Senin, 29 Maret 2010

Bab 5 - Qur'an

Semoga tiap muslim yang kebetulan membaca ini memaafkan keterus terangan saya bertutur. Bagi mereka Quran adalah Buku Auwloh dan saya menghargai kepercayaan mereka itu. Tapi saya tidak punya kepercayaan yang sama dan saya tidak mau bergeming dari itu, seperti banyak yang dilakukan orientalis lainnya, dengan kalimat- kalimat samar untuk menyembunyikan maksud sebenarnya. Ini mungkin bisa menjadi alat bantu dengan maksud baik bagi individu ataupun pemerintahan yang Islami; tapi saya tidak bermaksud menipu siapapun. Para muslim punya hak untuk tidak membaca buku ini atau mempelajari ide-ide dari non muslim, tapi jika mereka melakukan itu, mereka harus siap untuk membaca hal-hal yang mereka anggap sebagai penghujatan. Sudah jelas bahwa saya tidak percaya Quran itu adalah Buku Auwloh. - Maxime Rodinson.[2]

Quran ditulis dalam huruf Arab dan terbagi menjadi bab–bab (surat atau surah) dan ayat-ayat (atau dibaca ayah; jamak). Ada kurang lebih 80.000 kata, sekitar 6200 sampai 6240 ayat dan 114 surah dalam Quran. Tiap surah, kecuali surah nomor 9 dan Al-Fatihah (Surah no.1), dimulai dengan kalimat “Dengan menyebut nama Auwloh Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang.” Siapapun yang mengumpulkan Quran, ia menyimpan surat-surat yang panjang menjadi surat awal tanpa melihat kronologis maupun urutan surat mana yang pertama diturunkan pada Muhammad.

Bagi muslim Quran adalah kata-kata Tuhan tanpa kesalahan satupun, kata-kata Tuhan langsung yang diturunkan lewat perantara sebuah roh atau malaikat atau Jibril ke Muhammad dalam bahasa arab murni dan sempurna; setiap titik koma didalamnya berlaku abadi dan bukan hasil ciptaan manusia. Teks aslinya ada disimpan di surga (induk Al Kitab (Lohmahfuz), 43.3; kitab yang terpelihara (Lohmahfuz) 56.78; yang (tersimpan) dalam Lohmahfuz 85.22). Malaikat mendiktekan wahyu pada nabi, yang lalu mengulangnya, dan kemudian dia sampaikan pada dunia. Muslim modern juga mengklaim bahwa wahyu-wahyu ini dipelihara persis seperti ketika diturunkan dan diucapkan oleh Muhammad, tanpa ada perubahan, penambahan atau pengurangan sedikitpun. Quran dipakai sebagai ‘jimat’ pada peristiwa-peristiwa penting seperti kelahiran, kematian atau perkawinan. Meminjam kata- kata Guilaume, “Quran adalah yang tersuci dari yang paling suci. Tidak boleh ditindih oleh buku lain, harus selalu ada dibagian paling atas; orang tidak boleh minum atau merokok ketika Quran sedang dibacakan dan harus didengarkan dalam suasana hening (tidak boleh ada yang bicara). Quran adalah jimat untuk penyakit dan bencana.” Sheikh Nefzawi, dalam karya erotik klasiknya The Perfumed Garden, bahkan menganjurkan Quran untuk dipakai sebagai alat perangsang:
“Dikatakan bahwa pembacaan Quran juga mempengaruhi kopulasi persetubuhan.”

Baik Hurgronje maupun Guillaume menunjuk cara-cara tak masuk akal bagaimana anak-anak dipaksa utk menghafal sebagian atau seluruh quran (sejumlah 6200 ayat) diluar kepala sambil menomor duakan pendidikan-pendidikan lainnya, seperti berpikir kritis dan lain-lain: “Anak-anak mampu mengerjakan ini semua dengan risiko kehilangan kemampuan berakal sehat mereka, karena seringnya mereka dipaksa untuk menghafal hal-hal yang sebenarnya belum perlu mereka pikirkan secara serius.”[3]

Hurgronje mengamati:
Kitab ini, pernah menjadi kekuatan untuk mengubah dunia, sekarang fungsinya hanya untuk dilantunkan oleh guru-guru dan orang-orang awam sesuai dengan aturan yang sudah ditentukan. Aturan-aturan itu tidak sulit tapi tak diberikan pengertian kalimat-kalimatnya; Quran dilantunkan semata karena dengan membacanya saja dipercaya bisa mendatangkan pahala. Mereka tidak tahu arti ayat-ayat yang dilantunkan dengan nada turun naik itu, jangankan orang awam bahkan orang terpelajar juga tidak tahu bahwa ayat yang mereka lantunkan itu mengajarkan hal-hal penuh dosa, tapi mereka melantunkannya setiap hari, setiap ada kegiatan-kegiatan istimewa.

Kode universal 1300 tahun lalu berubah menjadi sekedar buku teks yang dibacakan dengan nada-nada yang dikeramatkan, pada prakteknya sebagian kehidupan penting dari anak-anak muda yang harusnya dihabiskan untuk pendidikan yang lebih baik jadi disia-siakan.[4]

Perkataan Tuhan?
Suyuti, Ahli tafsir dan ahli bahasa Quran, mampu menunjuk lima ayat yang konon ‘dikatakan oleh Tuhan’ untuk diperdebatkan. Beberapa dari kalimat dalam bagian-bagian itu jelas diucapkan oleh Muhammad sendiri dan sebagian oleh Jibril. Ali Dashti[5] juga menunjuk pada beberapa bagian dimana pembicaranya tidaklah mungkin Tuhan.

Sebagai contoh, surah pembuka yang dinamakan Al-Fatihah: Dengan menyebut nama Auwloh Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang. Dengan menyebut nama Auwloh Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang. Segala puji bagi Auwloh, Tuhan semesta alam, Maha Pemurah lagi Maha Penyayang, Yang menguasai hari pembalasan. Hanya kepada Engkaulah kami menyembah dan hanya kepada Engkaulah kami mohon pertolongan Tunjukilah kami jalan yang lurus, (yaitu) jalan orang-orang yang telah Engkau anugerahkan nikmat kepada mereka, bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat.

Kalimat tersebut jelas-jelas ditujukan pada Tuhan dalam bentuk doa. Kalimat itu adalah perkataan Muhammad yang berdoa pada Tuhan meminta petunjuk dan bimbingannya. Orang cukup menambahkan kata perintah “katakanlah” pada awal surah untuk mengubah semua kebingungan ini. Bentuk kata perintah “katakanlah” muncul sekitar 350 kali dalam Quran dan jelas kata ini telah disisipkan belakangan oleh para penyusun Quran, maksudnya untuk membuang hal-hal mirip nan memalukan yang tak terhitung banyaknya. Ibn Masud, salah seorang sahabat nabi dan seorang penyusun Quran menolak al-Fatihah dan surah 113 serta 114 yang berisi kalimat “hanya kepada Engkaulah kami mohon pertolongan atau Aku berlindung kepada Tuhan” karena menurutnya itu bukan bagian dari Quran. Lagipula pada surah 6.104, pembicara kalimat “aku sekali-kali bukanlah pemelihara...” Jelas-jelas adalah Muhammad sendiri.

[6.104] Sesungguhnya telah datang dari Tuhanmu bukti-bukti yang terang; maka Barang siapa melihat (kebenaran itu), maka (manfaatnya) bagi dirinya sendiri; dan barang siapa buta (tidak melihat kebenaran itu), maka kemudaratannya kembali kepadanya. Dan aku (Muhammad) sekali-kali bukanlah pemelihara (mu).

Abu Dawood dalam terjemahannya menambahkan catatan kaki bahwa “Aku” yang dimaksud dalam ayat ini adalah Muhammad.

Dalam surah yang sama pada ayat 114, Muhammad mengatakan, “Maka patutkah aku mencari hakim selain daripada Auwloh, padahal Dialah yang telah menurunkan kitab (Al Qur'an) kepadamu dengan terperinci?“

Yusuf Ali dalam terjemahannya menambahkan “katakanlah” pada awal kalimat, kata yang sebenarnya tidak ada dalam Quran bahasa aslinya, dan dia melakukan ini tanpa memberikan komentar atau catatan kaki apapun. Ali Dashti juga menganggap surah 111 sebagai perkataan Muhammad sendiri dengan dasar bahwa kalimat-kalimat ini tidak ada artinya buat Tuhan: “Sakit sekali kedengarannya Tuhan Yang Maha Kuasa mengutuk seorang arab dengan kata-kata bodoh dan mengejek istrinya dengan kata-kata pembawa kayu bakar.” Surah pendek ini mengacu pada Abu Lahab, paman sang nabi, yang menjadi salah satu lawan paling pahit bagi Muhammad: “Dengan menyebut nama Auwloh Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang Binasalah kedua tangan Abu Lahab dan sesungguhnya dia akan binasa. Tidaklah berfaedah kepadanya harta bendanya dan apa yang ia usahakan. Kelak dia akan masuk ke dalam api yang bergejolak. Dan (begitu pula) istrinya, pembawa kayu bakar. Yang di lehernya ada tali dari sabut.” Kalau ini bukan kalimat Muhammad sendiri maka berarti Tuhan adalah makhluk lemah pikiran yang suka mempermainkan kata-kata, karena “Abu Lahab” artinya “Bapak Api.” Tapi yang pasti kalimat-kalimat ini sebenarnya tidak pantas untuk diucapkan oleh seorang nabi sekalipun.

Seperti ditunjukkan oleh Goldziher[6], “Para Mu’tazilie yang saleh menyuarakan pendapat yang sama (seperti kaum Kharijit yang meragukan keandalan ayat-ayat Quran) tentang sebagian kutukan dari Quran yang diutarakan sang Nabi terhadap musuh-musuhnya (seperti pada Abu Lahab). Tuhan tidaklah mungkin menyatakan pernyataan- pernyataan demikian dalam ‘sebuah Quran suci yang diambil dari Buku Lohmahfuz di surga.’” Lihatlah, jika kita menerapkan hal yang sama pada semua bagian dari Quran, yang tersisa hanya tinggal sedikit saja yang pantas kita sebut sebagai perkataan Tuhan, dengan kata lain perkataan yang pantas dalam Quran yang bisa dianggap dinyatakan oleh Tuhan yang Maha Pemurah dan Maha Penyayang, Yang Maha Bijaksana sangat sedikit sekali.

Ali Dashti[7] juga memberi contoh dari surah 17.1 sebagai contoh kebingungan antara dua pembicaranya, Tuhan dan Muhammad: “Maha Suci Auwloh, yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Al Masjidilharam ke Al Masjidilaksa yang telah Kami berkahi sekelilingnya agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) Kami. Sesungguhnya Dia adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat.”

Komentar Dashti:
Kata pujian “Maha Suci Auwloh yang telah memperjalankan hamba- Nya pada suatu malam dari Mekah ke Palestina” tidaklah mungkin ucapan Tuhan, karena aneh Tuhan memuji dirinya sendiri, dan pastilah itu ucapan terimakasih/pujian Muhammad pada Tuhannya karena diberi perjalanan ini. Bagian berikut dari kalimat ini, menjelaskan mesjid terjauh (yang daerahnya diberkati tuhan), diucapkan oleh Tuhan, dan juga anak kalimat berikutnya “agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) Kami” Kalimat penutup “Sesungguhnya Dia adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat“ kelihatannya adalah kalimat Muhammad sendiri.

Lagi-lagi karena kepentingan dogma sang penerjemah melakukan ketidak jujuran ketika dihadapkan pada Surah 27:91, dimana pembicaranya sudah jelas-jelas adalah Muhammad: “Aku hanya diperintahkan untuk menyembah Tuhan negeri ini (Mekah)” Dawood dan Pickthall, keduanya menambahkan kata “katakanlah” pada awal kalimat yang mana dalam bahasa arabnya tidak ada sama sekali. Pada surah 81:15, orang bisa mengira bahwa Muhammad-lah yang bersumpah: “Sungguh, Aku bersumpah dengan bintang-bintang, yang beredar dan terbenam, demi malam apabila telah hampir meninggalkan gelapnya, dan demi subuh apabila fajarnya mulai menyingsing,” Muhammad yang tak mampu lagi menyembunyikan asal-usul kepaganannya melakukan sumpah lagi dalam surah 84:16, “Maka sesungguhnya Aku bersumpah dengan cahaya merah di waktu senja, dan dengan malam dan apa yang diselubunginya, dan dengan bulan apabila jadi purnama” Ada ayat-ayat lain dimana sangat mungkin bahwa Muhammadlah yang sedang berbicara, contoh., 69:38, 70:40, 75:1, 75:2, 90:1.

Bahkan Bell dan Watt[8], yang hampir bisa dibilang tidak menentang islam (netral) juga mengakui bahwa:
Asumsi bahwa Tuhan sendiri sebagai pembicara pada setiap ayat menimbulkan kesulitan-kesulitan. Seringnya Tuhan disebut dalam bentuk Kata Ganti Orang Ketiga (KGOK). Tak ragu lagi seringnya sang pembicara menyebut dirinya dalam bentuk orang ketiga, tapi melihat bagaimana sang nabi menyebut dirinya sendiri dengan sebutan yang setingkat lalu menyebut Tuhan sebagai kata ganti orang ketiga, bukanlah hal yang biasa. Malah hal ini jadi bahan tertawaan, dalam Quran kok Tuhan dibuat bersumpah sendiri. Bersumpahnya Tuhan dalam beberapa ayat, dimulai dengan kalimat “Aku bersumpah …” sulit untuk disangkal (contoh 75.1; 56.75; 69.38 dan lain-lain)… “Demi Tuhan,” (70.40) bagaimanapun hal ini sulit dipercaya berasal dari Tuhan… Lalu ada satu ayat yang semua orang akui diucapkan oleh malaikat, ayat 19.64-65: “Dan tidaklah kami (Jibril) turun, kecuali dengan perintah Tuhanmu. Kepunyaan-Nya-lah apa-apa yang ada di hadapan kita, apa- apa yang ada di belakang kita dan apa-apa yang ada di antara keduanya, dan tidaklah Tuhanmu lupa. Tuhan (yang menguasai) langit dan bumi dan apa-apa yang ada di antara keduanya, maka sembahlah Dia dan berteguh hatilah dalam beribadah kepada-Nya. Apakah kamu mengetahui ada seorang yang sama dengan Dia (yang patut disembah)?”

Dalam 37.161-166 sangat jelas juga sang malaikatlah pembicaranya. Ini jika sekali saja diakui mungkin akan menular ke ayat-ayat yang juga tidak begitu jelas siapa pembicaranya. Kesulitan-kesulitan dalam banyak ayat yang ada kata ‘kami’ dijelaskan dengan menafsirkan yang dimaksud ‘kami’ itu adalah malaikat bukan Tuhan yang berbicara memakai bentuk jamak. Tidak mudah untuk membedakan keduanya dan pertanyaan ‘empuk’ kadang muncul di tempat dimana terjadi perubahan mendadak dari Tuhan yang memakai kata ganti orang ketiga menjadi ‘kami’, padahal ‘kami’ disitu tetap melakukan hal-hal yang seharusnya dilakukan oleh Tuhan saja, contoh 6.99; 25.45.

Perbendaharaan Kata Asing dalam Quran
Meski para ahli bahasa Muslim mengenali ada banyak kata-kata yang berasal dari kata asing, sifat ortodoks membuat mereka bungkam. Satu hadis memberitahu kita bahwa “Siapapun yang bilang dalam Quran ada kata asing selain kata Arab dia telah membuat tuduhan serius pada Tuhan: ‘Sesungguhnya Kami menurunkannya berupa Al Qur'an dengan berbahasa Arab,” (surah 12.2). Untungnya, ahli bahasa seperti al-Suyuti berhasil mengemukakan argumen yang hebat untuk menghindari keberatan pemikiran kolot tersebut. Al-Tha’alibi berpendapat bahwa benar ada kata-kata asing dalam Quran tapi “Orang Arab sudah terbiasa dengan kata-kata itu dan sudah meng-arab-kannya, jadi dari sudut pandang ini, kata-kata itu sebenarnya sudah jadi kata Arab.” Meski Al-Suyuti menyatakan ada sekitar 107 kata2 asing, Arthur Jeffery dalam karya klasiknya menemukan sekitar 275 kata dalam Quran yang bisa dikategorikan kata asing yang berasal dari: Aramaic, Hebrew, Syriac, Ethiopia, Persia dan Yunani. Kata “Quran” sendiri berasal dari bahasa Syriac, dan Muhammad terbukti mendapatkannya dari sumber-sumber Kristen.

Beda versi, Beda Bacaan
Kita perlu menyusuri kembali sejarah teks Quran untuk mengerti masalah beda versi dan beda bacaannya ini, dimana keadaan itu menihilkan dogma Muslim tentang Quran. Seperti kita tahu tidak ada yang namanya “Satu Quran”; tidak pernah ada teks pasti dari kitab ‘suci’ ini. Ketika seorang muslim secara dogmatis menyatakan bahwa Quran itu kalimat Tuhan, kita cukup bertanya “Quran yang mana?” untuk meruntuhkan keyakinannya itu.

Setelah kematian Muhammad ditahun 632 M, tidak ada pengumpulan wahyu-wahyunya. Akibatnya banyak dari para pengikutnya mencoba mengumpulkan semua wahyu-wahyu yang dikenal dan telah ditulis dalam banyak bentuk codex (penaskahan kuno). Segera saja kita punya banyak versi codex dari beberapa scholar muslim, seperti versi Ibn Mas’ud, Ubai b. Kab, Ali, Abu Bakar, al-Ashari, al-Aswad dan lain- lainnya. Begitu Islam menyebar akhirnya kita punya apa yang dikenal sebagai Metropolitan Codices (naskah besar) di pusat-pusat kota Mekah, Medina, Damaskus, Kufa dan Basra. Usman mencoba membereskan kekacauan ini dengan memilih satu naskah saja untuk dijadikan kitab Quran Resmi, yaitu Naskah Medina, copy-an dari naskah ini dikirim keseluruh kota besar dengan perintah tambahan untuk menghancurkan naskah-naskah Quran yang lainnya.

Codex/Naskah Usman ini bertujuan untuk membuat standarisasi teks konsonan; tapi meski demikian tetap saja masih bisa ditemukan versi- versi lain dari naskah yang sudah distandarisasi ini dan banyak yang bertahan sampai abad 4 Hijriah. Masalah menjadi besar karena ada fakta bahwa standarisasi teks konsonantal tersebut tidaklah begitu jelas, tanda titik yang membedakan, contoh yang membedakan sebuah huruf“b” dari huruf “t”, atau “th” tidak ada. Beberapa huruf lain (f dan q; j, h, dan kh; s dan d; r dan z; s dan sh; d dan dh; t dan z) juga tidak bisa dibedakan. Buntutnya banyak sekali versi bacaan yang berbeda-beda yang diterapkan sesuai dengan bagaimana teks tersebut ditambahkan tanda titiknya. Huruf Vokal malah lebih rumit lagi. Aslinya bahasa arab tidak punya tanda untuk vokal pendek – ini diperkenalkan belakangan. Teks arab melulu konsonantal (hanya berisi konsonan). Meski vokal pendek kadang dihilangkan, huruf vokal itu bisa dilambangkan dengan tanda-tanda ortografi yang ditempatkan diatas atau dibawah huruf tersebut – ada tiga tanda semuanya, mengambil bentuk garis miring/coret atau koma,.

Setelah beres masalah konsonan para muslim masih harus memutuskan huruf vokal mana yang dipakai dalam tiap ayat; memakai huruf vokal yang salah tentu saja membuat pembacaan dan, otomatis, artinya menjadi berbeda.

Kesulitan berujung pada bermunculannya pusat-pusat studi Quran versi berbeda dengan cara baca dan tulisan yang berbeda pula, tergantung bagaimana teks itu ditambahkan vokal dan diperjelas konsonannya. Meski ada perintah dari Usman untuk menghancurkan semua teks Quran lain selain versi dia, tetap saja naskah-naskah tua lain bisa bertahan. Seperti Charles Adams[9] katakan, “harus ditegaskan bahwa bukannya hanya satu versi teks wahyu tanpa cacat saja yang ada dijaman Usman, kenyataannya malah terdapat ribuan versi bacaan dari ayat-ayat tertentu … versi-versi ini bahkan mempengaruhi juga Naskah Usman asli, membuat naskah Usman sendiri jadi diragukan keasliannya..”

Sebagian Muslim lebih suka naskah lain yang bukan naskah usman, contohnya, naskah milik Ibn Masud, Ubayy ibn Kab, dan Abu Musa. Akhirnya dibawah pengaruh scholar Quran Ibn Mujahid (meninggal 935M), ada kanonisasi yang pasti dari satu sistem konsonan dan ditetapkan sebuah batasan penempatan variasi vokal yang dipakai dalam teks, hasilnya sistem ini diterima ditujuh tempat:
Nafi dari Medina (meninggal 785M)
Ibn Kathir dari Mekah (meninggal 737M) Ibn Amir dari Damaskus (meninggal 736M) Abu Amr dari Basra (meninggal 770M) Asim dari Kufa (meninggal 744M)
Hamza dari Kufa (meninggal 772M) Al-Kisai dari Kufa (meninggal 804M)
Tapi scholar (akademisi) lainnya mengakui sepuluh versi bacaan, dan scholar lainnya lagi mengakui 14 versi bacaan yang lain lagi. Bahkan ketujuh orang yang menerima sistemnya Ibn Mujahid juga punya empat belas (14) versi bacaan karena masing-masing orang itu mengikuti dua isnad/periwayat yang berbeda pula, yakni:
Nafi dari Medina, mengikuti Warsh dan Qalun
Ibn Kathir dari Mekah mengikuti al-Bazzi dan Qunbul
Ibn Amir dari Damaskus mengikuti Hisham dan Ibn Dhakwan
Abu Amr dari Basra mengikuti al-Duri dan al-Susi Asim dari Kufa mengikuti Hafs dan Abu Bakar Hamza dari Kufa mengikuti Khalaf dan Khallad Al-Kisai dari Kufa mengikuti al-Duri dan Abul Harith
Pada akhirnya tiga sistem tidak bisa bertahan (gugur), karena banyak alasan – kata Jeffery[10] – “alasan yang belum sepenuhnya jelas.” yang gugur yaitu Warsh (m. 812) dari Nafi Medina, Hafs (m. 805) dari Asim di Kufa dan al-Duri (m. 860) dari Abu Amr di Basra. Saat ini dalam Islam modern, dua versi banyak dipakai: yaitu versi Asim dari Kufa yang mengikuti Hafs, yang mendapat persetujuan resmi dan dipakai dalam Quran edisi Mesir tahun 1924; dan versi Nafi yang mengikuti Warsh yang dipakai disebagian benua Afrika.

Mengutip dari Charles Adams:
Penting diperhatikan akan kemungkinan sumber kesalah pahaman tentang banyaknya versi bacaan Quran. Tujuh versi mengacu pada perbedaan aktual dalam penulisan dan pembacaan teksnya, untuk membedakan versi-versi dari ayat Quran yang perbedaannya meski tidaklah begitu besar tapi sangat nyata dan mendasar. Karena adanya banyak versi baca dan versi Quran itu melanggar doktrin kitab Suci yang dipercaya oleh banyak muslim modern, jadi sudah biasa jika mereka membela bahwa tujuh versi itu adalah berbeda cara pelantunannya (nada-nada baca) saja; sebenarnya cara dan teknik pelantunan tersebut adalah masalah lain yang sama sekali berbeda.[11]

Guillaume juga menyebut perbedaan-perbedaan ini “bukan hal sepele mengingat kepentingannya.”[12] Versi baca yang berbeda mengandung masalah yang serius buat para muslim ortodoks. Jadi tidak heran jika mereka menyembunyikan naskah yang berbeda dari naskah Usman. Arthur Jeffery menjelaskan usaha-usaha penyembunyian ini sebagai berikut:
[Mendiang Professor Bergstrasser] sedang bekerja dalam pemotretan arsip-arsip dan memfoto beberapa Naskah Kufic Awal di Perpustakaan Mesir ketika saya meminta perhatiannya pada satu naskah di perpustakaan Azhar yang punya ciri-ciri tertentu yang mencurigakan. Dia meminta ijin untuk memfoto bahan itu juga tapi ditolak dan naskah itu ditarik agar tidak bisa diakses lagi, karena tidak sejalan dengan adat ortodoks untuk membiarkan scholar Barat mengetahui naskah- naskah demikian… Dengan melihat bahwa ada versi lain yang bisa bertahan, maka bisa dirasakan juga betapa keras usaha-usaha mereka untuk menghalangi kepentingan ortodoks.[13]
----------------
[1] Huxley, T.H. Science and Hebrew Tradition. London, 1895 [2] Rodinson, Maxime. Muhammad. New York, 1980
[3] Guillaume, Alfred. Islam. London, 1954. hal 74
[4] Dikutip Zwemer, S. dalam The Influence of Animism on Islam. London, 1920
[5] Dashti, Ali. Twenty-Three Years: A Study of the Prophetic Career of Mohammed. London, 1985, hal 148f
[6] Goldziher, Ignaz. Introduction to Islamic Theology and Law. Terjemahan Andras dan Ruth Hamori. Princeton, 1981. hal 173
[7] Dashti, Ali. Twenty-Three Years: A Study of the Prophetic Career of Mohammed. London, 1985, hal 150
[8] Bell, R., and W.M. Watt. Introduction to the Quran. Edinburgh, 1977, hal 66.
[9] Artikel Adams, Quran dalam Encyclopaedia of Religion
[10] Jeffery, Arthur. “Progress in the Study of the Quran Text.” Dalam Muslim World, vol.25., dalam Muslim World vol.25, hal 11.
[11] Artikel Adams, Quran dalam Encyclopaedia of Religion
[12] Guillaume, Alfred. Islam. London, 1954. hal 189
[13] Dikutip dalam Morey, Robert. The Islamic Invasion. Eugene, 1992, hal.121

Ayat-ayat yang Hilang dan Ditambahkan

Arabic Sempurna?
Scholar besar Noldeke[14] sudah sejak lama menunjukkan kelemahan stylistik dari Quran.
Secara keseluruhan, meski banyak bagian-bagian dari Quran dianggap punya kekuatan retoris yang hebat, bahkan terhadap para pembaca yang tidak percaya sekalipun, tapi kitabnya secara estetis sama sekali tidak punya performans hebat… Mari kita lihat pada beberapa bagian naratif yang lebih panjang. Bisa dilihat betapa berapi-api dan mendadak sekali karakter-karakternya ketika sebenarnya karakter- karakter tersebut harus diceritakan lebih mendetil lagi dalam epik yang panjang. Keterkaitan, baik dalam pengungkapan maupun dalam rangkaian-rangkaian kejadian, sering hilang, jadi kadang jauh lebih mudah bagi kita untuk mengerti daripada bagi mereka yang baru pertama kali tahu kisah-kisah tersebut, karena kita sudah tahu kisah-kisah itu dari sumber-sumber yang jauh lebih baik. Lalu ada banyak sekali kata-kata yang tak berguna; dan tak ada pendahuluan dalam penceritaannya.

Contohnya kisah Yusuf (xii) dan kelakuan-kelakuan tidak pantasnya sangat berlawanan dengan kisah-kisah yang kita dengar dari kitab Kejadian. Kesalahan serupa juga ada dalam bagian non cerita Quran. Pertalian antar ide sangat longgar, bahkan sintaksnya sangat kaku. Anacolutha (rangkaian sintaksis; susunan dimana rangkaian gramatikal harusnya ada tapi tidak ada, contoh: Ketika berada di taman, pintu terbanting dengan kencangnya. Antara kalimat satu dan dua tidak ada korelasinya) sering muncul, dan tidak dapat dijelaskan sebagai sebuah karya sastra yang sengaja dibuat demikian. Banyak kalimat-kalimat dimulai dengan kata “ketika” atau “pada satu hari ketika” yang sepertinya menggantung, jadi para penafsir didorong untuk mengisi hal ini dengan sebuah “pemikiran tentang ini” atau dengan ellipsis (kata-kata tambahan utk memenuhi bentuk kalimatnya). Lagipula, tidak ada gaya sastra yang katanya ‘hebat’ ditunjukkan dalam frase dan kata-kata yang sama; dalam xviii, contohnya kata “sampai itu” muncul tidak kurang delapan kali. Mahomet (Muhammad) pendeknya, dalam pengertian apapun bukanlah seorang ahli gaya bahasa.

Kita sudah mengutip kritik Ali Dashti mengenai gaya sang Nabi (bab 1). Disini, saya akan mengutip beberapa contoh dari Ali Dashti[15]
mengenai kesalahan-kesalahan tata bahasa dalam Quran. Dalam ayat 162, Surah 4, “Tetapi orang-orang yang mendalam ilmunya di antara mereka dan orang-orang mukmin, mereka beriman kepada apa yang telah diturunkan kepadamu (Al Qur'an), dan apa yang telah diturunkan sebelummu dan orang-orang yang mendirikan shalat, menunaikan zakat, dan yang beriman kepada Auwloh dan hari kemudian. Orang- orang itulah yang akan Kami berikan kepada mereka pahala yang besar.” Kata untuk “orang-orang yang mendirikan/performers” adalah kasus akusatif, sementara harusnya berupa kasus nominatif, seperti kata- kata untuk “mendalam”, “orang-orang mukmin” dan “menunaikan”.

Dalam ayat 9, surah 49, “Dan jika ada dua golongan dari orang-orang mukmin berperang maka damaikanlah antara keduanya.” Kata kerja “berperang” berupa kata jamak, dimana harusnya berupa ganda seperti dalam subjek “dua pihak.” (Dalam bahasa Arab, seperti bahasa- bahasa lain, kata kerja dapat dikonjugasikan bukan hanya dalam tunggal dan jamak, tapi juga dalam ganda, jika subjek yang disebutkan hanya ada dua).

Dalam ayat 63, surah 20, dimana orang-orangnya Firaun berkata tentang Musa dan Saudaranya Aaron, “Sesungguhnya dua orang ini adalah benar-benar ahli sihir” kata untuk “dua orang ini” (hadhane) berupa kasus nominatif; padahal harusnya berupa kasus akusatif (Hadhayne) karena muncul setelah penekanan unsur pengenalan. Ali Dashti menutup contoh-contoh ini dengan menyatakan,
Usman dan Aisha dilaporkan membaca kata itu sebagai ‘hadhayne’. Komentar dari para scholar muslim menggambarkan bagaimana fanatisme dan kekakuan intelektual saat itu: “Karena kesepakatan para muslim akan hal ini dan karena Quran adalah ‘kalimat Tuhan’ karenanya tidak mungkin ada kesalahan satupun, maka laporan yang menyatakan bahwa Usman dan Aisya membacanya sebagai ‘hadhayne’ bukannya hadhane dianggap suatu hal yang jahat dan palsu.”
Ali Dashti memperkirakan ada sebanyak lebih dari seratus penyelewengan aturan normal dan struktur arab dari Quran.

Ayat-ayat yang Hilang dan Ditambahkan
Ada hadis dari Aisha, istri sang nabi, kata Aisha tadinya ada “ayat rajam”, dimana disebutkan bahwa rajam dijelaskan sebagai hukuman bagi dosa zinah, ayat ini menjadi bagian dari Quran tapi sekarang hilang. Kalifah-kalifah awal melakukan hukuman rajam bagi para penzinah meski Quran, yang kita kenal sekarang, hanya memerintahkan seratus cambukan. Ini jadi aneh – jika hadis itu tidak benar – kenapa hukum Islam sampai saat ini masih menetapkan hukum rajam padahal Quran hanya menuntut hukum cambuk. Menurut hadis juga, lebih dari seratus ayat telah hilang. Kaum Shia, tentunya mengklaim bahwa Usman telah membuang banyak ayat-ayat yang condong berpihak ke Ali karena alasan-alasan politisnya.

Nabi sendiri telah melupakan banyak ayat, ingatan para sahabat juga sama-sama tidak bisa diandalkan dan para penyalin bisa juga salah menyalin ayat-ayat. Kita juga punya kasus Ayat Setan yang jelas menunjukkan bahwa Muhammad sendiri menyembunyikan atau menghapuskan beberapa ayat.

Keaslian banyak ayat juga dipertanyakan bukan hanya oleh scholar Barat modern tapi juga oleh para muslim sendiri. Banyak kaum Kharijit yang menjadi pengikut Ali waktu awal Islam berdiri menemukan surah yang menceritakan kisah Yusuf yang ganas berikut kisah-kisah erotisnya yang sekarang tidak ada di Quran. Bahkan sebelum Wansbrough ada sejumlah scholar Barat seperti Sacy, Weil, Hirschfeld dan Casanova yang meragukan keaslian surah ini atau surah itu atau ayat ini dan ayat itu. Bisa dibilang sejauh ini argumen mereka belum bisa dibantah. Argumen Wansbrough malah menemukan dukungan diantara scholar generasi muda yang tidak sejalan dengan kolega mereka dari generasi sebelumnya, seperti dijelaskan dalam bab 1-nya “Trahison des Clercs”.

Dilain pihak kebanyakan scholar benar percaya adanya interpolasi (penyisipan/penambahan) dari Quran; interpolasi ini berupa sebagai terjemahan yang ditambah-tambahkan pada kalimat-kalimat yang sulit. Yang lebih serius lagi adalah interpolasi sebuah karakter (politis atau dogmatis) seperti pada ayat 42.40-42, yang kelihatannya ditambahkan hanya untuk membenarkan pengangkatan Usman sebagai kalifah dan menafikan Ali. Lalu ada ayat-ayat lain yang ditambahkan hanya untuk menyesuaikan rimanya, atau untuk menggabungkan dua ayat pendek yang tidak ada hubungannya sama sekali agar nyambung dan bisa dimengerti.

Bell dan Watt[16] secara cermat meneliti banyak pengubahan dan revisi dan menunjuk pada tidak samanya gaya penulisan Quran sebagai bukti dari banyaknya perubahan-perubahan dalam Quran:

Banyak sekali hal-hal yg demikian dan ini diklaim sebagai bukti adanya perubahan yang fundamental. Disamping hal-hal yang sudah kita perhatikan – rima-rima tersembunyi, dan frase-rima yang tidak menyatu kedalam tekstur dari ayat – terdapat juga perubahan mendadak dari rimanya; pengulangan kata atau frase yang berima sama dalam ayat-ayat yang berdampingan; bercampurnya subjek yang tak ada hubungannya sama sekali kedalam ayat yang tidak homogen/bertopik sama; perlakuan yang berbeda untuk subjek sama dalam ayat-ayat yang berdekatan, sering dengan pengulangan kata dan frase; pemotongan tata bahasa yang menimbulkan kesulitan untuk penafsiran; perubahan kasar dalam ayat-ayat yang panjang; perubahan mendadak dalam kisah-kisah dramatis dengan mengubah kata ganti dari tunggal ke jamak, dari kata ganti orang kedua ke kata ganti orang ketiga, dan seterusnya; disejajarkannya pernyataan yang jelas-jelas berlawanan; disejajarkannya ayat-ayat yang ceritanya jelas- jelas beda jaman, dengan frase yg bertanggal belakangan disimpan diayat bertanggal lebih awal.

Dalam banyak hal sebuah ayat punya sambungan alternatif yang saling mengikuti dalam teksnya. Alternatif kedua ditandai oleh sebuah perhentian arti dan perhentian dalam konstruksi tata bahasanya, hubungannya tidak dengan ayat yang berikutnya tapi dengan yang ada disurah yang jauh posisinya dari ayat itu.

Al-Kindi, seorang Kristen[17] yang menulis sekitar 830M mengkritik Quran dengan pernyataan yang sama:
“Hasil dari semua ini (proses terbentuknya Quran) adalah paten bagi anda yang membaca kitab suci ini dan melihat bagaimana dalam kitab itu sejarah dicampur-adukkan dan disemrawutkan; ini sebuah bukti bahwa banyak tangan telah ikut campur dalam pembentukkannya dan menyebabkan ketidak sesuaian, penambahan atau pemotongan apapun yang mereka suka atau tidak suka. Sekarang apakah wahyu yang berasal dari surga bisa demikian?”

Mungkin harus diberi contoh:
- Ayat 15 dari Surah 20 sama sekali bukan disitu tempatnya; rimanya berbeda dari isi ayat lainnya dalam surah tersebut.
- Ayat 1-5 dari surah 78 jelas-jelas hasil penambahan karena baik rima maupun sifatnya berbeda dari ayat-ayat lainnya; dalam surah yang sama ayat 32, 33 dan 34 telah disisipkan antara ayat 31 dan 35, dengan demikian memotong hubungan yang jelas antara ayat 31 dan 35.
- Dalam Surah 74, ayat 31 lagi-lagi sebuah penyisipan yang jelas karena sama sekali berbeda gaya penuturannya dan panjangnya juga berbeda dari ayat-ayat lainnya.
- Dalam surah 50, ayat 24-32 dimasukkan ke dalam sebuah konteks yang tidak pada tempatnya.
Untuk menjelaskan kejanggalan atau keanehan kata/frase, bisa dengan memakai formula pertanyaan “Apa yang diajarkan ayat…. Itu?” (atau “mengajarkan apa ayat …. Ini?”) yang diterapkan pada ayat-ayat aneh tersebut. Jelas bahwa penjelasan terjemahan tambahan ini - ada 12 semuanya – telah ditambahkan belakangan, karena dalam banyak kejadian ‘definisi’nya tidak nyambung dengan arti asli dari kata-kata atau frasenya. Bell dan Watt[18] memberi contoh surah 101.9-11, yang harusnya terbaca: “ibunya akan jadi hawiya. Dan mengajarkan kamu apakah ini? api yang sangat panas.” “Hawiya” aslinya berarti “tidak punya anak” karena kematian atau kecelakaan tapi catatan penjelasan ayat ini menyatakannya sebagai “neraka.” Dengan demikian banyak penterjemah sekarang menganggap kalimat tersebut sebagai “maka tempat kembalinya adalah neraka Hawiyah. Dan tahukah kamu apakah neraka Hawiyah itu? (Yaitu) api yang sangat panas!” (Lihat juga 90.12-16)

Tentu saja interpolasi apapun, betapapun sepele, menjadi fatal untuk dogma muslim yang menganggap bahwa Quran itu Kalimat Tuhan yang diberikan langsung dari surga pada Muhammad di Mekah dan di Medina. Seperti Regis Blachere tulis dalam karya klasiknya Introduction to the Koran, pada titik ini, tidak ada cara yang mungkin utk mempertemukan penemuan-penemuan ahli tata bahasa dan sejarawan barat dengan dogma resmi dari Islam.

Kita juga punya kisah dari Abd Auwloh b. Sa’d Abi Sarh[19]:
Abdallah b. Sa’d Abi Sarh adalah penyalin tulisan yang dipekerjakan di Medina untuk menuliskan wahyu-wahyu selama beberapa waktu. Dia sering bersama dengan sang Nabi mengubah kata-kata dari beberapa ayat. Ketika sang Nabi berkata “Dan Auwloh maha Kuasa dan bijaksana,” Abdallah menyarankan untuk menuliskan “Maha Tahu dan Maha Bijaksana” dan sang nabi menjawab bahwa dia tidak keberatan dituliskan demikian. Setelah sadar bahwa dia (dan Muhammad) bisa melakukan penggantian ‘ayat Tuhan’ semaunya. Abdallah meninggalkan Islam dengan alasan bahwa wahyu-wahyu itu, jika benar berasal dari Tuhan, tidak boleh diubah sedikitpun apalagi jika hanya karena diusulkan penulis seperti dirinya. Setelah murtad, dia pergi ke Mekah dan bergabung dengan kaum Quraysh.

Tak perlu dikatakan lagi sang Nabi tak ragu untuk memerintahkan pembunuhan Abdallah ketika Mekah jatuh ketangan dia, tapi Usman meminta ampunan Muhammad bagi AbdAllah dengan susah payah.

Pembatalan Ayat-ayat Quran
William Henry Burr, penulis dari Self-Contradictions of the Bible, pasti akan berpesta pora jika memakai Quran sebagai subjeknya, karena Quran padat dengan kontradiksi. Tapi pesta Burr hanya akan berumur pendek saja; karena para teolog muslim punya doktrin yang nyaman buat mereka, yang seperti Hughes[20] katakan, “klop dengan efek manfaat yang sepertinya sudah menjadi satu keistimewaan dalam karir kenabian Muhammad.” Menurut doktrin ini ayat-ayat tertentu dari Quran dibatalkan dan diganti dengan ayat yang lain yang berbeda dan kadang bertentangan artinya dari ayat yang digantikan. Ini diajarkan oleh Muhammad dalam surah 2.106: “Ayat mana saja yang Kami nasakhkan, atau Kami jadikan (manusia) lupa kepadanya, Kami datangkan yang lebih baik daripadanya atau yang sebanding dengannya.” Menurut al-Suyuti, jumlah ayat-ayat yang digantikan diperkirakan berkisar dari 5 sampai 500 ayat. Margoliouth[21] berkomentar tentang ini:
Untuk ini cukup ambil satu wahyu dan gantikan ayat lainnya, Muhammad bilang ini diijinkan Tuhan. Meski meragukan tapi jelas ini masih dalam kekuasaan manusia dan meski bagi kita heran betapa begitu mudahnya sebuah prosedur boleh dipakai dalam sebuah sistem, baik bagi sekutu ataupun bagi musuh-musuhnya.

Al-Suyuti memberi contoh surah 2.240 sebagai ayat yang digantikan oleh ayat 234. Bagaimana bisa sebuah ayat awal menggantikan ayat yang datang kemudian? Jawabannya tergantung pada cara bagaimana para muslim tradisional mengurutkan surah dan ayatnya, yaitu tidak secara kronologis, para penyusun menempatkan surah yang panjang sebagai surah awal. Para komentator telah memutuskan bahwa urutan kronologis ini hanya untuk alasan doktrin semata; scholar barat juga pernah memutuskan untuk mengurutkan secara kronologis. Meski terdapat banyak perbedaan mendetil, tapi sepertinya ada persetujuan tak resmi mengenai surah mana yang menjadi ayat Periode Mekah dan yang mana sebagai ayat Periode Medinah. Perhatikan bagaimana periode waktu begitu mengikat kalimat-kalimat “abadi” sang Auwloh ini.

Muslim berhasil keluar dari satu kesulitan hanya untuk kemudian masuk kedalam kesulitan lainnya. Pantaskah Tuhan yang Maha Kuasa, Maha Ada dan Maha Tahu merevisi perintah-perintahNya sampai sebanyak itu? Apa dia perlu mengeluarkan perintah yang harus diperbaiki, diganti, direvisi sesering itu? Kenapa Dia tidak memberi yang betul saja langsung ketika pertama diturunkan? Kenapa tidak bisa yang benar saja langsung pertama kali diturunkan? Padahal Dia itu Maha Bijaksana, Maha Tahu? Kenapa dia tidak keluarkan yang paling hebat saja langsung? Meminjam perkataan Dashti,[22] :
Kayaknya tukang ejek juga ada jaman dulu itu dan mereka rajin mengejeknya. Dan sebuah jawaban diberikan untuk mereka dalam ayat 101 dan 102 surah 16: “Dan apabila Kami letakkan suatu ayat di tempat ayat yang lain sebagai penggantinya padahal Auwloh lebih mengetahui apa yang diturunkan-Nya, mereka berkata: "Sesungguhnya kamu adalah orang yang mengada-adakan saja". Bahkan kebanyakan mereka tiada mengetahui. Katakanlah: "Ruhul Qudus (Jibril) menurunkan Al Qur'an itu dari Tuhanmu dengan benar, untuk meneguhkan (hati) orang-orang yang telah beriman, dan menjadi petunjuk serta kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri (kepada Auwloh)".

Dengan asumsi bahwa Quran itu perkataan Tuhan, harusnya tidak ada bekas-bekas intelektual manusia yang tidak sempurna dalam apa-apa yang Tuhan katakan. Tapi dalam dua ayat ini jelas-jelas ada ketidak pantasan. Tentu Tuhan ‘tahu’ apa yang Dia turunkan. Untuk alasan itu saja mengganti satu ayat dengan ayat lainnya akan membuat orang curiga. Terbukti bahkan orang-orang Arab Hijazi yang tidak terpelajar dan sederhanapun bisa mengerti bahwa Auwloh SWT yang seharusnya tahu yang terbaik bagi hambaNya akan langsung menurunkan yang terbaik dan tidak akan berubah pikiran seperti makhluk tak sempurna lainnya.

Doktrin penggantian ini juga menjadi bahan ejekan bagi dogma Muslim yang meyakini bahwa Quran itu reproduksi dari ayat Asli yang ada disimpan di Surga yang tak berubah satu titikpun. Jika perkataan Tuhan itu abadi, tidak tercipta dan universal kepentingannya, lalu bagaimana bisa kita mengatakan bahwa perkataan Tuhan telah digantikan atau telah usang? Apakah Tuhan lebih suka perkataan anu dibanding perkataan ini? Sepertinya iya. Menurut Muir sekitar 200 ayat telah dibatalkan dan diganti oleh yang lebih baru. Dengan demikian kita mendapatkan situasi yang aneh dimana keseluruhan Quran diucapkan sebagai perkataan Tuhan, tapi ada ayat-ayat yang dianggap tidak “benar”; dengan kata lain, 3 persen dari Quran diakui palsu.

Mari kita lihat contoh. Setiap orang tahu muslim tidak boleh minum arak karena dilarang dalam surah 2.219; tapi banyak yang pastinya kaget membaca Quran surah 16.67, “Dan dari buah kurma dan anggur, kamu buat minuman yang memabukkan dan rezeki yang baik. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda (kebesaran Auwloh) bagi orang yang memikirkan.”


Rodwell menerjemahkan dengan ‘wine'. Dawood menerjemahkan ‘intoxicant ' (minuman keras) dan Pickthall menuliskan ‘strong drink’ dan Sale, dengan pesona abad 18 menuliskan ‘inebriating liquor’ menggantikan ‘wine'. Yusuf Ali mengaku bahwa kata Arab yang tepat adalah ‘sakar’ artinya ‘wholesome drink’, dan dalam sebuah catatan kaki dia berkeras bahwa yang dimaksud adalah minuman tak beralkohol; tapi kemudian, diakhir kalimat dia menambahkan bahwa jika ‘sakar’ harus diambil arti harafiahnya, berarti anggur fermentasi, dan ini mengacu pada saat sebelum minuman keras dilarang: ini adalah surah Mekah dan larangan muncul di Medina.”

Sekarang kita bisa melihat dan mengerti betapa berguna dan nyamannya doktrin Penggantian (Abrogasi) ini untuk menyelamatkan para scholar muslim keluar dari segala kesulitan. Tapi tetap mengandung masalah bagi para pembela Islam karena semua ayat yang mengajarkan toleransi ada dalam Surah Mekah, yakni Surah- surah awal, dan semua ayat-ayat yang membolehkan pembunuhan, pemancungan dan penganiayaan ada dalam surah Medina. “Toleransi” telah diganti oleh “Intoleransi”. Contohnya, ayat terkenal Surah 9.5, “bunuhlah orang-orang musyrikin itu di mana saja kamu jumpai mereka” katanya telah membatalkan sekitar 124 ayat yang menganjurkan toleransi dan kesabaran.

Doktrin Quran
Tidak ada tuhan selain Auwloh (La Illaha Illauwloh). Islam adalah monoteistik mutlak – satu dosa terbesar adalah menyekutukan Tuhan. Politeisme, berhala, paganisme dan banyak tuhan semuanya dianggap sebagai, dalam istilah Arab, “Shirik/Fitnah”. Para pembela teologis dan mungkin juga para evolusionis budaya abad 19 semuanya sepakat menganggap bahwa monoteisme adalah bentuk kepercayaan “lebih tinggi” dibanding politeisme. Kelihatannya para filsuf tidak menelaah lebih jauh mengenai politeisme akhir-akhir ini. Apakah benar bahwa monoteisme secara filosofi atau metafisik lebih superior dari politeisme? Secara apa lebih superiornya? Jika ada sebuah evolusi alam yang mengubah politeisme menjadi monoteisme, maka bukankah bisa terjadi juga perkembangan alami dari monoteisme menjadi ateisme? Apakah monoteisme ditakdirkan untuk diganti dengan bentuk kepercayaan yang lebih tinggi lagi, yaitu ateisme? – lewat agnotisme mungkin? Dalam bagian ini saya ingin berdiskusi tentang:
1. Monoteisme tidaklah harus, secara filosofi atau metafisik, lebih superior dari politeisme, melihat bahwa tidak ada bukti yang benar- benar valid akan keberadaan Satu dan Hanya Satu Tuhan.
2. Dilihat dari sejarahnya, dalil-dalil monoteisme sering diam-diam mengandung kesan-kesan politeisme dalam prakteknya, meski ada dogma-dogma resmi sekalipun.
3. Takhyul dalam monoteisme tidak dihilangkan tapi dipusatkan kedalam satu Tuhan beserta UtusanNya.
4. Dilihat sejarahnya, monoteisme sering tidak punya toleransi (intoleransi yang parah), kebalikan dari politeisme dimana dalam politeis peperangan karena agama hampir tidak pernah terjadi. Ketidak toleransian ini secara logis muncul dari ideologi monoteistik. Banyak sekali hal-hal yang harus dijawab oleh monoteisme. Seperti Gore Vidal[23] katakan:
Kejahatan terbesar yang tidak disebutkan dalam kebudayaan kita adalah monoteisme. dimulai dari teks-teks Abad Perunggu yang dikenal sebagai Perjanjian Lama, tiga agama anti-human telah berkembang – Yudaisme, Kristen dan Islam. Ini adalah agama-agama Tuhan Surga. Agama-agama ini bersifat patriarch (berpihak ke gender lelaki) – Tuhan adalah Lelaki dan Maha Kuasa – dengan demikian membenci perempuan, selama 2000 tahun negara-negara dikuasai oleh Tuhan sang Lelaki dari Surga. Tuhan surga ini pencemburu. Dia menuntut kepatuhan total. Mereka yang menolak harus menyerah atau mati. Totaliter adalah satu-satunya cara politik yang benar-benar bisa melayani maksud- maksud Tuhan ini. Pergerakan apapun yang sifatnya liberal membahayakan otoritasnya. Satu Tuhan, Satu Raja, Satu master, satu Pemimpin Lelaki dalam keluarga.

5. Islam tidak mengganti Politeisme Arab hanya karena Islam lebih ketemu dengan kebutuhan spiritual orang-orang Arab, tapi karena Islam menawarkan mereka hadiah-hadiah materi di dunia sekarang dan di dunia berikutnya. Asumsi tak beralasan mengenai superioritas monoteisme telah mewarnai pendapat-pendapat para sejarawan tentang penyebab diadopsinya Islam di Arab.

6. Bukannya mengangkat standar moral orang Arab, Islam malah mendukung dan menimbulkan segala macam tindakan-tindakan tidak bermoral.
Monoteisme membawa semacam pesan intelektual buatan ke dalam campuran tuhan-tuhan ‘primitif’ dan jelas-jelas mengurangi ketakhyulan. Tapi ini hanya dipermukaan saja bukan sebuah kenyataan. Pertama, seperti Zwi Werblowsky[24] amati, “Ketika politeisme diganti oleh monoteisme, tuhan-tuhan politeisme itu kalau tidak dihilangkan (secara teoritis) maka dituduh sebagai penjelmaan jahat (jelmaan setan) atau diturunkan derajatnya ketingkat malaikat atau yang lebih rendah. Artinya bahwa sebuah sistem monoteistik secara resmi bisa melindungi fungsi sebenarnya dari politeisme.”

Hume[25] membuat pengamatan yang sama:
Sangat menakjubkan jika melihat bahwa prinsip-prinsip agama bisa berubah dan lalu bisa kembali lagi ke asal (berubah kembali ke semula) dan manusia punya kecenderungan alami untuk bergerak dari penyembahan berhala kepada Teisme lalu kembali lagi menuju penyembahan berhala… hal yang sama juga ada pada ‘perasaan bahagia’, perasaan yang menelurkan ide ‘Makhluk Kuasa dan Tak Terlihat’ ini membuat ‘makhluk non manusia” bertahan sekian lama dalam bentuk konsep awal dan sederhana mereka sebagai makhluk terbatas yang berkuasa; Tuan dari nasibnya sendiri tapi budak dari takdir dan alam. Pujian yang dibangkitkan manusia menambah membesarnya ide itu; dan mengangkat tuhan-tuhan mereka ketingkat maha sempurna yang pada akhirnya melahirkan tauhid (Maha Esa) dan Tak Terbatas (Maha Kuasa), sekaligus sederhana dan spiritualis. Ide ini meski tidak sebanding dalam pemahaman kasarnya, tidak akan bisa bertahan lama dalam bentuk aslinya jika tidak dibantu oleh figur makhluk (yang lebih rendah) yang ditempatkan antara umat manusia dan Tuhannya. Figur makhluk yg biasanya berupa Manusia ini, manusia yg dianggap setengah dewa atau perantara jauh lebih akrab dengan kita, para manusia, dan segera menjadi pemimpin dan objek pengabdian lalu perlahan menjadi objek pengultusan dan penyembahan yang katanya telah mereka musnahkan.

Ini terlihat dalam Islam itu sendiri, dimana kepercayaan akan malaikat dan Jin secara resmi diakui dalam Quran.[26] Edward Lane membagi spesies spiritual dalam Islam ini menjadi lima tatanan: Jann, Jinn, Shaitan, Ifrit dan Marid. “Yang terakhir adalah yang paling kuat, dan Jann adalah Jinn yang berubah bentuk, seperti monyet dan babi diubah dari manusia… nama Jinn dan Jann secara umum dipakai sebagai nama seluruh spesies ini, yang baik atau yang jahat…. Shaitan secara umum dipakai utk makhluk halus yang pintar. Ifrit adalah Makhluk halus pintar yang lebih hebat; Marid, adalah makhluk halus pintar yang paling hebat.” Banyak jinn terbunuh oleh bintang jatuh (meteor) yang ”dilemparkan pada mereka dari surga.” Jinn bisa memperbanyak spesies mereka dengan bantuan manusia, anak dari kedua spesies ini mengambil bentuk jinn dan manusia. “diantara makhluk halus Jinn dikenal ada lima anak pemimpin mereka, Iblis; anak iblis yang bernama Tir mendatangkan bencana, kehilangan dan penyakit; al- Awar, mendorong timbulnya penyelewengan susila; Sut, mendorong untuk berbohong; Dasim menyebabkan kebencian antara suami istri; dan Zalambur, bertempat tinggal di keramaian. Jinn ada tiga jenis: yang punya sayap dan terbang; berupa ular dan anjing; dan yang ketiga berpindah-pindah dari satu tempat ketempat lain seperti manusia.”
Sudah cukup banyak cerita-cerita yang menunjukkan bahwa sistem Islam sama kaya dan takhyulnya dengan mitologi politeis Yunani, Roma ataupun Norwegia.

Pengkultusan orang-orang suci dalam Islam punya maksud yang sama seperti yang Hume jelaskan yaitu sebagai perantara manusia dan Tuhan. Goldziher[27] menjelaskannya demikian:
Didalam Islam… orang percaya mencoba menciptakan lewat konsep pengkultusan orang suci, perantara dirinya dengan Tuhan untuk memuaskan kebutuhan akan Tuhan dan untuk menggantikan tradisi tua yang telah dikalahkan Islam. Disini diterapkan juga apa yang Karl Hase katakan tentang pengultusan orang-orang suci secara umum: yaitu bahwa “kepuasan akan kebutuhan politeistik di dalam agama monoteistik adalah untuk memperpendek jarak lebar antara manusia dan Tuhan dan itu asalnya datang dari tanah Pantheon Kuno.”

Doktrin Muslim tentang setan ini juga mirip dengan jaman Ditheisme, kepercayaan tentang adanya dua Makhluk Maha Kuasa. Setan disebutkan bernama Azazil dan tercipta dari api. Ketika Tuhan menciptakan Adam dari tanah liat, setan menolak untuk menyembah Adam seperti yang diperintahkan Tuhan hingga dia diusir dari Eden. Pada akhirnya dia nanti akan dihancurkan oleh Tuhan, karena hanya Tuhanlah yang Maha kuasa. Tapi jika melihat meratanya kejahatan di dunia – perang, hama, penyakit, bencana – orang jadi bertanya-tanya apa bukan setan yang lebih berkuasa? Kenapa setan belum juga dihancurkan masih menjadi teka-teki. Lagipula sepertinya Tuhan tidak konsisten karena menyuruh Setan untuk menyembah Adam padahal Tuhan melarang makhluknya untuk menyembah siapapun selain Tuhan sendiri.

Dalam Quran tidak ada argumen filosofi nyata mengenai keberadaan Tuhan; Quran hanya mengasumsikan saja. Yang paling dekat untuk layak disebut argumen mungkin adalah apa yang disebut sebagai “pertanda”, fenomena-fenomena alam dilihat sebagai “pertanda” kekuatan, keagungan dan karunia Tuhan.

Fenomena yang sering disebut Quran adalah: penciptaan langit dan bumi, penciptaan manusia dan generasinya, kegunaan dan keuntungan yang didapat manusia dari binatang, pergantian siang dan malam, bersinarnya matahari, bulan dan bintang, bertiupnya angin, turunnya hujan dari langit, suburnya tanah kering dan munculnya tumbuhan dari sana, panen dan buah-buahan, gerakan kapal di laut dan kestabilan gunung-gunung. Yang jarang disebut-sebut pertanda Tuhan adalah: bayangan, petir, kilat, besi, api, pendengaran, penglihatan, pengertian dan kebijaksanaan.[28]
Secara filosofi argumen demikian dikenal sebagai argumen yang dibuat-buat atau argumen teleologi (penjelasan suatu fenomena lebih kepada maksud fenomena tersebut ada bukannya alasan penyebab fenomena itu terjadi), seperti juga semua argumen tentang keberadaan Tuhan yang ada hanya karena keinginan para filsuf untuk menyatakan demikian. Semua fenomena yang dikemukakan Muhammad dalam Quran dijelaskan tanpa berasumsi tentang keberadaan Tuhan atau pencipta kosmis ini. Tapi, kembali pada monoteisme, kenapa harus ada satu saja pencipta kosmis? Seperti yang ditanyakan oleh Hume[29]:
Apa yang membayangi sebuah argumen, lanjut Philo, yang kau keluarkan dari Hipotesamu untuk membuktikan keesaan Tuhan? Sejumlah orang bergabung untuk membangun sebuah bangunan atau kapal, membangun kota, membentuk sebuah persatuan: lalu kenapa tidak bisa banyak tuhan bergabung menyusun dan menciptakan sebuah dunia? Banyak kemiripan dengan urusan-urusan manusia. Dengan membagi pekerjaan pada banyak orang, kita bisa membagi sumbangan masing-masing dan menghilangkan kemahatahuan dan kekuasaan yang berlebihan, yang semestinya ada dalam satu Tuhan, dan yang, menurut anda, hanya dapat memperlemah bukti keberadaanNya. Jika makhluk sebodoh dan sekeji manusia bisa bergabung melaksanakan dan membentuk satu rencana, berapa banyak tuhan atau setan, yang kita gabungkan untuk jadi sempurna?

###
Satu sukses besar Muhammad, konon katanya, adalah melenyapkan politeisme di tanah Arab. Tapi ini, saya coba bantah, adalah kesombongan monoteistik. Tidak ada argumen yang tak bisa dibantah dalam monoteisme yang menjadi lawan dari politeisme. Tentu saja, seperti Hume tunjukan, tidak ada hal-hal yang sifatnya tak masuk akal (omong kosong) dalam politeisme. Dan seperti yang diisyaratkan Quran mengenai penciptaan, Hume[30] menunjukkan bahwa semua hipotesis mengenai asal muasal jagat raya juga sama-sama omong kosongnya. Tidak ada pembenaran apapun yg bisa dipakai utk mempercayai bentuk argumen penciptaan:
“kita tidak punya data untuk menetapkan sistem apapun tentang kosmogony. Pengalaman kita, walau begitu tidak sempurna dan begitu terbatas dalam bidang dan waktu, tidak bisa membantu kita menetapkan dugaan yang paling mungkin mengenai segala sesuatu. Tapi jika kita harus membetulkan sebagian hipotesis, dengan aturan apa kita harus menetapkan pilihan kita itu?”

Monoteisme juga dikenal bersifat tidak toleran. Kita tahu Quran mengkhotbahkan kebencian pada semua jenis kepercayaan yang dilabeli “penyembahan berhala” atau “politeisme”. Seperti Dictionary of Islam katakan, penulis Muslim “bersuara bulat dalam pengakuan bahwa tidak ada toleransi bagi orang Arab penyembah berhala jaman sang Nabi. Satu-satunya pilihan bagi mereka adalah masuk Islam atau mati.” Dalam segala jenis monoteisme yang mutlak adalah kepastian dogmatis bahwa agama mereka saja yang punya akses pada Tuhan sejati, agama mereka saja yang punya akses pada kebenaran. Orang lain bukan saja secara malang telah disesatkan tapi juga dikutuk untuk masuk neraka dan dibakar api neraka selamanya. Meminjam perkataan Lewis, “KeKristenan Tradisional dan Islam berbeda dari Yudaisme dan keduanya sama-sama mengaku punya kebenaran yang bukan saja universal tapi juga eksklusif. Masing-masing mengaku sebagai pewaris tunggal dari Wahyu Terakhir Tuhan untuk umat manusia. Tak ada yang mengakui keselamatan diluar agama mereka.”[31]

Schopenhauer[32] meminta kita untuk berkaca pada “bangkitnya kekejaman yang agama --khususnya Islam-- timbulkan” dan “kesengsaraan yang mereka bawa pada dunia.” Pikirkan saja fanatisme, penganiayaan lalu perang agama, gila darah dimana orang- orang jaman dulu sebelumnya tidak punya konsep tentang itu. Ingat satria salib yang dibenarkan membunuh dan itu berlangsung selama 200 tahun, teriakan perang mereka adalah “Ini sudah kehendak Tuhan.” Kekristenan juga sama tidak beda dari Islam dalam tuduhan Schopenhauer:
Objek dari perang Salib adalah merebut kembali kuburan dari “Dia yang mengajarkan cinta, toleransi dan kasih”. Ingat pengusiran dan pembantaian orang Moor dan Yahudi dari Spanyol oleh Mohammedan; banjir darah, inkuisisi dan pengadilan-pengadilan untuk para penghujat; dan juga penaklukan berdarah Mohammedan di tiga kontinen… khususnya jangan lupa India.. dimana para mohammedan pertama kali menyerang pengikut agama asli dan kuil-kuilnya. Penghancuran dan perusakan kuil-kuil kuno menunjukkan pada kita, bahkan sampai saat ini bahwa ada jejak-jejak kemarahan kaum monoteistik dari Mohammedan yang dilakukan mulai dari Mahmud Ghazni hingga ke Aurangzeb.

Schopenhauer membandingkan catatan sejarah damai dari Hindu dan Buddha dengan kekejaman kaum monoteis, dan menyimpulkan:
Tentu saja, ketidak-toleransian merupakan hal yg penting hanya bagi monoteisme; Tuhan yang Esa sudah pasti adalah tuhan yang pencemburu yang tidak akan membiarkan tuhan lain ada. Dilain pihak, tuhan politeistik sudah pasti toleran; tuhan-tuhan lain boleh hidup dan dibiarkan terus hidup. Malah, sejak awal mereka sudah mentoleransi kolega mereka, tuhan-tuhan dari agama yang sama, dan toleransi ini selanjutnya meluas bahkan pada tuhan-tuhan asing yang dengan senang hati juga diterima dan disambut, dalam beberapa kasus bahkan dianggap punyai hak yang sama. Sebuah contoh adalah orang Roma yang dengan senang hati mengakui dan menghormati Phrygian, Mesir dan tuhan-tuhan asing lain. Dengan demikian hanya agama monoteistik yang memberi kita perang agama, penganiayaan religius, pengadilan orang murtad dan pengadilan orang yang mengagungkan simbol-simbol, penghancuran gambar-gambar tuhan asing, penghancuran kuil-kuil india dan Mesir yang telah selama 3000 tahun ada; semua ini karena tuhan pencemburu mereka telah berkata: “Tiada Tuhan selain Tuhanku” dan seterusnya dan seterusnya.

Note: Sayang sekali Schopenhauer dan Hume tak sempat melihat bahwa agama-agama monotheisme selain Islam dapat mereformasi dirinya. Institusi Gereja telah mengakui Perang Salib sebagai bagian dari sejarah kelam Gereja yang telah membelokkan ajaran Kristen yang sejati. Schopenhauer dan Hume juga tidak dapat memilahkan antara kesalahan personal pengikut suatu agama dengan kesalahan doktrinal. Segala bentuk kekerasan atas nama KeKristenan telah lama ditinggalkan yg diakui sebagai kesalahan --baik institusi Gereja maupun individual—yang menyimpangkan ajaran inti Kristen, cinta kasih. Bila Schopenhauer dan Hume masih hidup hingga kini, mereka akan melihat perbedaan antara Yahudi, Kristen dengan Islam di sisi lainnya, bahwa segala macam kekerasan yg dilakukan muslim bukanlah karena kesalahan institusi ataupun personal muslim tapi memang karena kesalahan doktrinal, dan memang bersumber dari ajarannya, agamanya. Selain itu, Schopenhauer dan Hume juga kurang akurat dengan mengatakan bahwa agama-agama politheisme tidak pernah menimbulkan peperangan sebagaimana agama-agama monotheisme. Hinduisme dan berbagai sekte-sektenya serta agama-agama politheis lokal di Asia Tengah pernah mengalami masa-masa konflik juga seperti halnya agama-agama monotheis lainnya. Dan harus diingat pula bahwa sejarah juga mencatat bahwa agama-agama monotheisme terutama Yahudi dan Kristen pernah mengalami masa-masa penganiayaan berat dari agama-agama politheisme, seperti kisah Sadrakh-Abednego pada Perjanjian Lama, dan kisah-kisah jemaat Kristen mula-mula (komunitas Kristen awal) yang dibantai oleh para pemeluk politheis di bawah kekaisaran Romawi.

Namun, by the way, harus diakui secara fair bahwa Schopenhauer dan Hume sebagian besar benar pada konteks jamannya. Note ini hanya menyampaikan update perkembangan agama-agama monotheisme dalam konteks kekinian. –admin.

Hampir seratus tahun sebelum Schopenhauer menulis, Hume[33] dengan kejeniusannya telah melihat keuntungan/keunggulan dari politeisme:
Penyembahan berhala mengandung keuntungan yang jelas bahwa dengan membatasi kekuasaan dan fungsi masing-masing dewa juga bisa mengakui dewa-dewa dari sekte dan bangsa lain untuk berbagi kedewaannya dan menyetarakan semua dewa-dewa lain, juga ritual- ritual, upacara-upacara atau tradisi-tradisi, hingga cocok satu sama lain… Sementara bagi monoteistik pemujaan dewa/tuhan lain dianggap sebagai tidak masuk akal dan tidak beriman. Keesaan dari objek ini sepertinya secara alami pula butuh kesatuan dalam hal iman dan upacaranya, dan menciptakan manusia-manusia yang dianggap para pengikut mereka sebagai manusia yang najis/kotor, dan subjek dari pemujaan sekaligus juga menjadi pembalasan. Karena setiap sekte merasa pasti bahwa iman dan penyembahan merekalah yg sepenuhnya diterima oleh sang tuhan mereka dan tak seorangpun bisa mengatakan bahwa yang maha esa menerima dan senang mendapatkan ritual dan prinsip-prinsip yang berbeda dengan ajaran mereka; beberapa sekte secara alami masuk kedalam permusuhan dan saling serang dengan penuh semangat dan dendam keramat, nafsu yang paling parah dan keras kepala dari umat manusia.
Semangat toleran dari para penyembah berhala baik jaman dulu maupun jaman sekarang sangat jelas bagi tiap orang yang setidaknya akrab dengan tulisan-tulisan sejarawan atau para pengelana… ketidak toleransian yg ada dihampir semua agama yang dipertahankan karena keesaan tuhan, sama mencengangkannya seperti prinsip-prinsip politeistik itu sendiri. Semangat sempit dan keras kepala dari orang Yahudi sudah sangat dikenal. Mohammedan malah memunculkan prinsip-prinsip yang lebih berdarah lagi, sampai detik ini, mereka masih bergelut dengan kutukan dan api neraka bagi ajaran-ajaran maupun sekte-sekte lainnya.

Professor Watt, dalam 2 volume Biografi Muhammad yang penting dan sangat berpengaruh, telah menampilkan sebuah penafsiran akan kebangkitan Muhammad dan pesan-pesannya yang sampai sekarang masih diterima oleh banyak scholar (akademisi), meskipun skeptis, seperti Bousquet dan yang belum lama ini yaitu Crone. Seluruh tulisan Watt, tak heran, diserap dengan asumsi bahwa monoteisme yang dikobarkan Muhammad lebih superior dari politeisme yang ada di Arab Tengah saat itu. Watt berpendapat bahwa kesuksesan pesan-pesan Muhammad bergantung pada fakta bahwa pesannya merespon kebutuhan spiritual yang dalam pada diri orang-orang. Mekah saat itu, yang menderita malaise/penyakit sosial – bahkan bisa disebut krisis spiritual – yang tidak menemukan jawaban pada dewa-dewi dan kultus- kultus lokal. Orang-orang mekah terbenam dalam kemerosotan moral dan penyembahan berhala sampai Muhammad datang dan mengangkat mereka ke tingkat moral dan spiritual yang lebih tinggi. Itulah argumennya Watt. Tapi seperti Crone dan Bousquet tunjukkan sangat sedikit sekali bukti-bukti akan adanya malaise sosial di Mekah. Crone[34] membantah sbb:
Faktanya adalah bahwa tradisi yang ada di Mekah bukanlah malaise/penyakit, baik itu penyakit moral, religius, sosial maupun politik. Malah sebaliknya orang-orang mekah dijelaskan sebagai orang- orang sukses yang sangat terkenal; dan pendapat Watt bahwa sukses mereka berujung pada kesinisan muncul dari upaya-upaya utk melihat sejarah Islam hanya lewat kacamata orang muslim. Alasan kenapa orang mekah dianggap bangkrut secara moral dimata muslim, lewat sumber-sumber muslim pula, bukanlah karena cara hidup tradisional mereka sudah dipatahkan, tapi justru karena cara hidup mereka berfungsi terlalu baik: Orang mekah lebih suka cara hidup tradisional dibandingkan dengan cara islam. Karena alasan-alasan inilah mereka didakwa demikian (jahiliyah) oleh orang-orang muslim; dan semakin mengabdi seseorang pada cara hidupnya, semakin sinis, amoral atau munafik ia kedengarannya bagi muslim: Abu Sufyan (seorang pemimpin aristokrat di Mekah yang menentang Muhammad) tidak akan bisa bersumpah dalam nama dewa-dewi pagannya tanpa membuat para pembaca merasa tidak suka padanya, karena pembaca berpikiran orang yang bersumpah demi tuhan palsu adalah orang yang tidak percaya apapun, jadi sumpahnya dianggap palsu pula. Sedangkan utk krisis spiritual, tidak terlihat ada hal demikian di arab abad ke-6.

Lalu bagaimana menjelaskan terjadinya orang masuk Islam secara besar-besaran di Arab? Seperti yang kita lihat di Bab 2, masyarakat sana diorganisir secara kesukuan dan tiap masyarakat punya dewa utama mereka masing-masing yang disembah dengan harapan akan menolong suku mereka dengan praktis, seperti menurunkan hujan, memberi kesuburan, menghilangkan penyakit. Umumnya adalah untuk melindungi mereka dari elemen-elemen jahat. Tuhan-tuhan (dewa- dewi) kesukuan ini tidak mewujud ke dalam “Kebenaran mutakhir tentang sifat dan arti hidup,” tidak juga “secara mendalam berakar dalam hidup keseharian”. Oleh karenanya mereka mudah saja mengganti satu tuhan dengan yang lain karena tidak perlu mengubah pula kelakuan atau penampilan. Lebih jauh lagi, tuhannya muslim “mengesahkan dan menghormati karakteristik kesukuan yang fundamental seperti kebanggaan akan etnis dan militansi.” Tuhannya Muslim menawarkan sesuatu yang lebih daripada dewa-dewi mereka: Dia menawarkan “sebuah program formasi negara Arab dan penaklukan-penaklukan negara lain: penciptaan Ummat dan dimulainya Jihad (perang terhadap orang kafir, non muslim).” “Kesuksesan Muhammad jelas punya andil dengan fakta bahwa dia mengkhotbahkan formasi baru tentang negara dan penaklukannya: tanpa penaklukan ini, pertama penaklukan di arab sendiri lalu ke suku- suku/negara-negara lain, penyatuan Arabia tidaklah akan tercapai.”

Tentu saja begitu Muhammad terbukti sukses di Medina, pengikutnya jadi bertambah, sadar bahwa mereka pikir terbukti Auwloh sungguh- sungguh besar dan pasti lebih besar dari dewa-dewi mereka sebelumnya: Tuhan yang benar adalah Tuhan yang sukses, yang palsu yang tidak sukses. Para scholar seperti Becker telah berargumen bahwa Arab didorong kepada penaklukan-penaklukan tersebut dengan perlahan-lahan dan menyedot hingga kering sumber-sumber Arabia, tapi seperti yang Crone nyatakan:
Kita tidak perlu membuat dalil kemunduran apapun dalam lingkungan Arabia utk menjelaskan kenapa mereka menemukan kebijakan penaklukan yang sesuai dengan selera mereka. Setelah mulai menaklukan suku-suku ditanah mereka sendiri, baik mereka maupun para pemimpin mereka sulit untuk berhenti dalam mendapatkan tanah yang subur: lagipula, dimana mereka bisa menemukan sumber- sumber yang mereka perlukan dan berfaedah bagi mereka untuk melanjutkan penaklukan disitu mereka harus terus menaklukan lagi dan lagi. Tuhannya Muhammad mengesahkan kebijakan penaklukan, memerintahkan pengikutnya untuk memerangi orang-orang tidak percaya dimanapun mereka ditemukan… PENDEKNYA, MUHAMMAD HARUS MENAKLUKAN, PENGIKUTNYA SUKA MENAKLUKAN, DAN TUHANNYA BILANG: TAKLUKAN! Apa perlu penjelasan lebih lanjut lagi?

Tapi perang suci bukanlah topeng untuk kepentingan materi; sebaliknya adalah sebuah proklamasi terbuka dari mereka. “Tuhan berkata…. ‘hamba-hamba setiaku akan mewarisi dunia’; sekarang inilah warisanmu dan apa yang Tuhan janjikan padamu…” Tentara Arab disemangati ketika akan berperang di Qadisiyya, menuju ke Irak: “Jika kalian bisa bertahan… maka harta mereka, perempuan mereka, anak- anak mereka dan negara mereka akan jadi milikmu.” Tuhan malah lebih eksplisit lagi. Dia bilang pada orang Arab bahwa mereka punya hak utk merampok perempuan, anak dan tanah serta harta orang lain, mereka malah wajib melakukan itu: perang suci melulu terdiri dari kepatuhan. Tuhannya muhammad dg demikian mengangkat militansi dan kesukaan merampok yang mulanya bersifat kesukuan menjadi ‘kebaikan’ religius maha tinggi.

Sebagai rangkuman, bukannya menjawab keraguan spiritual dan pertanyaan-pertanyaan kesukuan (yang pastinya tidak ada krisis spritual di Arab saat pra-Islam), Muhammad malah menciptakan, menawarkan dan melegalkan kepada orang Arab apa yang sudah biasa mereka lakukan: sebut saja, penaklukan militer dengan segala keuntungan materinya, perampokan, penjarahan, perempuan dan tanah. Auwloh lebih suka berubah menjadi tuhan lama hanya karena Dia tidak mau mengecewakan tuhan-tuhan (dewa-dewi arab) lama itu, Dia memberi harta rampasan saat itu juga. Auwloh tentunya tidak lebih suka pada tuhan-tuhan yang beralasan metafisika; orang-orang Arab tidak mendadak harus belajar memakai Occam Razor (istilah prinsip sains yang berarti bahwa dalam menjelaskan segala sesuatu tidak perlu banyak-banyak asumsi melebihi yang diperlukan, cukup yang sederhana saja). “Pastinya”, kata Crone, “melihat tingkah lakunya sebagian besar Arab bisa dikatakan masih tetap menjadi penyembah berhala di abad 19 ini”.

Diawal 1909, Dr. Margoliouth[35] telah mengantisipasi tesisnya Watt dan menganggapnya kurang. Yang juga penting dalam karya Margoliouth adalah bahwa dia menyangkal Islam telah mengangkat moral para mualaf ke arah yang lebih tinggi: “Tidak ada bukti bahwa para muslim baik secara pribadi ataupun umum moralnya lebih baik dibanding orang pagan.” Malah sebaliknya yang terjadi: Ketika Muhammad menjadi pemimpin komunitas perampok, pengaruh demoralisasi mulai terasa, saat itu orang yang asalnya tidak pernah melanggar sumpah belajar bahwa mereka bisa menghindari kewajiban mereka dan bahwa mengucurkan darah orang sesuku sebelumnya dianggap sama seperti mengucurkan darah sendiri telah dibolehkan jika dilakukan dijalan Auwloh; dan bahwa berbohong serta menipu dijalan Islam boleh dilakukan karena sudah mendapat ijin dari surgawi, keraguan untuk melakukan semua itu malah dianggap sebagai sebuah kelemahan. Saat itu pula para muslim menjadi terkenal lewat kekasaran bahasa mereka. Saat itu pula sifat iri hati akan harta dan istri (milik orang-orang kafir) muncul tanpa larangan dari sang Nabi.

Monoteisme dikritik karena menekan kebebasan manusia. Banyak scholar berargumen hal itu akan berujung pada totaliterianisme; lebih banyak lagi filsuf modern melihat politeisme sebagai sumber yang mungkin atas pluralisme, kreativitas dan kebebasan manusia. Para feminis juga mengkritik Tuhannya Monoteisme sebagai Chauvinis yang tidak sudi untuk berubah dan sangat tidak sensitif akan ‘feminitas’.

-------------------
[14] Noldeke dalam Encyclopaedia Britannica, edisi sebelas, vol.15, hal 898-906 [15] Dashti, Ali. Twenty-Three Years: A Study of the Prophetic Career of Mohammed. London, 1985, hal 49-50
[16] Bell, R., and W.M. Watt. Introduction to the Quran. Edinburgh, 1977, hal 93
[17] Dikutip dalam Rippin, A. Muslims: Their Religious Beliefs and Practices. Vol.1. London, 1991. hal.26
[18] Bell, R., and W.M. Watt. Introduction to the Quran. Edinburgh, 1977, hal 94-95 [19] Dashti, Ali. Twenty-Three Years: A Study of the Prophetic Career of Mohammed. London, 1985, hal 98
[20] Dictionary of Islam. Quran, hal 520
[21] Margoliouth, D.S. Mohammed and the Rise of Islam. London, 1905. hal 139
[22] Dashti, Ali. Twenty-Three Years: A Study of the Prophetic Career of Mohammed. London, 1985, hal 155
[23] Gore Vidal dalam New Statesman Society, 26 Juni 1992, hal 12
[24] Artikel Politeisme dalam Enxyclopaedia of Religion
[25] Hume, David. The Natural History of Religion. Oxford, 1976. hal 56. [26] Dictionary of Islam, Genii, hal.134
[27] Goldziher, Ignaz. Muslim Studies. 2 vol. terjemahan C.R. Barber dan S.M. Stern. London, 1967-71. hal.259
[28] Bell, R., and W.M. Watt. Introduction to the Quran. Edinburgh, 1977, hal 122
[29] Hume, David. Dialogues Concerning Natural Religion. Oxford, 1976. hal.192-193, part 5
[30] Ibid., hal.203, Part 7.
[31] Lewis, Bernard. Race and Slavery in the Middle East. New York, 1990. hal.175 [32] Schopenhauer, Arthur. Parerga and Paralipomena. 2 vols. Terjemahan dari E.F.J. Payne. Oxford, 1974. vol.2, hal.356-59
[33] Hume, David. [1] The Natural History of Religion. Oxford, 1976. hal.59 [34] Crone, P. Meccan Trade and the Rise of Islam. Oxford, 1987. hal. 234-45 [35] Margoliouth, D.S. Mohammed and the Rise of Islam. London, 1905. hal.149

Kamis, 25 Maret 2010

Kyai Cabuli Santri di Bawah Umur

Imam Wahyudiyanta - detikSurabaya, Rabu, 24/03/2010 14:08 WIB
Surabaya - Kasus dugaan pencabulan yang dilakukan pendiri Ponpes Nurul Hidayah Jalan Gadel Timur, M. Shodiqin alias Imbar Mulyono (60) terbongkar karena korban, Wulan (11) melapor ke guru MI Miftahul Huda, Adib. Adib pun melapor ke bapak korban, Alfan.

"Awalnya korban cerita ke temannya. Temannya kemudian cerita ke saya. Lalu saya bertanya sendiri ke korban," ujar Adib kepada wartawan di rumahnya Jalan Gadel Sari Timur, Rabu (24/3/2010).

Saat bercerita, kata Adib, korban terlihat tertekan. Meski begitu korban bisa lancar menceritakan kasus yang dialami. Korban mengaku kejadian itu berawal saat dirinya dipanggil oleh pelaku ke sebuah rumahnya di Jalan Gadel Praja. Setelah itu korban diajak masuk ke kamar.

Di dalam kamar, korban disuruh tidur dan melepaskan celananya serta disuruh berbaring. Korban kemudian diciumi dan disetubuhi. "Kulo dikelamuti dan ditumpaki (Saya dijilati dan ditindih)," ujar Adib menirukan omongan Wulan yang saat bercerita sambil menangis.

Bahkan secara detail korban mengaku bahwa saat disetubuhi pertama kali tidak terlalu sakit pada bagian kemaluannya. Namun pada kejadian yang kelima korban mengaku sakit karena 'barangnya' sudah masuk semua. Korban juga terkadang disuruh duduk di atas dan tidur di bawah.

Korban mengaku jika sudah disetubuhi berkali-kali. Persetubuhan pertama dilakukan saat akan naik ke kelas VI. Biasanya persetubuhan itu dilakukan menjelang maghrib usai korban pulang sekolah dan selepas shubuh serta korban sebelum tidur.

"Seminggu biasanya Imbar meminta jatah hingga 3 kali," tambah Adib.

Sebenarnya, kata Adib, korban ingin berontak namun hanya disimpan dalam hati saja. Korban takut dengan kyainya tersebut. (fat/fat)

Rabu, 24 Maret 2010

Konsep Muslim tentang Tuhan

Kemahakuasaan Tuhan disebutkan dibanyak ayat Quran; Kehendak manusia total ditempatkan dibawah kehendak Tuhan yang berkembang menjadi pemikiran bahwa manusia tidak punya kehendak sendiri. Bahkan mereka yang tidak percaya Tuhanpun menjadi begitu karena Tuhanlah yang ingin membuat mereka tidak percaya. Ini berujung pada doktrin takdir dari Muslim yang mengalahkan doktrin ‘free will’-nya manusia, dalam konsep Kristen. Dalam Quran juga ditemukan, seperti Macdonald[36] nyatakan:

“Pernyataan-pernyataan kontradiksi dari Quran mengenai ‘free-will’ (Kehendak Bebas) dan Takdir menunjukkan bahwa Muhammad adalah seorang pengkhotbah dan politisi oportunis, bukannya seorang teolog yang sistematis.” “Takdir, atau kehendak mutlak akan baik dan jahat adalah pilar ke-6 dari dalilnya Muhammad, dan kaum ortodoks percaya apapun itu, apapun yang terjadi didunia ini, baik atau buruk, berlangsung sepenuhnya atas kehendak Yang Maha Kuasa, itu telah pasti, tidak bisa diubah-ubah lagi, dan tercatat dalam ‘buku’ surga yang ditulis memakai tinta nasib.”

Beberapa kutipan dari Quran menggambarkan doktrin ini:
[54.49] Sesungguhnya Kami menciptakan segala sesuatu menurut ukuran.
[3.145] Sesuatu yang bernyawa tidak akan mati melainkan dengan izin Auwloh, sebagai ketetapan yang telah ditentukan waktunya.
[87.2] yang menciptakan dan menyempurnakan (penciptaan-Nya), [87.3] dan yang menentukan kadar (masing-masing) dan memberi petunjuk,
[8.17] Maka (yang sebenarnya) bukan kamu yang membunuh mereka, akan tetapi Auwloh-lah yang membunuh mereka, dan bukan kamu yang melempar ketika kamu melempar, tetapi Auwloh-lah yang melempar.

[9.51] Katakanlah: "Sekali-kali tidak akan menimpa kami melainkan apa yang telah ditetapkan oleh Auwloh bagi kami.
[13.31] Sebenarnya segala itu adalah kepunyaan Auwloh. Maka tidakkah orang-orang yang beriman itu mengetahui bahwa seandainya Auwloh menghendaki (semua manusia beriman), tentu Auwloh memberi petunjuk kepada manusia semuanya.
[14.4] Maka Auwloh menyesatkan siapa yang Dia kehendaki, dan memberi petunjuk kepada siapa yang Dia kehendaki.
[18.101] yaitu orang-orang yang matanya dalam keadaan tertutup dari memperhatikan tanda-tanda kebesaran-Ku, dan adalah mereka tidak sanggup mendengar.
[11.119] Kecuali orang-orang yang diberi rahmat oleh Tuhanmu. Dan untuk itulah Auwloh menciptakan mereka. Kalimat Tuhanmu (keputusan-Nya) telah ditetapkan: sesungguhnya Aku akan memenuhi Neraka Jahanam dengan jin dan manusia (yang durhaka) semuanya.
[45.26] Katakanlah: "Auwloh-lah yang menghidupkan kamu kemudian mematikan kamu, setelah itu mengumpulkan kamu pada hari kiamat yang tidak ada keraguan padanya;
[57.22] Tiada suatu bencanapun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (Lohmahfuz) sebelum Kami menciptakannya.
Tapi ada beberapa ayat dari Quran yang kelihatannya memberi manusia semacam ‘free-will’:
[41.17] Dan adapun kaum Tsamud maka mereka telah Kami beri petunjuk tetapi mereka lebih menyukai buta (kesesatan) dari petunjuk itu, maka mereka disambar petir azab yang menghinakan disebabkan apa yang telah mereka kerjakan.

18.29] Dan katakanlah: "Kebenaran itu datangnya dari Tuhanmu; maka barangsiapa yang ingin (beriman) hendaklah ia beriman, dan barang siapa yang ingin (kafir) biarlah ia kafir".
Tapi seperti Wensinck[37] nyatakan dalam karya klasiknya The Muslim Creed, dalam Islam takdirlah yang mendominasi sepenuhnya. Tidak ada satu hadispun yang menerangkan mengenai ‘free-will’, dan kita punya bukti-bukti lain dari pernyataan John of Damascus, orang yang hidup dipertengahan abad 8 M. dan seorang yang sangat mengenal Islam dari dekat secara langsung. “Menurut dia perbedaan tentang takdir dan free will menjadi satu Titik Pusat perbedaan antara Kristen dan islam.” Terbukti di penghujung hidup Muhammad, posisinya akan kepercayaan takdir itu makin menguat; dan “sikap para muslim awal akan subjek ini adalah mutlak.”

Sebelum berkomentar tentang doktrin takdir, saya harus menelaah dulu konsep Quran akan neraka. Beberapa kata dipakai dalam Quran untuk menerangkan tempat Penyiksaan, yang sepertinya dengan senang hati telah disiapkan dan selalu disebut-sebut oleh Auwloh. Kata “Jahanam” muncul sedikitnya 30 kali, jahanam ini adalah neraka bagi semua muslim untuk menyucikan dosanya. Menurut Quran, semua muslim akan masuk neraka: (surah 19.71) “Dan tidak ada seorang pun dari padamu, melainkan mendatangi neraka itu. Hal itu bagi Tuhanmu adalah suatu kemestian yang sudah ditetapkan.” Kata “al-nar” yang artinya api muncul beberapa kali. Istilah lain dari neraka atau api neraka adalah: Laza (nyala api): [88.4] “memasuki api yang sangat panas (neraka)” Al-Hutamah (penghancur) : [104.4] “sekali-kali tidak! Sesungguhnya dia benar-benar akan dilemparkan ke dalam Huthamah. Dan tahukah kamu apa Huthamah itu? (yaitu) api (yang disediakan) Auwloh yang dinyalakan, yang (membakar) sampai ke hati.” Sair (nyala api) : Mereka yang mengambil harta milik anak yatim secara tidak adil, akan dimasukkan kedalam nyala api dan dipanggang dalam nyala api. (ancaman melanggar hukum waris 4.11) Saqar: [54.47] “Sesungguhnya orang-orang yang berdosa berada dalam kesesatan (di dunia) dan dalam neraka.” Al-Jahim (tempat Panas) dan Hawiyah juga muncul di surah 2 dan 101. Muhammad benar-benar meliarkan imajinasi terbatasnya ketika menjelaskan hal mengerikan dan siksaan neraka secara terperinci: air mendidih, luka bernanah, kulit yang dikupas, daging terbakar, isi perut yang terhambur dan tengkorak yang dihancurkan memakai gada besi. Dan ayat demi ayat, surah demi surah, kita diberitahu tentang api, selalu tentang api yang menyala-nyala membakar, api abadi. Dari surah 9.69 jelas bahwa orang-orang tidak percaya (kafir) akan dipanggang selama-lamanya.

Apa yang bisa kita simpulkan dari nilai-nilai sistem demikian? Mill[38] menyatakan, suatu hal yang sungguh-sungguh jijik dan jahat untuk berpikiran bahwa Tuhan sengaja menciptakan manusia utk mengisi neraka, manusia yang dalam hal apapun tidak bisa dianggap bertanggung jawab atas tindakan-tindakannya karena Tuhan sendiri yang memilihkan jalan bagi mereka untuk sesat: “diakuinya sebuah objek penyembahan sebagai sebuah pencipta neraka, yang membuat banyak generasi-generasi manusia hidup dengan kepastian bahwa mereka diciptakan untuk mengisi neraka… Konsep-konsep lain, mulai dari maha adil dan maha pengampun yang ada dalam konsep KeKristenan tentang moral Tuhan menjadi tak berarti jika disandingkan dengan idealisasi jahat ini.” Tentu saja, kata-kata Mill ini menerapkan pengubahan dalam konsep muslim juga atau pada tuhan mana saja yang berkonsepkan takdir yang sama.

Kita tidak bisa menyebut sistem demikian sebagai sebuah sistem yang etis. Pusat dari semua sistem valid yang etis adalah adanya tanggung jawab moral, moral yang bisa secara sah dianggap bertanggung jawab akan tindakan-tindakannya; yang mampu berpikir rasional, yang mampu mempertimbangkan, menunjukkan kesengajaan, mampu memilih dan, dalam beberapa hal, bebas untuk memilih. Dalam sistem takdirnya Quran, “manusia” tidak lebih dari sebuah robot yang diciptakan oleh Tuhan, Tuhan, yang punya sifat tak bisa ditebak tindakannya karena berubah-ubah, memuaskan dirinya dengan menonton ciptaannya dibakar di neraka. Kita tidak bisa disalahkan atau dibenarkan begitu saja dalam sistem Quran ini; manusia tidak bertanggung jawab atas tindakantindakannya, dengan demikian akan sangat absurd untuk menghukum dengan cara sadis seperti yang disebutkan dalam surah-surah Quran.

Bousquet[39] memulai karya klasiknya, yang menuliskan pendapat islam mengenai sex, dengan pernyataan blak-blakan: “Tidak ada etika dalam Islam.” Muslim diperintahkan begitu saja untuk patuh akan kehendak Auwloh, kehendak yang tak dapat diduga: Baik dan Jahat ditentukan oleh Quran, dan kemudian, hukum Islam menetapkan apa yang boleh dan apa yang dilarang. Pertanyaan yang diajukan Socrates dalam Euthyphro, “Yang suci itu lalu dicintai Tuhan karena kesuciannya, atau menjadi suci karena dicintai oleh Tuhan?” menerima jawaban yang sangat pasti dari muslim ortodoks: “sesuatu itu baik jika Tuhan menghendakinya sebagai baik.” Tapi Plato menganggap ini bukan jawaban yang memuaskan. Mackie[40] menyatakannya demikian (n.d., hal 256): “Jika nilai-nilai moral dibentuk sepenuhnya oleh perintah-perintah surgawi hingga kebaikan hanya terdiri atas kehendak Tuhan belaka, maka kita tidak akan bisa mengerti klaim para Teisme bahwa Tuhan itu baik, bahwa dia mencari kebaikan dalam setiap penciptaannya.” Dalam karya awalnya (1977, hal 230), Mackie[41] mengamati bahwa pendapat muslim punya konsekwensinya:

Deskripsi tentang ‘Tuhan itu Baik’ akan mengalami penurunan terhadap pernyataan sepele yang menyatakan bahwa Tuhan mencintai DiriNya sendiri atau Tuhan suka Dirinya apa adaNya. Ini juga rasanya seperti menuntut bahwa kepatuhan akan aturan-aturan moral semata- mata hanya berupa tindakan untuk berhati-hati belaka meski cocok terhadap tuntutan sewenang-wenang dari tiran yang berubah-ubah pikiran itu. Sadar akan ini banyak pemikir religius memilih alternatif pertama (yakni “orang saleh atau suci dicintai tuhan karena kesuciannya”). Tapi ini juga mengandung konsekwensi yang sama bahwa perbedaan moral tidaklah tergantung pada Tuhan,… dengan demikian etika itu bersifat otonomi dan dapat dipelajari serta didiskusikan tanpa mengacu pada referensi kepercayaan religius, bahwa kita bisa sungguh-sungguh menutup batas teologi dari etika.

Layak utk ditegaskan kemandirian logis nilai-nilai moral dari sistem teistik manapun. Russel[42] memformulasikan pendapat ini sebagai berikut:
Jika anda yakin ada perbedaan antara benar dan salah, maka anda ada dalam situasi ini: apakah perbedaan itu disebabkan oleh otorisasi Tuhan atau bukan? Jika ya, maka bagi Tuhan sendiri tidak ada perbedaan antara benar dan salah, dan tidak lagi berarti menyatakan bahwa Tuhan itu Baik. Jika anda mengatakan, seperti para teolog lakukan, bahwa Tuhan itu Baik, maka anda harus mengatakan bahwa benar dan salah punya arti yang mandiri/terbebas dari otorisasi Tuhan, karena otorisasi Tuhan adalah baik dan bukan jelek karena semata- mata Tuhan yang menciptakannya. Jika anda bilang demikian, maka anda harus berkata bahwa bukan hanya melalui tuhan, benar dan salah itu mewujud tapi karena semua itu secara logis ada dalam intisari yang lebih dahulu ada pada Tuhan. (n.d., hal 19).

Kita tidak bisa lepas dari tanggung jawab moral kita yang dihasilkan dari pengertian akan ketidak tergantungan moral kita tersebut. Tidak juga kita bisa menghormati konsep neraka sebagai hal yang terpuji secara etika. Semuanya kecuali dua surah (fatihah dan surah 9) memberitahu kita bahwa Tuhan itu pemurah dan penyayang, tapi dapatkah Tuhan yang sungguh-sungguh pemurah memasukan orang ke neraka atau disiksa selamanya hanya karena tidak percaya padaNya? Seperti kata Russel, “Sungguh saya tidak bisa berpikir bahwa seseorang yang bersifat Maha Baik akan menaruh rasa takut dan teror macam itu pada dunia.”

Antony Flew[43] berkata bahwa ada banyak sekali perbedaan antara ‘ketersinggungan terbatas’ dan ‘hukuman tak terbatas’. Doktrin Quran akan neraka sungguh-sungguh siksaan barbar dan kejam, sangsi yg benar-benar sadis. Ini berarti Islam didasarkan atas rasa takut, yang merusak moralitas sejati. ("Peringatkanlah olehmu sekalian, bahwasanya tidak ada Tuhan (yang hak) melainkan Aku, maka hendaklah kamu bertakwa kepada-Ku". Dengan kata lain Takutlah kepadaKu, Surah 16.2). Seperti kata Gibb, “Orang harus hidup terus menerus dalam rasa takut dan terpesona pada Tuhan, selalu berjaga-jaga dan waspada terhadapNya – ini adalah arti idiomatis dari istilah “takut akan Tuhan” yang terus didengungkan Quran dari halaman pertama hingga akhir” (1953, hal.3#).[44] Bukannya bertindak berdasarkan kewajiban bagi sesama manusia, atau berdasarkan kemurahan hati atau perasaan empati dan/atau simpati, dalam Islam kita berbuat karena rasa takut, kita berbuat agar terhindar dari hukuman Yang Maha Kuasa dan, egoisnya, utk mendapat pahala dari Tuhan dalam hidup yang sekarang dan yang berikutnya. Mackie[45] (hal.256) berpendapat dengan tepat bahwa:
Pendapat akan perintah Tuhan demikian juga bisa mendorong orang untuk menerima syarat moral yang tidak ada hubungannya sama sekali dengan tujuan keberadaan umat manusia atau dengan makhluk- makhluk lainnya. Pendapat ini akan menghasilkan sebuah moralitas tirani dan tidak rasional. Tentu saja, jika hanya ada tuhan yang penuh kebaikan dan juga ada wahyu yang dapat diandalkan darinya, maka kita mungkin mampu mendapatkan darinya saran-saran moral yang hebat mengenai masalah-masalah yang sulit, hal-hal yang tidak bisa kita temukan solusi paling baiknya. Tapi tidak ada wahyu-wahyu yang demikian itu. Bahkan seorang Teisme harus mengakui bahwa wahyu- wahyu itu menolak dirinya (wahyu) itu sendiri dengan mengabadikan aturan-turan bahwa kita harus menolak dengan tuduhan sempit, kuno atau barbar. Seperti Hans Kung katakan, “Kita bertanggung jawab atas moralitas kita.” Secara lebih umum, mengaitkan moralitas pada kepercayaan religius besar kemungkinan akan menjatuhkan nilai- nilainya, bukan saja dengan merendahkan nilai-nilai itu secara sementara jika kepercayaannya memudar, tapi juga dengan menempatkannya lebih rendah dibanding kekhawatiran- kekhawatiran lain ketika kepercayaan itu bertahan.

Kelemahan Tuhan
Kita diberitahu bahwa Tuhan itu Maha Kuasa, Maha Hadir dan Maha Baik; tapi Dia bertingkah seperti seorang tiran pemarah, tak mampu mengontrol sifat keras kepala akan subjeknya. Dia pemarah, berbangga diri, pencemburu: semua kekurangan/kelemahan moral herannya ada dalam makhluk Maha Sempurna. Jika Dia Merasa Cukup, kenapa butuh umat manusia? Jika dia itu Maha Kuasa, kenapa butuh pertolongan manusia utk menyembahnya? Diatas itu semua, kenapa Dia memilih seorang pedagang Arab yang tak jelas keturunannya, yang hidup dalam budaya terbelakang, sebagai Utusan Terakhirnya di bumi? Apakah konsisten bahwa moral Dzat Maha Tinggi butuh untuk dipuji dan penyembahan dari makhluk-makhluk yang Dia sendiri ciptakan? Kita sebut apa orang yang mencipta makhluk lain yang dia program untuk nungging-nungging ditanah lima kali sehari menyembah dirinya? Hasrat obsesif untuk disembah ini bukanlah sebuah kebaikan moral dan pastinya tidak pantas menjadi sifat sebuah Dzat Maha Tinggi. Palgrave[46] (Dictionary Of Islam, hal 147) memberikan penjelasan yang hidup tapi adil tentang Tuhannya Quran:
Tuhan itu satu dan Maha Kuasa serta Maha Ada, tidak batasan aturan, standar atau batasan apapun, kecuali kehendak Dia yang mutlak dan satu-satunya. Dia tidak mengkomunikasikan apapun pada makhlukNya, karena kuasa dan tindakannya punya Dia sendiri, dan sebaliknya Dia tidak menerima apapun dari mereka; karena mereka ada dalam Dia, oleh Dia dan dari Dia saja (Surah 8.17) Dan yang kedua, tidak ada superioritas, tidak ada perbedaan, tidak ada keunggulan yang boleh diakui oleh satu makhluk atas makhluk lainnya, dalam kesamaan, mereka semua menjadi alat dari satu kekuatan yang memakai mereka untuk menghancurkan atau menguntungkan, untuk kebenaran atau kesalahan, utk menghargai atau menghina, untuk kebahagiaan atau kesengsaraan, mandiri dari individualitas atau keuntungan dan ini semua ada hanya karena dia “Menghendakinya,” dan “sepanjang dia Menghendaki”.

Orang mungkin pertamanya berpikir bahwa Otokrat maha hebat ini, Kekuatan tanpa kontrol dan simpati ini, akan jauh berada diatas hal- hal seperti nafsu, hasrat atau keberpihakan. Tapi ternyata tidak begitu karena Dia punya satu perasaan dan tindakan utama yang bernama rasa cemburu akan tuhan, Ia takut jangan-jangan mereka nanti menerapkan sifat-sifat yang harusnya hanya milik Dia saja pada tuhan lain. Dengan demikian lebih mudah bagi dia untuk menghukum daripada memberi pahala, utk memberi rasa sakit daripada rasa nikmat, untuk merusak daripada membangun. Kepuasan tunggal yang membiarkan makhluk ciptaannya terus menerus merasa bahwa mereka tidak lain hanya budak-budakNya, alat-alatNya hingga mereka lebih mengakui superioritasNya, dan tahu KekuasaanNya jauh diatas kekuatan mereka yang lain, kelicikanNya jauh diatas kelicikan mereka, KehendakNya ada diatas kehendak mereka, rasa banggaNya diatas rasa bangga mereka; dengan kata lain tidak ada Kekuasaan; kelicikan, kehendak atau kebanggaan, kecuali milikNya. (Untuk kebanggaan lihat surah 59; Auwloh sebaik-baik pembalas tipu daya, 3.47; 8.30).

“Tapi Dia Sendiri, didalam ketinggianNya, tidak mencinta ataupun menikmati apapun kecuali milikNya, tak mempunyai anak, sahabat atau penasehat, tidak lebih kering daripada makhlukNya, dan kegersangan serta kesendirian ego dalam diriNya adalah penyebab dan pengatur dari keberbedaanNya tanpa memandang kelaliman sekitarnya.” Nada awal adalah kunci keseluruhan lagu, dan nada awal Tuhan mengalir dan mengubah keseluruhan sistem dan dalil yang berpusat dalam diriNya.

Gagasan yang diberikan tentang Tuhan, mungkin kedengaran dahsyat atau bisa jadi menghujat, adalah persis dan klop dengan yang Quran nyatakan atau yang Quran ingin sampaikan. Tapi memang demikianlah adanya hingga tak seorangpun yang secara teliti dan penuh perhatian membaca serta memikirkan teks-teks arabicnya dapat ragu. Malah setiap frase dari kalimat-kalimat, setiap sentuhan dalam gambaran- gambaran menjijikan, telah disarikan dengan sepenuh kemampuan saya, kata demi kata, arti demi arti, dari “Sang Kitab”, cermin sejati dari benak dan pendapat penulisnya.

Dan begitulah kenyataan yang ada dalam benak dan ide penulisnya, Muhammad, hal ini sepenuhnya dipastikan oleh lidah para saksi yang menyatakan hadis-hadisnya. Untuk ini kita punya banyak contoh otentik.. sebuah perulangan yang telah saya derita berkali-kali dalam mempelajari Wahhabi di Nejd.

“Jadi, ketika Tuhan…memutuskan untuk menciptakan ras manusia, Dia mengambil segenggam tanah, darimana semua manusia dibentuk, dan kemana mereka pergi setelah musnah; lalu membagi gumpalan tanah itu menjadi dua bagian yang sama, dia lempar yang sebagian keneraka sambil berkata, “Ini utk api neraka abadi, dan aku tak peduli’, dan merangcang yang sebagian lagi untuk penambahan penghuni surga, ‘dan ini untuk surga, aku juga tak peduli’” (Mishkatu’l- Masabih Babu’l Qadr).

Dari sini kita mendapatkan ide takdir (predestination) yang cukup, atau yang lebih tepat dinamai kutukan (predamnation) bukannya takdir, yang dipegang dan diajarkan disekolah (pesantren) Quran. Surga dan neraka sama sekali terlepas dari rasa cinta dan kebencian Tuhan, bebas dari jasa atau cela, tindakan baik dan jahat, dari makhluknya; dan dalam teori yang berkaitan karena tindakan-tindakan yang kita sebut baik atau jahat, benar atau salah, licik atau luhur, pada hakekatnya semua adalah satu, juga jasa ataupun pujian ataupun kesalahan, hukuman ataupun pahala, diputuskan oleh kehendak sang maha lalim yang memilih, mengangkat atau menjatuhan semua itu. Dengan kata lain, Dia bisa membakar satu individu sepanjang masa dirantai panas dan lautan api membara, sementara menempatkan individu lain dalam kenikmatan abadi dari rumah pelacuran dengan 72 bidadari. Semuanya itu dianggapnya adil dan sama rata demi kenikmatanNya semata dan yang terutama adalah karena Dia menghendakinya.

Manusia dengan demikian berada dalam satu level yang sama, di dunia sekarang maupun berikutnya, secara fisik, sosial dan moral – yaitu level budak/hamba bagi satu Tuan saja, alat bagi satu agen universal.

Dan Muhammad UtusanNya
Setiap agama dan bangsa menetapkan pengakuan telah membawa misi khusus dari Tuhan, mengkomunikasikannya pada individu-individu tertentu. Yahudi punya Musa; Kristen punya Yesus Kristus, para rasul dan orang-orang sucinya; dan orang Arab punya Muhammad, seakan jalan pada Tuhan tidak terbuka sama bagi setiap orang. Masing-masing membawa kitabnya sendiri-sendiri, yang mereka sebut sebagai wahyu, atau perkataan Tuhan. Orang Yahudi bilang wahyu Tuhan mereka diberikan pada Musa, secara langsung, muka bertemu muka (bukan fice to fice tapi face to face); orang Kristen bilang Wahyu mereka berasal dari tulisan yang diilhami Tuhan; dan orang Arab bilang wahyu mereka (Quran) adalah perkataan Tuhan langsung yang dibawa oleh Malaikat surga. Masing-masing menuduh yang lain ‘kafir/orang tidak percaya’; bagi aku sendiri, aku tidak percaya semuanya. - Thomas Paine, The Age of Reason.[47]

Auwloh memilih Muhammad sebagai utusan bagi seluruh umat manusia. Muhammad berbicara pada malaikat Jibril, yang secara berkala menurunkan pesan-pesan Tuhan. Bagaimana Muhammad bisa tahu bahwa dia benar-benar melihat malaikat? Darimana dia tahu pengalaman khusus ini adalah perwujudan dari malaikat? Meski misalnya kita akui kejujuran Muhammad, bukankah bisa saja dia telah salah duga? Kebanyakan orang yang mengaku punya akses pada Tuhan dijaman sekarang ini dianggap orang gila. Darimana kita tahu bahwa dalam kasus Muhammad ini dia benar-benar melihat malaikat sungguhan yang benar-benar membawa pesan-pesan dari tuhan? Seperti Paine[48] katakan (n.d., hal 52):

Tapi misalkan kita akui dulu bahwa sesuatu telah diberikan pada orang tertentu dan tidak diberikan pada orang-orang lain, sesuatu itu wahyu dan diberikan hanya pada orang itu saja. Ketika dia mengatakannya pada orang kedua, orang kedua mengatakan pada orang ketiga, ketiga ke orang keempat dan seterusnya, maka sesuatu itu bukan lagi menjadi wahyu bagi semua orang itu. Sesuatu itu berupa wahyu bagi orang pertama saja, dan menjadi cerita belaka bagi orang-orang lainnya, dan karenanya mereka tidak wajib untuk percaya.

Ini kontradiksi istilah dan ide jika menyebut sesuatu itu sebagai wahyu meski sampai pada kita dari tangan kedua, baik secara verbal maupun tertulis. Wahyu perlu dibatasi untuk komunikasi pertama saja - setelah itu hanya disebut sebagai sebuah cerita yang orang itu katakan bahwa sebuah wahyu diturunkan padanya; dan meski dia merasa wajib untuk percaya, bagi saya tidak wajib; karena wahyu itu bukan khusus dan langsung buat saya, dan saya hanya mendengar perkataan dia saja bahwa itu diturunkan padanya. Ketika Musa bilang pada anak2 israel bahwa dia menerima dua tablet Perintah dari tangan Tuhan, mereka tidak wajib percaya padanya, karena mereka tidak punya otoritas lain untuk itu selain dari perkataan Musa belaka; dan saya juga tidak punya otoritas utk itu selain dari beberapa sejarawan yang mengatakannya pada saya. Perintah-perintah itu tidak membawa bukti internal keilahian didalamnya; perintah itu hanya membawa aturan moral yang baik, seperti seseorang, penguasa atau pembuat undang-undang, bisa juga membuatnya, tanpa harus mengatakan bahwa ada campur tangan supernatural didalamnya.

Ketika saya diberitahu bahwa Quran ditulis disurga dan dibawa kepada Muhammad oleh malaikat, ini sampai pada saya dalam bentuk cerita, kata orang, bukti-bukti dan otoritas tangan orang lain saja. Saya tidak melihat sendiri si malaikat itu, dan dengan demikian, saya punya hak untuk tidak percaya.

Melihat teorinya Wansbrough, Crone dan Cook (bahwa Islam muncul belakangan sesudah pemikiran-pemikiran yang ada hingga saat ini, Islam muncul dibawah pengaruh Yudaisme dan menyebut Musa sebagai sebuah contoh nabi yg diberi wahyu, menciptakan Muhammad sebagai nabi orang Arab dengan wahyu yang persis sama), penyejajaran dan pemilihan dari Paine mengenai dua contoh Musa dan Muhammad rasanya sangat tepat.

Lagipula, seperti kata Paine, wahyu-wahyu yang belakangan ditulis dalam Quran tidaklah membawa bukti-bukti internal keilahian didalamnya. Malah sebaliknya, Quran berisi banyak sekali – terlalu banyak – hal-hal yang sama sekali tidak pantas dikatakan oleh Tuhan. Dengan dasar apa kita menentukan itu? Quran mengaku mendapat otoritas ilahi atas tulisan-tulisannya. Pada akhirnya, kita hanya dapat berkata bahwa tidak ada wahyu khusus yang kredensialnya bisa diandalkan.[49]

Aneh sekali bahwa ketika Tuhan memutuskan untuk mewujudkan DiriNya, dia melakukannya hanya pada satu orang saja. Kenapa Dia tidak bisa muncul pada banyak orang dalam sebuah stadion sepakbola ketika Final Piala Dunia berlangsung misalnya, ketika milyaran orang diseluruh dunia menonton?

Tapi, seperti Patricia Crone bilang, “ini kebiasaan aneh Tuhan, ketika dia pingin menampakan diri pada manusia, dia hanya berkomunikasi pada satu orang saja. Umat manusia lainnya harus belajar ‘kebenaran’ dari orang tersebut dan dengan demikian membeli pengetahuan keilahian tersebut dengan harga mahal, harga yang dia bayar adalah menempatkan dirinya lebih rendah dari orang tersebut, yang pada akhirnya orang tersebut digantikan oleh sebuah institusi, hingga keilahian tetap berada dibawah kontrol orang-orang atau manusia-manusia tertentu atau institusi-institusi.” (TLS, 21 jan 1994, hal 12).

Abraham, Ismail, Musa, Nuh, dan nabi-nabi lain
Kita diberitahu bahwa Abraham lahir di Chaldea dan dia anak seorang pembuat tembikar yang miskin, yang mencari nafkah dengan membuat patung tanah liat. Sulit untuk dipercaya anak miskin seperti ini bisa bepergian ke Mekah, 300 leagu (1 leagu=3 mil=4.8 kilometer, jadi 1.440 km) jauhnya pada cuaca panas menyengat, lewat gurun pasir. Jika dia benar seorang penakluk atau penjelajah maka kemungkinan besar dia akan pergi ke negara-negara makmur di Assyria; jika dia cuma orang miskin, seperti yang dituliskan sejarah, dia tidak akan menemukan kerajaan-kerajaan ditanah asing itu. -Voltaire.[50]

Bagi sejarawan, orang Arab bukanlah keturunan Ismail, anak dari Abraham, sama bohongnya seperti Orang Perancis yang bukan keturunan Francus, anak dari Hector. -Maxime Rodinson.[51]

Sudah pasti bahwa Abraham tidak pernah menginjakkan kaki di Mekah -Montgomery Watt.[52]
Poin pentingnya adalah, dimana fakta objektif telah ditetapkan oleh metoda-metoda sejarah yang baik, maka itulah yang harus diterima. -Montgomery Watt.[53]

Menurut hadis, Abraham dan Ismail yang membangun Kabah, bangunan kotak di mesjid suci Mekah. Tapi diluar riwayatan ini sama sekali tidak ada bukti – baik itu berupa epigrafik, arkeologis atau dokumen. Snouck Hurgronje telah menunjukkan bahwa Muhammad mengarang kisah itu untuk memberikan agamanya sumber dan setting kearab-araban; dengan improvisasi ini Muhammad juga menetapkan kemandirian agamanya sekaligus menempelkan Kabah kedalam Islam berikut segala hubungan sejarah dan religius karangannya untuk orang Arab.

Melihat jumlah materi yang ada dalam Quran yang dicomot dari Pentateuch – Musa: ada 502 ayat dalam 36 surah; Abraham: 245 ayat dalam 25 surah; Nuh: 131 ayat dalam 28 surah – sungguh mengagetkan kita bahwa kritik-kritik yang diterapkan pada bible ternyata tidak punya pengaruh terhadap studi-studi Quran. Para muslim seperti juga Yahudi dan Kristen berpegangan bahwa Pentateuch ditulis oleh Musa. Dalam Quran, Pentateuch disebut sebagai Taurat (Kata yang berasal dari bahasa ibrani Torah).

Para scholar telah lama ragu akan ketelitian sejarah kisah-kisah Bible, dan Islam tidak dapat lepas dari konsekwensi yang sama dalam penemuan dan kesimpulan mereka. Sejak abad 17, La Peyrere, Spinoza dan Hobbes telah berdebat bahwa Pentateuch tidaklah mungkin ditulis oleh Musa: “Dari apa yang telah diceritakan, jelas sejelas matahari bahwa Pentateuch tidak ditulis oleh Musa, tapi oleh seseorang yang hidup jauh setelah musa,” Spinoza menyimpulkan dalam A Theologico- Political Treatise.[54]

Lalu di abad 19 kritik lain yang lebih tajam seperti kritikan Graf dan Wellhausen menunjukkan bahwa Pentateuch (Kitab Kejadian, Keluaran, Imamat, Bilangan dan Ulangan) adalah karya gabungan, dimana didalamnya bisa dipisahkan karya empat ‘penulis’ yang berbeda., yang biasanya disebut dengan empat huruf: J, E, D dan P.

Robin Lane Fox[55] menyatakan:
Dalam Bible empat sumber awal digabung oleh orang kelima, seorang penulis tak dikenal yang menggabungkan keempatnya pada tahun antara 520 SM sampai 400 SM, dalam pendapat saya, lebih dekat pada tahun 400 SM. Ketika dia menggabungkan sumber-sumber ini, dia mencoba menyelamatkan isinya dan memasukkan kalimat-kalimat yang baik-baiknya saja (dan juga tentang penciptaan). Dia ini seorang sub-editor alami.. dalam pendapat saya, dia bukanlah seorang sejarawan tapi pasti dia kaget jika mendengar orang bilang tak satupun dalam karya penggabungannya itu benar. Kemungkinan isinya benar secara sejarah sangatlah kecil karena tak satupun dari sumber- sumber itu ditulis berdasarkan bukti-bukti kuat atau bukti-bukti tulisan sejaman atau seabad atau setidaknya dalam milenium yang sama dengan cerita tersebut. Bagaimana bisa tradisi mulut ke mulut memelihara rincian yang sedemikian baik lewat waktu sepanjang itu?.. Mengenai “raksasa di bumi,” yaitu Menara Babel atau eksploitasi dari Yakub atau Abraham, tidak ada alasan kuat utk percaya satupun tentang hal itu: Kisah paling detil dalam Kitab Kejadian adalah kisahnya Yusuf, kisah yang luar biasa, dijalin dari dua sumber yang berbeda, dimana keduanya tidak juga bersandar pada kebenaran sejarah.

Torah tidaklah ditulis oleh atau “diturunkan” pada Musa, dan tidak ada alasan kuat untuk percaya bahwa cerita Abraham dan lainnya itu benar. Pastinya tidak ada sejarawan yang bermimpi utk memakai sumber- sumber muslim guna memverifikasi sejarah tentang Bible ini; cerita versi muslim tentang Abraham, Musa dan yang lainnya, seperti kita pelajari sebelumnya, diambil dari tulisan-tulisan rabi Yahudi atau tidak lebih dari sekedar legenda belaka (dibangunnya Kabah dan lain-lain) yang, kacaunya lagi, diciptakan beberapa ribu tahun setelah kejadian- kejadian yang ‘katanya’ terjadi menurut mereka itu.

Sejarawan malah bertindak lebih jauh lagi. Mereka mengatakan ada kepastian bahwa Abraham tidak pernah ada: “Tradisi-tradisi versi J mengenai perjalanan Abraham sangatlah tidak tepat secara karakter sejarah. Jika dilihat dari sudut tema mengenai hamba Yahweh yg patuh yang suka berkelana ini memberikan struktur banyak kisah-kisah yang tidak saling berhubungan dalam tulisan-tulisannya J. ini adalah sebuah alat editorial yang digunakan untuk menyatukan banyak perbedaan dalam kisah-kisah Abraham dan Lot” (Thompson 1974). Thompson lalu menyatakan (hal.328):
Bukan saja arkeologi tidak membuktikan satupun kejadian dalam kisah patriarc ini sebagai sejarah tapi juga tidak menunjukkan kisah manapun benar. Berdasarkan apa yang kita ketahui tentang sejarah Palestina di Millenium Kedua Sebelum Masehi, dan dari apa yang kita mengerti mengenai bentuk tradisi sastra kitab Kejadian, bisa disimpulkan bahwa sejarah yang diceritakan tersebut, baik dalam karya akademis maupun karya popular mengenai Kitab Kejadian, sangatlah tidak mungkin dan benar-benar mustahil.

Terakhir, “pencarian Abraham secara sejarah pada dasarnya adalah pekerjaan yang sia-sia baik bagi para sejarawan maupun para pelajar dari bible.” [56]
Dan Lane Fox mengamati: “Sejarawan tidak lagi percaya bahwa kisah- kisah Abraham adalah kisah-kisah sejarah: seperti Aeneas atau Heracles, Abraham adalah figur legenda.” [57]

------------------
[36] Artikel Macdonald. Kadar dalam Encyclopaedia of Islam, edisi pertama
[37] Wensinck, A.J. [1] The Muslim Creed. Cambridge, 1932. hal51-52 [38] Mill, J.S Three Essays on Religion. London, 1874. hal.113-114
[39] Bousquet, G.H. L’Ethique sexuelle de l’Islam. Paris, 1966. hal.9 [40] Mackie, J.L. The Miracle of Theism. Oxford, 1982. hal. 256
[41] Mackie. J.L. Ethics. London, 1977. hal.230
[42] Russell, Bertrand. Why I Am Not a Christian. London, 1921. hal. 19
[43] Flew, Antony. “The Terrors of Islam.” Dalam P.Kurtz and T. Madigan, eds., Defending the Enlightment. Amherst, N.Y., 1987. Hal.277
[44] Gibb, H.A.R. Islam, Oxford, 1953. Hal.38
[45] Mackie, J.L. The Miracle of Theism. Oxford, 1982. Hal.256 [46] Dikutip dari Dictionary of Islam, hal.147
[47] Paine Thomas. The Age of Reason. Secaucus, 1974. Hal.270
[48] Paine Thomas. The Age of Reason. Secaucus, 1974. Hal.52 [49] Mackie, J.L. Ethics. London, 1977. hal.232
[50] Voltaire. Dictionaire Philosophiqe. Terjemahan Besterman, London, 1971. hal.17 [51] Rodinson, Maxime. Les Arabes. Paris, 1991 Hal.49
[52] Watt, W. Montgomery. Muslim-Christian Encounters. London, 1991. Hal.136 [53] Ibid., hal.135
[54] Spinoza, B. A Theologico-Political Treatise. Terjemahan Elwes. New York, 1951. Hal.124
[55] Fox, R.L. The Unauthorised Version. London, 1991. Hal.176
[56] Thompson, T.L. The Historicity of the Patriarchal Narratives. London, 1974., Hal.328
[57] Fox, R.L. The Unauthorised Version. London, 1991. Hal.218