi keuangan dia juga sedang lemah. Dia kemudian kecewa mendapatkan bahwa orang-orang Yahudi Medinapun menolak pengakuan kenabiannya. Muhammad lalu mulai mengirim pasukan-pasukan rampok; dari sini terbukti sebenarnya dia tidak lebih hanya seorang kepala bandit belaka, yang tidak mau mencari nafkah dari kerja halal. Muhammad sendiri yang memimpin tiga ekspedisi perampokan terhadap karavan-karavan Mekah di jalur ke/dari Syria yang hasilnya tidak sukses. Sukses pertama mereka ada di Nakhla, ketika para muslim – saat ini tanpa kehadiran Muhammad – menyerang orang-orang Mekah dibulan suci, dimana sebenarnya perang dilarang saat bulan suci itu. Seorang Mekah terbunuh, dua ditangkap, dan banyak harta jarahan dibawa ke Medina. Tapi, Muhammad terkejut, ternyata banyak orang Medina yang kaget akan ternodainya bulan suci oleh penyerangan itu. Meski demikian, Muhammad tetap saja mendapat seperlima dari barang rampokan dan untuk menghilangkan rasa bersalahnya dan membenarkan tindakan dia dimata pengikutnya, dia dengan nyaman mendapat sebuah wahyu yang “membenarkan peperangan meski dilakukan di bulan suci, hal itu dianggap sebagai kejahatan yang lebih kecil dibandingkan dengan kejahatan terhadap Islam.”

Surah 2.217: “Mereka bertanya kepadamu tentang berperang pada bulan Haram. Katakanlah: "Berperang dalam bulan itu adalah dosa besar; tetapi menghalangi (manusia) dari jalan Auwloh, kafir kepada Auwloh, (menghalangi masuk) Masjidil haram dan mengusir penduduknya dari sekitarnya, lebih besar (dosanya) di sisi Auwloh. Dan berbuat fitnah lebih besar (dosanya) daripada membunuh. Mereka tidak henti- hentinya memerangi kamu sampai mereka (dapat) mengembalikan kamu dari agamamu (kepada kekafiran), seandainya mereka sanggup. Barang siapa yang murtad di antara kamu dari agamanya, lalu dia mati dalam kekafiran, maka mereka itulah yang sia-sia amalannya di dunia dan di akhirat, dan mereka itulah penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya.” Muhammad saat itu menerima tebusan 40 ons perak untuk tiap satu tawanannya.

Pada saat ini pemimpin klan Aws, Sa’d b. Mu’adh, mengambil keputusan untuk mendukung Muhammad dan bahkan ikut ambil bagian dalam pasukan penyerang. Dengan demikian sebagian orang Medina pelahan mulai menerima Muhammad, tapi orang Yahudi terus menolak pengakuannya sebagai nabi dan mulai mengkritik dia, bilang bahwa beberapa ayat wahyunya bertentangan dengan kitab mereka. Sikap menerima dia akan beberapa praktek Yahudi juga tidak ada hasilnya, dan dia sadar bahwa orang Yahudi bisa menimbulkan bahaya bagi kekuatannya yang mulai membesar di Medina.

Titik balik keberuntungan Muhammad adalah perang Badar, dimana dengan ‘pertolongan’ Auwloh dan seribu malaikat, empat puluh sembilan orang Mekah berhasil terbunuh, banyak yang ditangkap, dan harta jarahan juga didapatkan. Ketika potongan kepala-kepala musuh hasil pancungan ditaruh di kaki Muhammad, Muhammad berteriak, “Ini lebih baik bagiku daripada Unta terhebat di seluruh Arab.”

Lalu dimulailah serangkaian pembunuhan ketika Muhammad yang mulai merasa lebih percaya diri untuk bergerak menentang musuh- musuhnya membereskan dendam-dendam lama dan secara keji membentangkan kekuasaannya. Pertama dia memerintahkan eksekusi al-Nadir – yang selalu mengejeknya ketika dia di Mekah dan yang bisa bercerita lebih baik dari kisah-kisah yang diceritakan sang nabi. Muir menuliskan pembunuhan tawanan lainnya, Oqba:
Dua hari kemudian, sekitar setengah jalan ke Medina, Oqba, tawanan lain, dikeluarkan untuk dipancung. Dia meminta untuk bicara dan menuntut kenapa dia diperlakukan lebih parah daripada tawanan lain. “Karena permusuhanmu pada Auwloh dan RasulNya,” jawab Muhammad. “Dan anak perempuanku yang masih kecil!” tangis Oqba, “siapa yang akan mengurusnya?” – “Api Neraka!” teriak sang penakluk tanpa hati itu; dan seketika itu juga si korban dijatuhkan ke tanah (untuk dipenggal). “celakalah kau!” lanjut Muhammad, “Penganiaya! Tidak percaya Auwloh dan rasulnya dan Kitabnya! Kupanjatkan syukur pada Auwloh yang telah menyiksamu dan membuat mataku nyaman dengan itu.”

Lagi-lagi, pembunuhan ini dibenarkan dan didukung oleh sebuah wahyu, dalam surah 8.68: "Kalau sekiranya tidak ada ketetapan yang telah terdahulu dari Auwloh, niscaya kamu ditimpa siksaan yang besar karena tebusan yang kamu ambil."

Mulai saat itu Muhammad terus menyingkirkan pihak-pihak penentang yang berbahaya. “Bahkan bisik-bisik rahasiapun dilaporkan pada sang nabi dan berdasarkan laporan tersebut dia melakukan tindakan-tindakan yang kejam dan tak bermoral.”

Orang berikutnya yang ditindak Muhammad adalah penyair bernama Asma binti Marwan, yang berasal dari suku Aws. Perempuan ini tidak pernah menyembunyikan rasa tidak sukanya pada Islam, dan telah menyusun beberapa bait puisi perihal klan-nya yang lebih mempercayai orang asing padahal orang itu memerangi klan-nya sendiri.

Aku memandang rendah Bani Malik dan Al Nabit. Dan auf dan bani Khazraj. Engkau mematuhi orang asing yang bukan golonganmu. Dia bukan Murad atau Madhhij. Apakah yang engkau harapkan darinya setelah kematian pemimpinmu. Seperti orang yang kelaparan yang menantikan kaldu. Tidak adakah orang yang berani menyerang dia dengan kejutan Dan mematahkan harapan mereka yang menantikan sesuatu darinya?[11]

Mendengar puisi ini Muhammad berkata, “Tak adakah yang mau menyingkirkan anak perempuan Marwan ini bagiku?” Seorang muslim fanatik, Umayr ibn Adi, memutuskan untuk melaksanakan kehendak nabinya, dan malam itu ia merangkak ke dalam rumah sang penyair ketika dia tidur, dikelilingi oleh anak-anaknya yg masih kecil. Malah satu anaknya masih sedang menyusu didadanya. Umayr melepaskan anak yang sedang menyusu itu dan menusukkan pedangnya ke sang penyair. Pagi berikutnya, ketika selesai shalat di Mesjid, Muhammad, yang mengetahui telah terjadi pembunuhan malam itu berkata pada Umayr: “Sudahkah kau membunuh anak perempuan Marwan?” “Ya” Jawabnya; “Tapi katakan apa aku akan menanggung dosa pembunuhan ini?” “Tidak,” Kata Muhammad, “Dua kambing tidak sudi bertumbukan kepala (maksudnya,kambingpun tak akan ambil peduli) baginya (Asma).” Muhammad lalu memuji Umayr dihadapan para muslim yang ada di mesjid karena pelayanannya pada Auwloh dan Nabinya.

Sprenger menulis, sisa kerabat Asma binti Marwan yang lain terpaksa masuk Islam karena tidak mau nyawa mereka melayang juga.
Segera setelah itu, Muhammad memutuskan untuk menyingkirkan penyair lain yang syair-syairnya berani mengkritik sang Nabi, seperti Abu Afak, yang berumur lebih dari 100 tahun, berasal dari klan Khazraj, dibantai ketika sedang tidur.

Sementara itu, Muhammad juga sedang menunggu waktu dan alasan yang tepat untuk menyerang bangsa Yahudi. Sebuah pertengkaran di pasar mencuat dan berujung pada dikepungnya suku Yahudi Bani Qaynuqa. Seperti Muir catat, meski mereka terikat oleh perjanjian persahabatan, Muhammad tidak melakukan sesuatu apapun untuk menyelesaikan pertengkaran kecil yang menjadi awal penyebab pengepungan tersebut. “Kalau saja tidak ada rasa benci yang besar dan keinginan yang memang sudah ada sebelumnya untuk mencerabut suku Yahudi, pertengkaran tersebut sebenarnya sangat mudah untuk diselesaikan.” Pada akhirnya suku Yahudi menyerah, dan persiapan untuk eksekusi pun digelar. Tapi pemimpin suku Khazraj, Abdallah b. Ubayy, memohon atas nama sukunya, dan Muhammad yang merasa tidak cukup punya rasa percaya diri untuk menolak permohonan demikian terpaksa harus setuju. Bani Qaynuqa diusir dari Medina dan menetap di Suriah. Harta benda milik mereka tidak boleh dibawa dan dibagikan kepada pasukan Muhammad, itu setelah Muhammad sendiri menerima haknya yang seperlima dari hasil jarahan. Pada kejadian ini Muhammad menerima ayat-ayat yang menjadi bagian dari surah 3.12: “Katakanlah kepada orang-orang yang kafir: "Kamu pasti akan dikalahkan (di dunia ini) dan akan digiring ke dalam neraka Jahanam. Dan itulah tempat yang seburuk-buruknya".

Setelah kejadian itu berturut-turut terjadi perampokan-perampokan selanjutnya, perampokan-perampokan terhadap karavan Mekah itu tidak selalu sukses, kadang diikuti beberapa bulan masa kosong. Tapi berbagai pembunuhan tetap berlanjut – “telah dilakukan tindakan pengecut dan keji lain yang menambah hitam halaman-halaman kehidupan sang nabi.” Kab Ibn Al-Ashraf adalah anak dari perempuan Yahudi Bani Nadir. Dia berangkat ke Mekah setelah perang Badar dan menyusun puisi untuk menghormati mereka yang gugur, mencoba membangkitkan semangat orang-orang Mekah agar membalaskan dendam pahlawan-pahlawan mereka yang gugur di Badar. Bodohnya dia kembali lagi ke Medina, dimana Muhammad sedang memohon pada Auwlohnya dengan suara kuat, “O Auwloh, berikan padaku anak si Ashraf, dengan cara apapun yang kau mau, karena hasutan-hasutan dan puisi-puisinya.” Tapi Bani Nadir masih cukup kuat untuk melindungi Kab, dan para muslim yang mengajukan diri sebagai sukarelawan untuk membunuhnya menjelaskan pada sang Nabi bahwa kelicikan mereka perlukan untuk menyelesaikan tugas itu. Pemimpin persengkongkolan ini bertemu di rumahnya Muhammad, dan ketika mereka keluar dari rumahnya malam hari, mereka sudah mendapat restu dari sang Nabi. Mereka boleh berbohong, berbohong seakan mereka membenci sang nabi dan mencoba berteman dengan Kab, para muslim memancingnya keluar rumah dan ditempat yang cocok dekat air terjun mereka membunuhnya. Mereka memotong kepala Kab dan melemparnya ke kaki Muhammad. Muhammad memuji kerja baik mereka dijalan Auwloh. Salah seorang dari mereka menyebutkan: “Orang-orang Yahudi takut akan serangan kita pada musuh Auwloh. Dan tidak ada seorangpun Yahudi yang tidak takut.”
(Kisah selengkapnya dari Hadist tentang pembunuhan Ka’b bin Al- Ashraf:

Sahih Bukhari Volume 005, Book 059, Hadith Number 369.
------------------------------------------------------------
Diriwayatkan oleh Jabir bin ‘Abdullah:
Rasul berkata, “Siapa yang mau membunuh Ka’b bin Al-Ashraf yang telah melukai Auwloh dan utusanNya?” Lalu Muhammad bin Maslama berdiri dan berkata, “O Rasul! Bolehkah aku yang membunuhnya?” Nabi berkata, “Ya,” Muhammad bin Maslama berkata, “Kalau begitu ijinkan saya berbohong (utk menipu Ka’b).” Nabi berkata, “Kau boleh berbohong.” Lalu Muhammad bin Maslama menemui Ka’b dan berkata, “Orang itu (yakni Muhammad SAW) menuntut sedekah dari kita, dan dia telah menyulitkan kita, saya datang untuk meminjam sesuatu darimu.” Dengan itu, ka’b Berkata, “Demi Auwloh, kau akan muak dengan dia (Muhammad SAW).” Muhammad bin Maslama berkata, “sekarang karena kita telah mengikuti dia, kita tidak mau pergi sampai melihat bagaimana akhirnya. Kami ingin kau meminjamkan makanan sekarung atau dua karung.” Ka’b bilang, “Ya, kupinjamkan.”, tapi kau harus menaruh jaminan untukku.” Akhirnya setelah tawar menawar, mereka menjaminkan senjata mereka.

Muhammad bin Maslama dan teman-temannya bilang akan kembali untuk mengambil makanan itu. Mereka mendatangi Ka’b malam hari bersama dengan saudara angkat Ka’b, Abu Na’ila. Ka’b mengundang mereka ke rumahnya, lalu berangkat bersama-sama. Istrinya bertanya, “Pergi kemana kali ini?” Kab menjawab, “Muhammad bin Maslama dan saudara angkatku Abu Na’ila datang, orang yang baik harus menjawab panggilan di malam hari meskipun misalnya dia diundang untuk dibunuhpun.” Mereka berangkat bersama dua orang lain (periwayat lain bilang orang itu adalah ‘Abu bin Jabr. Al Harith bin Aus dan Abbad bin Bishr). Sebelumnya Muhammad bin Maslama telah menginstruksikan pada mereka, “Jika Ka’b datang, aku akan menyentuh rambutnya dan mencium (bau rambut), dan ketika kau melihat aku sudah memegang kepalanya, lucuti dia.” Ka’b bin al- Ashraf mendatangi mereka memakai pakaian lengkap dan parfum. Muhammad bin Maslama bilang. “belum pernah kucium parfum sewangi ini.” Ka’b menjawab. “Aku punya parfum yang terbaik, perempuan arab yang tahu parfum kelas atas.” Muhammad bin Maslama meminta Ka’b “Bolehkan kucium kepalamu?” Ka’b bilang, “Ya.” Muhammad bin Maslama menciumnya dan meminta teman- temannya mencium juga. Lalu dia minta lagi, “boleh kucium (kepalamu) lagi?” Ka’b bilang, “Ya.” Ketika mencium dipegangnya kepala Ka’b kuat-kuat, dia bilang (pada teman-temannya) “Serang dia!” Lalu mereka membunuhnya, setelah itu mereka mendatangi sang nabi dan memberitahunya tentang keberhasilan pembunuhan ini. (Abu Rafi) terbunuh setelah Ka’b bin Al-Ashraf.)

Besok paginya setelah pembunuhan Kab nabi menyatakan: “’Bunuh Yahudi manapun yang jatuh ke tanganmu.’ (Muhammad dan Hitler adalah saudara se-“iman” yang anti Yahudi). Lalu Muhayyisa b. Masud menyerang Ibn Sunayna, seorang pedagang Yahudi dimana keluarga Muhayyisa punya hubungan sosial dan dagang dengannya, dan membunuhnya.” Ketika saudara dari Muhayyisa memprotes hal tersebut padanya, Muhayyisa menjawab bahwa jika Muhammad memerintahkan membunuh saudaranya itu dia akan lakukan juga. Saat itu si saudara bernama Huwayyisa yang belum muslim langsung masuk Islam sambil berkata, “agama apapun yang bisa membuatmu jadi begini (sadis) pastilah agama hebat!” Pembunuhan-pembunuhan ini secara jujur menggambarkan “fanatisme keji kemana ajaran-ajaran sang Nabi bergulir cepat.”[12]

Seperti kita telah ketahui, Perang Uhud merupakan kekalahan serius bagi para muslim dan menjadi ancaman menurunnya kekuasaan serta wibawa sang nabi. Akibat perang ini, terjadi dua eksekusi lagi yang dilakukan sang Nabi: Yaitu Abu Uzza, seorang tawanan sisa perang Badar dan Usman ibn Moghira

Karena butuh kemenangan, Muhammad memutuskan untuk menekan suku Yahudi lain, Bani Nadir, yang katanya menunjukkan kegembiraan secara terbuka akan kekalahan para muslim. Dengan alasan dia mendapat wahyu yang memperingatkan niat Bani Nadir untuk membunuh dia secara diam-diam, Muhammad memerintahkan Bani Nadir untuk meninggalkan Medina dalam waktu sepuluh hari atau mati. Setelah mengepung mereka selama beberapa minggu, orang-orang Yahudi itu menyerah dan diijinkan untuk pergi; mereka pergi dan bergabung dengan orang-orang Yahudi Khaybar, hanya untuk kemudian dibantai lagi dua tahun kemudian oleh gerombolan yang sama. Kemenangan atas kaum Yahudi ini diterangkan dengan panjang dalam surah 59. Sang Nabi sangat tahu akan banyaknya harta benda yang ditinggalkan Bani Nadir, dimana tanah mereka juga dibagi diantara para muslim; Bagian Muhammad membuat dia akhirnya tidak tergantung lagi secara keuangan pada siapapun.

Tahun 627 orang Mekah dan sekutunya memulai serangan ke Medina. Kepungan ini berakhir dalam dua minggu dan belakangan dikenal sebagai Perang Parit. Suku Yahudi terakhir yang ada di Medina, Bani Qurayza, ikut serta dalam pertahanan kota Medina, tapi secara keseluruhan mereka tetap berlaku netral. Meskipun demikian, kesetiaan mereka masih dipertanyakan dan tak ampun lagi setelah Perang Parit selesai Muhammad mulai bergerak menekan mereka. Sadar bahwa mereka tidak mungkin bisa melawan, Bani Qurayza setuju untuk menyerah dengan syarat mereka akan meninggalkan Medina tanpa membawa barang apapun. Muhammad menolak dan ingin mereka menyerah tanpa syarat. Orang Yahudi lalu memohon Abu Lubaba sekutu mereka di Bani Aws demi persahabatan mereka dengan Bani Aws agar mengunjungi mereka. Abu Lubaba ditanya apa kehendak Muhammad sebenarnya; dan jawaban Abu Lubaba hanyalah isyarat gerakan tangan ke leher, gerak seperti memotong leher, menandakan bahwa mereka harus berjuang sampai titik darah penghabisan karena hanya kematian yang bisa mereka terima. Akhirnya setelah beberapa minggu orang Yahudi menyerah dengan syarat agar nasib mereka ditentukan oleh keputusan sekutu mereka Bani Aws. Karena mereka anggap suku ini akan memberi ampunan pada mereka, tapi Muhammad memutuskan agar nasib kaum Yahudi itu diputuskan oleh satu orang saja dari Bani Aws. Muhammad menunjuk Sa’d Ibn Muadh menjadi hakimnya. Sa’d yang masih kesakitan dari luka-luka yang dia derita karena perang Parit, menyatakan, “Keputusan saya adalah bahwa semua lelaki harus dihukum mati, perempuan dan anak-anak dijual sebagai budak, dan harta yang mereka tinggalkan dibagikan kepada para muslim.” Muhammad menyatakan keputusan itu sama dengan apa yang ingin dia putuskan: “Sesungguhnya keputusan Sad adalah keputusan Auwloh yang dinyatakan dari surganya di langit ketujuh.”

Malamnya parit-parit yang cukup besar untuk dimasuki jenazah digali di sepanjang pasar tengah kota. Paginya Muhammad sendiri yang mengawasi tragedi berdarah ini, ia memerintahkan setiap tawanan lelaki dibawa dalam satu kelompok masing-masing terdiri dari lima atau enam orang sekaligus. Tiap kelompok diperintahkan untuk duduk di depan parit kuburan mereka, disana kepala mereka dipancung dan tubuhnya ditendang masuk parit… Pembantaian itu di mulai pagi hari berlangsung sepanjang hari dan diteruskan di malam hari dengan memakai obor. Seraya kakinya dibasahi darah karena tanah pasar yang dibanjiri darah dan setelah memberi perintah agar parit tersebut ditutup dengan tanah dan diratakan, Muhammad lalu langsung beranjak menghampiri Rihana, seorang perempuan Yahudi Bani Quraisa nan cantik yang suami dan para kerabatnya baru saja dipancung.[13]

(Betapa biadab nabi iblis itu, tidak peduli Rihana sedang berduka, eeehh.. si kucing “muhammad” garong malah horny dan pengen **e*o*in Rihana di hari yang sama saat suami, ayah dan saudara-saudara lelakinya dibantai oleh begundal muhammad. Orang beginian kok dibilang nabi dan teladan bagi umat manusia,..cuih, yg diurusin cuma seputar selangkangannya sendiri mulu.. - sekali lagi: Cuih !!! Terserah ente mo bilang gue pembenci muhammad kek, Islamophobia kek, what-so-ever... yang penting hati nurani gue gak buta, titik. – admin)

Harta jarahan dibagi-bagi, perempuan budak dibagi juga sebagai hadiah, perempuan yang kurang cantik dijual dan dilelang. Ya, tentu saja ada wahyu turun dari surga untuk membenarkan hukuman keji yang dijatuhkan pada orang Yahudi itu: Surah 33.25 “Dan Auwloh menghalau orang-orang yang kafir itu yang keadaan mereka penuh kejengkelan, (lagi) mereka tidak memperoleh keuntungan apa pun. Dan Auwloh menghindarkan orang-orang mukmin dari peperangan. Dan adalah Auwloh Maha Kuat lagi Maha Perkasa.”
Dihadapkan pada kekejian, kebiadaban tindakan barbar dan tidak manusiawi ini, para sejarawan modern menyatakan hal yang berbeda-beda.

1. Mereka yang masih punya nurani, sejarawan seperti Tor Andrae, H.Z. Hirschberg, Salo Baron dan William Muir mengutuk perlakuan biadab ini. Tor Andrae, yang biografi Muhammad-nya dianggap sebagai salah satu dari dua karya penting 60 tahun belakangan ini tanpa ragu mencela sang nabi atas “hukuman yang tidak manusiawi” dan menambahkan, “Dalam kejadian ini sekali lagi dia menunjukkan tidak adanya kejujuran dan moral, yang menjadi sifat buruk karakternya.” Meskipun demikian, Andrae tetap mencoba melihat “kekejaman Muhammad terhadap orang Yahudi melalui latar belakang fakta bahwa ejekan dan penolakan mereka terhadap dia menjadi kekecewaan terbesar dalam hidupnya.”[14]

2. Para pembela (apologis) seperti Watt (heran!) secara total membebaskan sang nabi dari kesalahan ini; membaca pembelaan menyimpangnya ini orang diingatkan akan ucapan Lord Acton: “Setiap penjahat selalu diikuti oleh seorang sesat yang siap dengan alat pembersih dibelakangnya.” Tapi seperti Rodinson katakan, dengan benar, “sulit untuk menerima bahwa Muhammad tidak bersalah.” Tak ada satupun dari tindakan-tindakannya menunjukkan kemurahan hati terhadap orang Yahudi. Seperti Moshe Gil nyatakan, sejak awal Muhammad setidaknya telah punya niat untuk mengusir Yahudi dari sana. Sebelumnya telah dengan terbuka memerintahkan pembunuhan beberapa orang Yahudi lalu kemudian memberi perintah umum untuk membunuh Yahudi mana saja yang jatuh ke tangan muslim. Dan jika membaca isyarat yang ditunjukkan Abu Lubaba, jelas bahwa nasib Bani Qurayza juga telah ditentukan dari awal. Pemilihan Sa’d sebagai pengambil keputusan bukanlah kebetulan belaka, orang ini terluka berat (dia mati tidak lama kemudian) ketika perang parit dan menyalahkan bani Qurayza yang dia anggap tidak sepenuh hati membantu kaum muslim dalam Perang Parit yang menyebabkan dia terluka itu; orang ini muslim fanatik; dan seperti dituliskan Andrae, “salah seorang pengikut Muhammad yang paling fanatik” (salah satu dari banyak orang yang pertama kali dipercaya oleh Muhammad). Terakhir, penyerahan sepenuhnya keputusan pada Sa’d terbukti membenarkan keputusan Muhammad ini.

3. Lalu ada para relativisme – baik relativis moral ataupun budaya – yang berdebat, “bukanlah penyalahan ataupun usaha pemulihan nama baik yang jadi isu disini. Nasib mereka memang pahit, tapi itu bukan suatu hal yang luar biasa jika melihat aturan-aturan yang keji pada masa perang jaman itu.”[15] Saya menyebut para relativisme ini sebagai penyakit jaman modern, dan saya akan menyempatkan diri untuk mendiskusikan hal ini lagi dalam bab terakhir saya. Tapi disini saya hanya akan membuat komentar mengenai poin-poin yang logis dulu.

# Satu keberatan mengenai pendapat di atas adalah “bahwa keputusan itu sendiri tidak bisa dianggap objektif. Relativisme itu sendiri tidak bisa dinyatakan, karena keputusan yang menjelaskan teori para relativisme itu sendiri tidaklah relativ. Anda butuh klaim kebenaran mutlak untuk itu”[16] Dengan kata lain, ada sesuatu hal yang tidak logis, yang sudah menjadi sifat dari relativisme
# Jika ada ketidak sesuaian antara jaman kita dengan jaman mereka dulu, logisnya kalau kita tidak boleh menolak penilaian moral jaman dulu dari sudut pandang jaman sekarang, dan kita juga tidak boleh menilai secara berpihak. Otomatis kita juga tidak boleh memuji masyarakat jaman dulu atau orang-orang jaman dulu dari sudut pandang jaman sekarang. Secara tidak konsisten para relativisme terus menerus memakai sifat-sifat yang sarat nilai untuk menjelaskan Muhammad, sebagai contoh, “murah hati” (Rodinson, hal 313). Dalam kutipan berikut dari Norman Stillman, nasib Bani Qurayza dijelaskan dengan kata “bernasib pahit”. Dari sudut pandang mana “nasib pahit” ini? Abad 20 atau abad tujuh? Lebih jauh lagi, Stillman membicarakan aturan perang yang katanya memang keji – ‘keji’ dari sudut pandang mana? Sangat mustahil menulis sejarah dari sudut pandang netral bahkan jika diminta untuk melakukan demikian pun. Buku Stillman sendiri, The Jews of Arab Lands penuh dengan ungkapan-ungkapan penilaian moral seperti “toleransi” dan tidak ada relativis yang bisa mengesahkan pujian Muhammad dengan istilah mutlak seperti misalnya pernyataan “salah seorang anak terbesar Adam” (Watt).

# Jika benar mereka itu penganut relativisme, maka sebagai konsekwensinya kita tidak bisa membandingkan Yesus Kristus atau Socrates atau Solon dengan Hitler. Kita tidak bisa begitu saja bilang bahwa Yesus lebih superior secara moral dibanding Hitler, yang mana ini adalah mustahil benar. Jika moral itu sepenuhnya relatif, maka “warganegara Amerika dan Inggris bisa saja tidak menyetujui perbudakan dan penganiayaan Yahudi, tapi mereka tidak bisa berkata bahwa hal-hal ini salah dengan sikap mutlak atau bahwa itu jadi urusan mereka yang mencoba menghentikan perbudakan atau penganiayaan tsb.”[17]

# Terpendam didalam dalil Stillman yang dikutip tadi, ada tesis yang terpisah sama sekali, katanya bahwa kita tidak bisa menyalahkan seseorang hanya karena orang itu “menjadi seorang besar dijamannya”. Tesis demikian menggeser kesalahan moral dari individu ke ‘jaman’ dimana sang individu yang didiskusikan hidup. Tapi hal ini tidak akan berhasil untuk sebuah pembelaan terhadap Muhammad. Jika Muhammad itu hidup dijaman yang barbar, dan oleh karenanya dia jadi orang barbar: lalu tidak ada bedanya dengan anggota masyarakat lainnya; tidak lebih jelek dan juga tidak lebih baik. (tentu saja para relativis tidak bisa begitu saja menyalahkan ‘waktu’).

Sekarang pengamatan empiris:
1. Sangat tidak benar bahwa arabia abad ke-7 begitu jelek moralnya dibanding jaman kita sekarang. Pengakuan Stillman ini bersifat mengecilkan hal-hal ekstrim. Seperti Muir[18] katakan, dalam hal pembunuhan orang Yahudi Ibn Sunayna, “Tidak ragu lagi bahwa orang muslim pada waktu-waktu tertentu terlibat banyak skandal kejahatan semacam ini; meski tidak ada kebiasaan/tradisi untuk menjaga catatan sejarah tentang apa yang mereka katakan sebagai moral. Kejadian ini adalah salah satu kejadian yang kebetulan dibisikan kedunia luar. Ketika Merwan menjadi gubernur Media, satu hari dia bertanya pada Benjamin, seorang mualaf dari sukunya Ka’b, dia tanya dengan cara apa sebenarnya Ka’b mati. “lewat tipu muslihat dan pengkhianatan”, kata Benjamin.” Rodinson[19] mengemukakan poin yang sama pula, Perihal yang diceritakan dalam hadis yang menceritakan penyimpangan- penyimpangan Muhammad menunjukkan bahwa pastilah cerita itu bisa menimbulkan perasaan tertentu. Rincian kisah ini bahkan muncul dari sumber yang sahih membuat kita jadi sulit untuk menerima ketidak bersalahan sang nabi setan itu.”

Sangat tidak mungkin jika mengemukakan dalil bahwa Rasa ampun, Rasa sayang dan Kemurahan hati sama sekali tidak dikenal di Arab abad 7. Seperti Isaiah Berlin[20] nyatakan, “Perbedaan antara orang- orang dan masyarakat bisa saja dibesar-besarkan. Tidak ada budaya yang kita kenal yang tidak punya pemikiran tentang baik dan jahat; benar dan salah. Keberanian misalnya, sejauh yang kita bisa katakan, keberanian itu dikagumi disetiap jenis masyarakat yang pernah kita kenal. Disana ada nilai-nilai universal. Ini adalah fakta empiris mengenai umat manusia.” Kebiadaban tetap menjadi kebiadaban dijaman manapun ia ditemukan.

Muhammad sendiri, ironisnya, mengajarkan bahwa kemuliaan sejati ada pada pengampunan, bahwa dalam Islam mereka yang menahan amarah dan mengampuni orang lain akan mendapatkan surga sebagai orang yang berbuat baik (Surah 3.128; 24.22). Tapi, dia sendiri gagal utk melakukan semua itu dalam perlakuannya terhadap Bani Qurayza.

2. Sejarawan-sejarawan terkenal tidak ragu untuk menilai secara moral pribadi-pribadi sejarah. Sir Steven Runciman dalam karya klasiknya “History of the Crusades” menjelaskan Sultan Baibar sebagai “keji, tidak loyal dan licik, kasar sikapnya dan kasar perkataaanya… sebagai seorang manusia dia adalah manusia jahat.”[21]

Setelah pemusnahan Yahudi Bani Qurayza, Muhammad melanjutkan penggarongan dan pembunuhan-pembunuhannya. Sekelompok bekas Bani Al-Nadir, yang diusir dan menetap di Khaybar, oasis terdekat, dicurigai telah membujuk suku Bedouin agar menyerang muslim. Muhammad memerintahkan pembunuhan pemimpin Yahudi tersebut, Abi Al Huqayq. Tukang pukul Nabi membunuh Huqayq di tempat tidurnya. Sadar bahwa pembunuhan ini tidak menyelesaikan masalah, Muhammad menyusun rencana baru; dia kirim sebuah delegasi ke Khaybar untuk membujuk pemimpin baru mereka, Usayr b. Zarim, agar datang ke Medina mendiskusikan kemungkinan dia (Muhammad) dijadikan pemimpin Khaybar. Setelah mendapat jaminan janji sumpah dari pihak Muhammad untuk keamanan dirinya, Usayr berangkat, tanpa senjata, hanya dengan 30 orang. Di jalan, dengan dalih yang dibuat- buat, para muslim berbalik menyerang tamu tak bersenjata mereka dan membunuh semuanya kecuali seorang yang bisa melarikan diri. Ketika kembali para muslim itu disambut oleh Muhammad, yang sudah mendengar tentang keberhasilan mereka, ia mengucapkan terima kasih dan berkata, “Sesungguhnya, Auwloh telah menjagamu dari orang-orang tak benar.” Dikesempatan lain, Muhammad menyatakan filosofi perangnya: “Perang adalah Penipuan (praktek tipu-muslihat).”

Muhammad dan pengikutnya menyerang benteng-benteng penjaga lembah Khaybar satu persatu, sambil berteriak-teriak, “O kalian yang telah diberikan kemenangan, bunuh! Bunuh!” Satu demi satu benteng- benteng itu jatuh, hingga para muslim sampai di benteng Khamus, yang pada akhirnya juga mengalah. Pemimpin orang Yahudi disana, Kinana b. al-Rabi dan sepupunya dibawa kehadapan Muhammad dan dituduh menyembunyikan harta benda suku Bani al-Nadir. Orang Yahudi protes dan berkata bahwa mereka tidak punya apa-apa lagi.
Lalu (disini saya kutipkan dari biografi Muhammad yang ditulis oleh Ibn Hisham) “Muhammad memberikan Kinana pada al-Zubayr, salah seorang pengikutnya, dan berkata, ‘siksa dia sampai kau dapatkan informasi harta itu darinya.’ Al-Zubayr memakai tongkat yang dibakar ujungnya kedada Kinana sampai mati apinya, berkali-kali. Lalu sang Nabi memberikannya ke Muhammad

b. Maslama utk dipotong kepalanya sebagai balasan dendam bagi saudaranya Mahmud b. Maslama.” [22]
Orang-orang Yahudi di benteng Khaybar lain akhirnya kena serang juga dan dipaksa menyerah tanpa syarat, “kecuali untuk Bani Nadir yang sama sekali tidak akan diberi ampun.”
Pembunuhan, pembantaian, kekejaman, dan siksaan semuanya harus dimasukkan dalam penilaian karakter moral Muhammad. Tapi katalog menyedihkan dari kelakuan bejatnya ini belumlah lengkap. Kita masih perlu menelaah tindakan-tindakannya pada kejadian lain, dan selalu mendasarkannya dengan memakai sumber-sumber muslim sendiri.

----------------
[9] Humphreys, R.S. Islamic History, A Framework for Inquiry. Princeton, 1991. hal 92-98
[10] Dikutip oleh Humphreys, di halaman 97
[11] Dikutip dalam Rodinson, Maxime. Muhammad. New York, 1980. [12] Muir, Sir W. The Life of Muhammad. Edinburgh, 1923, hal 240 [13] Ibid., hal 307-308
[14] Tor Andrae, Mohammed, the Man and His Faith, diterjemahkan oleh T. Menzel, New York, 1955.
[15] Stillman, N.A. The Jews of Arab Lands. Philadelphia, 1979. Hal.16
[16] Jahanbegloo, R. Conversations with Isaiah Berlin. London, 1991. hal.107 [17] Hogbin dalam Firth, R., ed. Man and Culture. London, 1980.
[18] Muir, Sir W. The Life of Muhammad. Edinburgh, 1923, hal 241, note 1
[19] Rodinson, Maxime. Muhammad. New York, 1980., hal.213
[20] Jahanbegloo, R. Conversations with Isaiah Berlin. London, 1991. hal.37 [21] Runciman, S. A History of the Crusades. Cambridge, 1951-1954
[22] Dikutip dalam Stillman, N.A. The Jews of Arab lands. Philadelphia, 1979.

Bab 4 - Muhammad dan Pesannya

Layak dicatat, scholar yang akrab dengan berbagai sumber Arab dan yang paling mengerti kehidupan jaman itu, seperti Margoliouth, Hurgronje, Lammens, Caetani, adalah yang paling tegas menentang pengakuan kenabian Muhammad; orang harus mengakui bahwa semakin dekat dengan sumbernya dalam mempelajari sesuatu semakin sulit pemikiran kita untuk lepas dari kesimpulan para scholar ini. - Arthur Jeffery (1926).[1]

Satu fakta yang harusnya dikenali semua orang yang punya pengalaman tentang kemanusiaan adalah: orang yang kelihatan sangat religius seringkali merupakan orang-orang yang sangat jahat. - Winwood Reade (1872).[2]

Meski kita sepakat dengan Cook, Crone, Wansbrough dan yang lainnya bahwa kita tidak tahu banyak tentang orang yang disebut Muhammad ini, kita harus cukup puas mendapatkannya dari sumber-sumber hadis (meskipun semuanya sangat diragukan ke-valid-annya). Para muslim mungkin lebih baik menolak alternatif terakhir, karena hadis tidak seluruhnya memuji-muji sang Nabi. Susahnya bagi muslim, mereka tidak bisa menuduh tulisan-tulisan (hadis) itu dibuat oleh musuh.

Mungkin karya Barat pertama yang menerapkan metoda “Kritik Sejarah” pada kehidupan Muhammad adalah buku Gustav Weil “Mohammad der Prophet, sein Leben und sein Lehre (1843)”, disitu dikemukakan pendapat Muhammad seorang penderita epilepsi (ayan). Ini diikuti oleh karya lainnya, Sprenger, Noldeke, dan Muir. Kita nanti akan menelaah pandangan-pandangan Sprenger. Karya hebat Noldeke mengenai Quran, Geschichte des Qorans (1860) juga akan dibahas di bab berikutnya tentang Quran.

Karya Muir, Life of Mahomet muncul disekitar tahun 1856-1861, dalam empat volume, didasarkan dari sumber-sumber asli muslim, sumber langsung yang keandalannya dipertanyakan sengaja disimpan pada bab terakhir, tapi justru oleh Muir disebut bab yang sangat patut untuk diperhatikan.

Penilaian Muir mengenai karakter Muhammad ini diulang-ulang oleh scholar lain. Para scholar[3] membagi kehidupan Muhammad menjadi dua periode, perioda Mekah dan periode Medinah; selama periode pertama, di Mekah, motif Muhammad sangatlah religi, tulus dalam mencari kebenaran; tapi pada periode keduanya, Muhammad mulai menunjukkan taringnya dan dia rusak oleh ambisi kekuasaan dan duniawi.

Pada Periode Mekah kehidupannya, tidak terlihat ada maksud pribadi atau motif-motif jahat… Mahomet saat itu tidak lebih dari sekedar “pemberi peringatan dan pendakwah sederhana”; dia dibenci dan ditolak oleh orang-orang yang didakwahinya, tidak punya maksud tersembunyi lain selain mereformasi orang-orang tersebut. Dia mungkin keliru memakai metode wahyu surga untuk mencapai tujuannya, tapi tidak ada alasan cukup kuat untuk meragukan bahwa dia memang memakai metode itu semata-mata hanya demi alasan yg baik dan tulus. Tapi semua ini berubah di Medinah. Disana kekuasaan, kekayaan dan kepuasan-diri menyatu cepat dengan tujuan-tujuan besar kenabiannya; semua itu dicari dan dicapat dengan metode yang masih sama. Pesan surga dengan enaknya turun untuk membenarkan tindakan- tindakan politiknya, persis seperti yang dipakai untuk menanamkan ajaran-ajaran religi waktu di Mekah. Peperangan dilakukan, pemancungan dan pembantaian diperintahkan, dan daerah teritori ditetapkan dengan alasan semua itu sudah disetujui atau direstui oleh Auwloh yang Maha Kuasa. Bahkan kesenangan-kesenangan (nafsu) pribadi pun bukan saja dibolehkan malah didukung dan dianjurkan oleh perintah dari Surga.

Ijin khusus keluar, yang membolehkan sang nabi memiliki banyak istri; selingkuh dengan sang pembantu, menggagahi Maria orang Koptik, semua disetujui dan dituliskan dalam Surat tertentu; juga hasrat birahi kepada menantu (istri anak angkatnya) sendiri serta pada teman- temannya dijadikan subjek dari wahyunya, keberatan-keberatan sang nabi akan kelakuan buruknya sendiri ditolak oleh Auloh sebagai sebuah kesalahan (dibenarkan oleh Auwloh), perceraian diijinkan dan perkawinan dengan pihak yang dihasratkannya dilangsungkan. Jika kita bilang “wahyu-wahyu” demikian dipercaya oleh Muhammad dengan tulus sebagai benar wahyu dari Tuhan, maka itu hanya bisa terjadi jika perasaan (nurani) kita sudah sama anehnya dan termodifikasi seperti dia. Pastinya dia harus bertanggung jawab untuk hal yang dia percayai itu; dan untuk itu dia telah melakukan banyak kekejian dalam penilaian dan prinsip sifat-sifat aslinya.

Hasilnya, kita telusuri sejak periode kedatangan Muhammad ke Medinah sebagai periode penurunan moral yang cepat dalam sebuah sistem yang dia ajarkan sendiri. Intoleransi secara cepat mengambil alih kebebasan dan kekuatan persuasif. Senjata spiritual yang semula hanya untuk masalah-masalah religi tingkat tinggi dengan cepat dipakai untuk masalah-masalah yang sepele dan sementara sifatnya, masalah- masalah sepele ini malah dipakai sebagai pembenaran dari senjata- senjata spiritual tersebut. Nama Yang Maha Kuasa ditanam menjadi kekuatan mengerikan pedang kekuasaan; dan pedang kekuasaan ini menghasilkan kerelaan untuk menghancurkan “para musuh Tuhan” dan mengorbankan musuh-musuh itu dialtar agama baru ini. “Bunuh orang-orang kafir dimanapun kau temukan,” menjadi slogan dari Islam. “Berperang dijalan Auwloh sampai musuh dihancurkan dan agama menjadi milik Auwloh saja.” Pengabdian hangat sederhana ini yang pernah ditiupkan sang nabi serta para pengikutnya di Mekah, ketika bercampur dengan motif-motif duniawi segera berubah menjadi pudar dan hambar; sementara keimanan merosot menjadi kefanatikan, atau menguap dalam sebuah aturan-aturan formal yang tak manusiawi.

Muir mengatakan selama Quran tetap menjadi standar kepercayaan, kejahatan akan terus mengalir: “Poligami, Perceraian dan perbudakan mengancam akar moral masyarakat, meracuni kehidupan domestik, dan merusak kehidupan bermasyarakat; sementara hijab (kerudung) menghapus gender perempuan dari posisinya yang benar di dunia… kebebasan berpendapat dan opini-opini pribadi dihancurkan dan ditiadakan. Toleransi tidak dikenal dan institusi kebebasan serta liberal ditutup rapat.”
Muir menunjuk ketidakkonsistenan karakter Muhammad sebagai berikut: Seiring hasrat menggebu untuk memusnahkan penyembahan berhala dan mempromosikan agama serta kebaikan didunia, muncul juga kecenderungan kesenangan pribadinya; sampai akhirnya, karena menganggap diri sebagai lelaki pilihan Surga, dia membenarkan dirinya dengan memakai “wahyu-wahyu”, membebaskan dirinya untuk hal-hal kepemilikan sosial dan kewajiban-kewajiban yang mengikat orang-orang biasa.

Penilaian akhir dari Muir adalah “Pedang Mahomet dan Quran adalah musuh bagi peradaban, kebebasan dan kebenaran yang paling keras yang pernah dikenal dunia.” [4]

Caetani, yang menulis awal abad ini, muncul dengan kesimpulan yang sama pula. Di Medina, Muhammad lebih percaya diri, sadar akan superioritasnya.
Muhammad menonjol diantara semua orang, sampai-sampai Tuhan diberinya posisi kedua, jadi hanya pembantu Sang Nabi. Dia (Tuhan) tidak lagi jadi Yang Maha, pada siapa persembahan harus ditujukan, tapi menjadi si Maha Kuasa yang membantu nabi dalam misi-misi politiknya, yang memfasilitasi kemenangan-kemenangannya, menghibur dalam kekalahan, membantunya mengurai keruwetan- keruwetan dunia dalam kerajaan kaum pria, dan menolongnya memperlancar kesulitan-kesulitan yang muncul setiap hari ketika dia menggapai fase baru dari karir nabi dan politiknya. “Tuhan Mesin” ini (Deus ex Machina) menjadi amat sangat berguna baginya dalam sebuah masyarakat keji, bengis, pemarah, pembenci, tinggi hasrat balas dendam, haus darah, serakah dalam merampok dan mudah berubah-ubah rasa simpatinya…. Dari mulut Muhammad-lah dan bukan dari Tuhan (sebagai boneka Muhammad) keluar jawaban-jawaban untuk mempertanyakan segala sesuatu, keluar fatwa yang menentukan nasib seseorang, dan secara keseluruhan, Tuhan tidak dianggap lagi tapi sang nabilah yang jadi sumber puja-puji. Muhammad adalah sebuah fakta yang nyata dan jelas; Tuhan hanya menjadi sekedar teori/dalil berguna baginya, sebuah prinsip mutakhir, yang disimpan tinggi-tinggi di surga atas sana, yang mengikuti dengan seksama dan bergairah serta penuh kekhawatiran pergerakan-pergerakan sang nabi, baik dalam hal kecil maupun dalam hal besar, membantu dengan segerombolan malaikat yang siap sedia (stand-by), Dia siap mengeluarkan ayat-ayat untuk menerobos kesulitan-kesulitan yang muncul, untuk meluruskan kesalahan-kesalahan, melegalkan kegagalan- kegagalan, mendorong insting-insting keji dan kebrutalan tidak bermoral dari tuhan tirani.

Jika Muhammad menyimpang di tahun-tahun awal misinya, ini tidak heran; karena dia hanyalah seorang manusia yang kelakuan dan temperamennya tidak jauh berbeda dari masyarakat sekitarnya ketika itu, masyarakat yang setengah biadab (barbar), tercerabut dari akar budaya murni dan dibimbing melulu oleh insting dan sifat alam yang dimengerti secara buruk dan menelan begitu saja doktrin-doktrin Yudaisme dan sekte Kristen yang sesat yang ada saat itu. Muhammad menjadi mudah rusak ketika kekuasaan dan kekayaan menghampirinya di Medina, dia tidak bisa menolak tindakan-tindakan jelek yang harus dilakukan olehnya untuk mempertahankan posisi baru itu, terlebih lagi jika melihat fakta bahwa usaha pertamanya berhasil, belum rasa sedapnya kuasa politik tanpa batas yang dia punyai… Penurunan karakter moralnya adalah sebuah fenomena yang amat sangat manusiawi, dimana sejarah telah mencatat kejadian yang sama seperti ini bukan sekali saja, tapi ribuan kali. Lebih mudah untuk mati suci dengan dipancung atau mati di tiang gantungan daripada bertahan di singgasana setelah berjuang keras melawan musuh yang bengis dan keras kepala. Figur Muhammad kehilangan kecantikannya, tapi dia mendapat kekuasaan sebagai gantinya.
Nanti saya akan menelaah argumen Muir dan Caetani untuk melihat apakah mereka adil atau tidak dalam menilai karakter sang nabi. Disini saya ingin melihat karya Sprenger mengenai kehidupan Muhammad. Buku The Muslim Sources penuh referensi sang nabi sebagai subjek, khususnya pada waktu wahyu-wahyu secara rutin turun dan dia terima. Ini yang dijelaskan oleh Margoliouth:
Dugaan.. bahwa dia menderita epilepsi (sakit ayan) mendapat konfirmasi yang mengherankan jika melihat catatan-catatan pengalamannya ketika dan selama proses penerimaan wahyu – hal yang tidak kalah pentingnya adalah jika kita melihat kemungkinan ada saat epilepsinya hanya dibuat-buat. Proses ayan ini dimulai dengan kondisi tidak sadarkan diri kadang disertai dengan bunyi bel (ditelinganya) atau dia percaya ada seseorang/sesuatu yang hanya dia sendiri bisa lihat; rasa takut yang membuat si penderita ayan ini bercucuran keringat; kepala miring; mulut berbusa; wajah memerah atau memutihnya; sakit kepala.[5]

Sprenger memutuskan bahwa gejala-gejala yang jelas dari epilepsi ini adalah kunci menuju karakter Muhammad. Kebanyakan scholar mengabaikan spekulasinya dan menganggap terlalu khayal, kecuali seorang scholar Denmark, Franz Buhl, yang mengajukan sedikit modifikasi. Buhl[6] berpendapat bahwa dalam fase Medina Muhammad membuka sisi gelap karakternya; kejam, licik, tidak jujur, tidak bisa dipercaya; seseorang yang berprinsip “menghalalkan segala cara”; seorang lalim yang menuntut kepatuhan mutlak, seksualitas yang meningkat, hingga:
Bahkan wahyu-wahyunya pun menghalalkan segala cara untuk mendukung kecenderungan erotisnya atau untuk mengembalikan keharmonisan diantara istri-istrinya… Pengandaian yang harus kita terima bahwa bentuk awal wahyu-wahyunya sekarang berubah menjadi alat untuk mempertahankan reputasinya agar tetap menjulang, dan dalam kenyataannya dia mungkin sering tersadar dan merasa salah telah melakukan kebohongan. Bukan saja penyerangan-penyerangan yang dia lakukan… yang menunjuk pada sebuah kondisi patologis, tapi dalam banyak hal dia telah menyimpangkan sifatsifat histerisnya dengan anomali-anomali yang dia tentukan sendiri. Sebuah karakterisitik yang terus menerus mengalir dalam sifatnya adalah sebuah ketidakmampuan utk membedakan yang salah dengan yang benar; karena telah dikuasai sepenuhnya oleh ide-ide demikian, sangat tidak mungkin bagi mereka untuk memandang masalah-masalah dalam perspektif sebenarnya dan karena begitu sangat yakin akan kebenaran sendiri hingga alasan yang paling masuk akalpun tidak bisa membujuk mereka untuk melakukan hal yang sebaliknya.

Tapi Buhl menyangkal adanya perubahan total pada diri Muhammad – karena masih bisa ada jejak-jejak idealisme awal dia pada periode Medina ini.
Dr. Macdonald dalam bukunya “Aspects of Islam” mengajukan teori Psikoanalisa dimana sang nabi dipandang sebagai kasus patologi, dan “bagaimana dia berpindah kedalam kejahatan adalah sebuah kasus untuk mereka yang melakukan studi tentang bagaimana sebuah medium (orang) yang kerasukan bisa setiap saat memalsukan kerasukannya.“[7]
Dalam buku “Mohammed and the Rise of Islam” (London, 1905), Margoliouth[8] mengembangkan ide Islam sebagai sebuah masyarakat rahasia dan membandingkan Muhammad dengan medium-medium modern lain dan dengan Joseph Smith pendiri dari agama Mormon. Margoliouth menjelaskan alasan serta penipuan sang medium dan menunjukkan bahwa Muhammad juga memakai teknik-teknik yang sama untuk mendirikan dan mengembangkan kekuasannya atas pikiran- pikiran orang-orang Mekah yang menjadi pengikutnya pertama kali. Dua kutipan dari buku Margoliouth membuat hal ini jelas:
Dalam sebuah ruangan yang kosong dia (Muhammad) mengaku tidak bisa mendapatkan tempat duduk, semua sudah diduduki oleh para malaikat. Dia memalingkan wajahnya dari sebuah mayat kepada dua Houris (bidadari) yang datang dari surga untuk menemui suami mereka. Dia kadang bertingkah seakan Jibril sedang melakukan sesuatu dengannya atau membiarkan para pengikutnya menyimpulkan telah/sedang terjadi percakapan antara dia dengan malaikat. Wahyu- wahyu yang dia keluarkan hampir mirip dengan yang dilakukan oleh medium-medium (perantara) modern, yang bisa dipelajari dalam buku sejarah Spiritualisme oleh Mr. F. Podmore, dimana risetnya menimbulkan keraguan bahwa orang yang terhormat tidaklah mungkin mau mengelabui teman-temannya sendiri; dan juga menimbulkan pendapat bahwa keyakinan yang dihasilkan dari sikap/gaya seorang medium ketika mendapatkan wahyu sering tidak tergoyahkan hanya karena terungkapnya kebohongan si medium. Dari salah seorang medium yang karirnya dia sebutkan, sang penulis mengamati persahabatan dan kepercayaan penuh yg didapat dari teman- temannya tertolong oleh emosi-emosi religius yang diilhami oleh kerasukannya tersebut, dan semua itu menimbulkan sebuah karakter yang seakan suci tak bernoda dan sebuah kehidupan yg seakan-akan penuh aktivitas terhormat. Keadaan demikian sangat menguntungkan dan membantu sekali bagi si medium agar orang percaya pada ‘ketulusannya’, tapi sejarawan Spiritualisme ini, meski tidak yakin bagaimana menyebutkan semua fenomena dan mengenali kesulitan- kesulitan yang muncul dalam penjelasannya, cenderung menerapkan semua itu pada kehebatan penampilan si medium untuk menipu/membohongi. Yang jelas adalah bahwa Muhammad juga memiliki kelebihan-kelebihan yang sama seperti yang dijelaskan oleh Podmore, dan dg demikian bisa mendapat pengikut; meski proses turunnya wahyu itu sendiri sangat mencurigakan hingga salah seorang yang bertugas menuliskan wahyu yakin akan penipuan tersebut dan langsung meninggalkan Islam. Tapi bagi mereka yang mempelajari efektivitas politis dari wahyu supernatural, mempertanyakan ketulusan sang medium itu adalah hal yang kecil dan tidak berarti dibanding keuntungan yang akan didapat.

Sejumlah ayat Quran mestilah telah ada ketika Abu Bakar memulai misi Muhammad; setidaknya dia mesti bisa meyakinkan pengikutnya bahwa sang nabi benar-benar bisa berkomunikasi dengan surga, bahwa dia sendiri bisa berkomunikasi dengan Tuhan sejati dan itu mungkin dipercaya karena jumlah orang percaya bertambah, Quran sendiri berubah dari komunikasi “Mediumistik”, dimana semuanya dimulai dengan dakwah-dakwah yang mengisi periode kedua. Untuk penonton yang berjumlah sedikit proses yang dilakukan medium bisa sangat efektif. Orang asing tidak boleh hadir ketika sedang turun wahyu, hal ini untuk membuat mereka yang hadir saat itu berada dalam keadaan siap menerima wahyu; pendekatan hebat yang ditunjukkan si medium yang terjatuh, lalu perlu diselimuti, dan kemudian muncul dari dalam selimut dalam keadaan menakutkan sambil berkeringat banyak sangat-sangat sensasional (kaya para tukang sulap di pasar-pasar Indonesia, pen.); proses yang diamati pengikutnya ini membuat mereka menghargai dan menjunjung tinggi apapun yang diucapkan oleh si medium yang kerasukan. Jika ada orang yang tidak percaya menyatakan bahwa si medium (dalam banyak hal) tidak bisa bersandiwara demikian untuk menarik orang; tulisan-tulisan para penulis biografinya menyatakan bahwa para mualaf bahkan telah menyatakan kepercayaan mereka sebelum mereka melihat Muhammad itu sendiri. Begitu sang nabi semakin menjelaskan kenabiannya dengan terbuka, konon dia membiasakan diri memakai cadar, dan kebiasaan ini hanya dilakukan pada saat akan munculnya ‘kerasukan-kerasukan’ misterius itu, hal ini bisa juga menambah keangkeran bagi orang-orang sekitarnya. Seiring dengan waktu kerasukan itu mulai berubah menjadi ‘kerasukan’ biasa saja, tidak sensasional, kebanyakan malah wahyu turun tidak dalam kondisi ‘kerasukan’, seperti dalam mimpi dan lain-lain; jika dia menyalami tangan orang dia tidak langsung menarik tangannya lebih dulu; dia pandang orang itu sampai orang itu memalingkan pandangannya. Perawatan yang seksama juga dia lakukan pada dirinya sendiri; setiap malam dia warnai sekeliling matanya (maskara), dan tubuhnya setiap waktu ditaburi parfum. Rambutnya panjang hingga kebahu; dan jika mulai tampak rambut putih (uban), dia sembunyikan dengan cara mewarnainya. Dia memiliki seni berbicara terhadap orang-orang baru – dia bisa mengatakan sesuatu yang membuat lawan bicaranya tertarik, atau punya rasa ingin tahu yang besar. Berapa benar penggambaran bakatnya ini sulit utk dikatakan; tapi sedikit sekali yang ragu bahwa dia memang mengetahui metode/cara-cara yang dikenal oleh medium-medium modern, yang sekarang digunakan untuk mengelabui orang. Terlebih lagi, pada periode awal tak seorangpun boleh menemui sang nabi langsung jika maksudnya belum jelas, dan jika orang itu belum siap untuk memuliakan dia.

Kita sekarang bisa melihat kejadian-kejadian dalam kehidupan Muhammad yang mendapatkan penilaian demikian keras dari Muir dan Caetani. Harus dijelaskan dari awal bahwa kisah-kisah ini semua diambil dari sumber-sumber Islam itu sendiri (Ibn Ishaq, al-Tabari dan lain-lain).

-----------------
[1] Jeffery Arthur “The Quest of the Historical Mohammed,” in MW Vol.XVI, No4. Oct 1926
[2] Reade., hal.230
[3] Muir, Sir W. The Life of Muhammad. Edinburgh, 1923 [4] Caetani Annali dell’Islam, trans in MW vo. Vi.
[5] Jeffery Arthur “The Quest of the Historical Mohammed,” in MW Vol.XVI, No4. Oct 1926, hal 335
[6] Buhl in MW vol 1, 1911, hal 356-64.
[7] Dikutip oleh Jeffery Jeffery Arthur “The Quest of the Historical Mohammed,” in MW Vol.XVI, No4. Oct 1926, hal 336
[8] Margoliouth, Mohammed and the Rise of Islam, London, 1905