Senin, 28 Januari 2008

Aminah Islam : Melalui Seorang Juru Masak, Profesor Austria Temukan Islam

 

Katagori : Muslim Convert News
Oleh : Redaksi 24 Jan 2008 - 3:00 pm

Ia dibesarkan dengan cara Kristen konservatif. Kedua orangtuanya penganut Kristen Protestan taat. Namun ia mengenal Islam melalui seorang juru masa restoran

Lahir di Austria, namun dibesarkan di Jerman. Keluarganya adalah penganut Kristen Protestan yang taat. Namun beranjak dewasa mulai ragu dengan dogma-dogma dalam ajaran agamanya yang dianggap tidak rasional. Pencarian kebenaran pun dimulai. Pada usia 16 tahun kembali ke Austria dan meneruskan studi lanjutnya di Salzburg University hingga meraih gelar doktor ilmu Biologi.

Selanjutnya diterima sebagai dosen dan peneliti di almamaternya. Hingga, dalam sebuah perjalanan ke Mesir, ia menemukan hidayah melalui perantaraan seorang juru masak hotel yang kemudian jadi suaminya. Itulah dia Prof. Dr. Aminah Islam (54), Guru Besar Ilmu Biologi pada Universitas Salzburg yang memeluk Islam Ramadhan 2004 silam. Wanita yang malu difoto karena belum berjilbab itu menceritakan kisah perjalanan spiritualnya di situs Islam terkemuka www.readingislam.com .

"Saya lahir di Linz, Austria tahun 1953. Namun menghabiskan masa kecil di Muenchen, Jerman hingga akhirnya pindah ke Salzburg, Austria kala berusia 16 tahun," ujar Prof. Aminah di awal tulisannya. Dikatakannya, ia dibesarkan dengan cara Kristen konservatif. Kedua orangtuanya penganut Kristen Protestan yang taat. Keluarganya juga mengajarkan pendidikan etika dan moral.

Semasa remaja Aminah tidak mengikuti aktifitas di gereja Protestan. Alhasil, orangtuanya lalu memintanya untuk aktif di gereja Evangelis dan segera menjadi anggota aktif serta menjadi ketua salah satu kelompok pelajar. Ia belajar Bibel dan yakin dengan dogma bahwa Yesus adalah anak Tuhan. Demikian juga ia yakini Yesus mati disalib guna menebus dosa-dosa pengikutnya.

Pada mulanya ia jalani semua itu tanpa ada penolakan. Namun beberapa tahun kemudian, masih di komunitas yang sama, hati kecilnya mulai menolak hingga keluar dari perkumpulan itu karena bertentangan dengan rasionalnya. Secara berulangkali ia mengatakan bahwa Tuhan masih misterius baginya. Kala itu ia mulai ragu Yesus sebagai Tuhan. Sejak itula ia mulai mencari kebenaran hidup.

Aminah menyelesaikan sekolah menengahnya di kota Salzburg. Selanjutnya, di kota kelahiran komponis kenamaan Mozart itu ia meneruskan pendidikan tinggi di Universitas Salzburg dan mengambil jurusan Biologi. Belajar sembari bekerja sampingan (part time) di universitas tempatnya belajar pun dilakoni.

Setelah menyelesaikan program doktor, Aminah kemudian menikah dan prosesinya berlangsung di gereja. Dari permenikahan itu ia memiliki dua orang anak. Namun kebahagiaannya tak berlangsung lama. Karena alasan tak ada keharmonisan kemudian cerai. Sejak saat itu ia sudah mulai meninggalkan gereja.

Diterima menjadi dosen
Aminah mencoba melamar kerja karena ia sendirian mengasuh anak-anak. "Alhamdulillah saya dapat pekerjaan bagus di Universitas Salzburg sebagai staf pengajar dan peneliti di bidang Biologi," ujarnya mengenang.

Kemudian ia memutuskan menikah untuk kedua kalinya. Ketika itu ia juga masih dalam proses mencari kebenaran. Namun pernikahan kedua itu juga bak bencana dan akhirnya cerai lagi. Mirip dengan kasus pertama.

"Waktu itu suami yang kedua itu mengambil keuntungan dari pekerjaan saya sebagai dosen. Sementara ia hanya santai saja tanpa ada upaya untuk mencari dukungan financial lainnya. Sakitnya lagi, ia bahkan tidak peduli terhadap anak-anak," tukasnya lagi. Syukurnya saat cerai yang kedua itu Aminah sudah meraih posisi sebagai profesor dan memegang tanggungjawab penuh pekerjaan di kampus.

"Namun saya merasa belum mendapatkan kebahagiaan dalam hidup. Pekerjaan pun dobel dan bahkan melebihi kapasitas. Ya mengajar, mengasuh anak-anak, mengurus rumah. Hingga saya kelelahan fisik dan psikis sampai akhirnya mengalami depresi berkepanjangan. Namun saya masih bisa bertahan, itu karena anak-anak," akunya.

Selepas perceraian kedua, Aminah mengaku hidup bersama tanpa nikah dengan seorang pria yang usianya lebih muda 9 tahun dengannya. Hidup bersama tanpa nikah adalah hal lazim di dunia Barat.

"Hanya sebentar, kemudian saya ditinggalkan lagi. Sejak itu saya mulai lagi mengatur hidup sebagai wanita single, tanpa berharap akan ada pria lagi yang datang. Saya pikir untuk apa lagi. Saya sudah punya kerja, anak-anak sudah besar, punya apartemen nyaman, mobil, bisa menyalurkan hobi seperti mendaki gunung, main ski. Sudah bisa berdiri sendiri di atas kedua kaki. Saya sudah tidak punya kerinduan asmara lagi," imbuhnya lagi. Namun ia mengaku masih belum puas untuk terus mencari kebenaran dalam hidup.

Berkenalan dengan Islam
"Pengetahuan tentang Islam sangatlah minim. Masa itu yang saya tahu –melalui media- Islam agama yang tidak simpatik," ujarnya. Kala itu ia mengaku tidak pernah mendapatkan kontak dengan Islam secara langsung dan juga tidak ingin bersentuhan dengan orang-orang dari agama yang waktu itu disebutnya sebagai agama suka perang.

Sampai akhirnya situasi berubah secara tak terduga. Ceritanya, September 2002 ia bersama koleganya berencana menghabiskan liburan selama sepekan.

"Kami booking penerbangan pas detik-detik akhir. Syukurlah akhirnya dapat tawaran murah ke Mesir. Saya memang lagi ingin rilek, mengatur irama hidup kembali selepas lelah bekerja, dan berharap menemukan kebenaran yang kucari. Jujur saja, tidak ada lagi keinginan untuk menemukan pria idaman sebagai suami," ujarnya seraya melanjutkan kisahnya.

"Kala itu, persis di sore pertama kami di hotel saya pergi ke restoran untuk makan malam. Eh entah bagaimana saya bertemu pandang dengan seorang pria yang terakhir saya ketahui bernama Walid. Ia juru masak di hotel itu. Kala mata kami bertemu, hati saya bergetar aneh. Ah saya jatuh cinta lagi!. Walid menceritakan, selepas menjadi suami saya, bahwa ia juga mengalami hal yang sama pada pandangan pertama itu," kisah Aminah lagi.

Setelah kejadian itu hampir dua hari mereka tidak bertemu sampai kemudian Walid menulis sepucuk surat. Isi surat pertamanya itu Walid langsung mengajak Aminah untuk nikah.

"Liburan tinggal beberapa hari lagi dan saya merasakan hati seperti berat meninggalkan tempat itu. Akhirnya saya kembali ke Austria tanpa ada nomor kontak Walid yang dapat dihubungi. Namun dengan segera aku berpikir realistis bahwa ada pembatas yang sangat dalam diantara kami (umur, budaya, agama, pendidikan dan bahasa)," kilahnya. Namun hati tidak bisa ditipu. Akhirnya ia kembali ke Mesir dua bulan kemudian untuk mendapatkan cintanya lagi. Hanya saja masalah terbesar kala itu adalah sulitnya komunikasi karena faktor bahasa.

"Nampaknya Allah memang mengatur semua ini. Allah seakan mulai memperlihatkan jalan dalam hidupku. Beberapa hari selepas kembali ke Austria dari Mesir, seorang wanita datang dari Mesir dan bekerja sebagai peneliti tamu di institut kami selama satu tahun. Dua minggu kemudian saya pun mulai ikut kursus bahasa Arab di kampus yang ditawarkan oleh seorang profesor dari Mesir. Mereka juga mengajarkan banyak hal tentang Islam dan budayanya. Bahasa Arab adalah sebagai upaya untuk mempermudah komunikasi dengan Walid," tuturnya mengenang. Karena tertarik untuk mengetahui lebih jauh tentang Islam, ia membeli banyak buku dan sebuah terjemahan Al-Quran dalam bahasa Jerman.

Menikah diam-diam
Pada kunjungan kedua kalinya ke Mesir Aminah berkunjung ke keluarga Walid. Ia mengaku terkesan dengan Walid yang sangat ulet dan berasal dari sebuah keluarga besar yang bermata pencaharian sebagai petani. Keluarganya memegang teguh ajaran Islam.

"Saya diajak bertemu keluarga besarnya itu. Sore pertama di sana, akhirnya kami sepakat untuk menikah secara Islam. Hanya melalui bantuan penghulu setempat di desa itu. Kesannya kami menikah secara diam-diam. Semata-mata untuk menghindari kemaksiatan. Walid sangat komit dengan ajaran agamanya, bahwa laki-laki dan perempuan yang belum ada ikatan pernikahan haram melakukan hubungan yang dilarang agama."

Setelah perjalanan kali kedua itu, Aminah sempat ke Mesir beberapa kali hingga akhirnya kami bisa menikah secara resmi di Kairo.

"Saya sungguh sangat bahagia waktu itu. kami pun segera mengurus visa Walid untuk memperoleh ijin berkunjung ke luar negeri. Akhirnya Walid bisa ke Austria persis setahun selepas pertemuan pertama kami di hotel," kenangnya.

Aminah secara perlahan mulai belajar banyak hal tentang Islam, baik melalui buku-buku maupun dengan bantuan rekan-rekan muslim di Austria. Ada hal menarik, yakni tanpa disangka ia diminta oleh Cairo University untuk menjadi penguji tesis salah seorang mahasiswa di sana. Nah dari beberapa kali kunjungan akademik itulah ia akrab dengan salah satu Muslimah Mesir yang kemudian jadi tempatnya bertanya hal Islam. Ia mengaku kagum dengan kebanyakan muslim termasuk kaum mudanya yang terbuka dan sangat respek jika bicara tentang Allah dan Islam.

Segera selepas kedatangan suaminya ke Austria, merekapun mengadakan kontak dengan mesjid yang ada di kota Salzburg. Ia menerima hadiah beberapa buku. Salah satu yang sangat berkesan adalah buku "Bible, Al-Quran dan Ilmu Pengetahuan Alam" karangan Maurice Bucaille, ilmuwan Perancis. Buku itu sangat sesuai dengan aktivitas yang ia tekuni saat ini. Ia baru tahu, semua pernyataan ilmiah yang ada dalam Quran ternyata sangat sesuai dengan hasil-hasil penelitian terkini. Matanya makin terbuka.

"Al-Quran ternyata tidak hanya menjelaskan tentang Tuhan dan dunia, tapi juga semua pernyataan di dalamnya, semisal ilmu-ilmu alam, tidak kontradiksi dengan kenyataan," ujarnya. Bagi Prof Aminah yang seorang saintis ilmu alam, tentu saja penjelasan

Al-Quran makin membuatnya mantap untuk mempelajari Islam. "Semakin jelas, Islam bukanlah agama baru, tapi justru agama yang menyempurnakan agama-agama sebelumnya, misal Yahudi dan Nasrani. Nabi Muhammad sebagai nabi terakhir, yang oleh agama lain tidak diakui, adalah pembawa risalah, pembawa kebenaran yang berasal dari Allah. Tak ada yang disangsikan, Al-Quran adalah perkataan Allah dan Muhammad utusannya! Jika ini merupakan kebenaran dan saya yakin atas itu, maka saya harus menerima dan menjalankan semua isi Al-Quran," tegasnya.

Mengucap dua kalimah syahadah
Persis memasuki Ramadhan 2004, Walid menanyakan dengan bijak akankah Aminah melakukan langkah terakhir dalam pencariannya (memeluk Islam).

"Tak ada keraguan sama sekali. Saya bahkan menginginkan agar prosesi itu dilaksanakan di rumah kami dengan mengundang beberapa saudara terdekat, Muslim dan Muslimah. Alhamdulillah, Ramadhan tahun 2004 saya mengukir sejarah hidup, bersyahadah disaksikan suami, anak-anak dan beberapa rekan-rekan kami. Sungguh, saya sangat bahagia. Bahagia sekali bisa menjadi bagian dari umat Islam," kenangnya.

Mulai saat itu Prof. Fatimah berupaya untuk meningkatkan keyakinan dan ketaqwaannya kepada Allah, demikian juga pengetahuannya tentang Islam. Dan, berusaha sebaik mungkin melaksanakan ajarannya. Shalat misalnya, ternyata jauh-jauh hari ia telah belajar bagaimana menunaikan salah satu tiang agama Islam itu. Juga ia mulai berpuasa di bulan Ramadhan.

Di akhir penuturannya, ia mengakui masih ada dua masalah yang tersisa. Pertama, ia masih ragu memberitahukan hal keislamannya itu kepada kedua orangtuanya.

"Meskipun mereka telah tahu pendapat saya tentang Islam, tapi saya belum bisa beritahu bahwa saya sudah masuk Islam. Mereka sudah sangat tua dan sering sakit-sakitan. Takutnya, jika mereka terkejut bisa berbahaya bagi kesehatan. Tapi ini hanya masalah waktu saja," ungkapnya.

"Satu lagi masalah yang masih mengganjal, saya belum bisa mengenakan jilbab di tempat kerja. Memang Austria tidak ada masalah dengan Islam yang telah jadi agama negara. Namun masalahnya, masyarakat atau lingkungan di universitas saya bekerja masih tabu dengan itu."

Profesor Fatimah mengaku, kendati begitu ia tetap berjuang untuk jilbabnya itu. Buktinya, dalam setiap kesempatan ia gunakan untuk bicara dan menjelaskan tentang Islam.

"Alhamdulillah, Allah akhirnya menolong saya menemukan jalan kebenaran yang telah lama saya cari. Karena itu saya berusaha untuk menjadi muslimah yang baik. Di lingkungan kerja, saya mencoba mempraktekkan ajaran Islam yang saya ketahui dengan memberikan contoh-contoh yang bagus," tukasnya mengakhiri penuturannya kepada Readingislam. Selamat, semoga hidayah Allah kekal bersamamu saudaraku Fatimah! [zulkarnain jalil (Aceh)/www.hidayatullah.com]


Be a better friend, newshound, and know-it-all with Yahoo! Mobile. Try it now.

Yahya Schroeder : Dianggap Gila Setelah Menemukan Islam

Katagori : Journey to Islam
Oleh : Redaksi 27 Jan 2008 - 2:30 am

imageSebelumnya, ia menikmati hidup dengan hura-hura. Pesta, minum alkohol, mabuk-mabukkan. Pokoknya "happy." Tapi ia dianggap "gila" setelah menemukan Islam

Namanya Yahya Schroeder. Ia muallaf baru asli Jerman. Memeluk Islam setahun lalu atau tepatnya Nopember 2006. Saat itu ia berusia 17 tahun. Saat remaja lain sibuk mereguk nikmatnya puncak masa remaja, Yahya justru sedang berada di puncak pencarian spiritualnya. Melalui situs www.readingislam.com (11/9) ia menorehkan kisah perjalanan spiritualnya itu kepada publik, semata-mata untuk berbagi pengalaman dengan sesama saudara se-Islam, terutama yang berdomisili di negara non-Muslim.

Sebagai seorang muallaf, Yahya mengaku lebih mudah mengikuti dan mengamalkan Islam ketimbang muslim tradisonal yang lahir dan dibesarkan di Jerman.

Ada sebagian pemuda muslim yang lahir disana, sepengetahuan Yahya, justru ingin dikenal sebagai orang Jerman. "Mereka tidak bangga dengan Islamnya. Bagi mereka Islam hanyalah sebuah tradisi. Malah ada yang berani menggadaikan keislamannya hanya agar bisa berganti kewarganegaraan," ungkap pemuda murah senyum itu. Na'uzubillah!.

Memang, seperti diakui Yahya, hidup sebagai seorang Muslim di Jerman tidaklah mudah.

"Jika orang Jerman ditanya apa yang mereka ketahui tentang Islam, maka mereka akan jawab Islam identik dengan yang berbau Arab. Jadi persis seperti sebuah simbol operasi dalam matematika, Islam=Arab. Mereka belum tahu kebesaran Islam yang sebenarnya," imbuhnya.

Masa remaja penuh ceria
Yahya dibesarkan di sebuah desa kecil di pinggiran Potsdam. Ia tergolong anak keluarga berada. "Aku tinggal di sebuah rumah mewah dengan ibu dan ayah tiriku. Rumah kami memiliki halaman yang cukup luas dan ada kolam renangnya. Sebagai seorang remaja aku sangat menikmati hidup ini. Punya banyak teman, kami sering bikin pesta, minum alkohol, mabuk-mabukkan, dan acara gila-gilaan lainnya. Ya seperti kebanyakan pemuda Jerman umumnya, Pokoknya happy," ujar Yahya mengenang.

"Kala itu aku punya segalanya; rumah mewah, mobil, uang, dan berbagai macam jenis mainan canggih. Aku tidak pernah kekurangan uang, tapi entahlah, aku merasa hidup tidak tenang, selalu gelisah. Kala itu pun aku berpikir untuk mencari "sesuatu" yang lain," sambungnya.

Memasuki umur 16 tahun ia bersua dengan komunitas Muslim di kota Potsdam melalui perantaraan ayah kandungnya. Ayahnya memang telah duluan memeluk Islam tahun 2001. Ya kendati telah bercerai dengan sang ibu, namun Yahya senantiasa menjenguk ayahnya sekali dalam sebulan dan sering pula menghadiri pengajian warga muslim disana.

Secara perlahan, Yahya mulai tertarik dengan Islam. Rupanya sang ayah memerhatikan gejala itu. Sang Ayah ingin ia belajar lebih jauh tentang Islam dari orang yang memiliki ilmu yang lebih tinggi. Sejak saat itu Yahya mulai serius belajar Islam dan menghadiri forum pengajian rutin setiap bulannya.

Satu ketika, terjadilah sesuatu yang tak diinginkan, yang nantinya merubah semua jalan hidupnya. "Ceritanya, satu hari aku ikut kawan-kawan pergi berenang. Nah saat melompat ke kolam, aku terpeleset dan jatuh tidak sempurna. Akibatnya, punggungku mengalami retak berat dan kepala berbenturan hebat dengan dasar kolam. Cederaku cukup parah hingga ayah segera melarikanku ke rumah sakit."

"Di rumah sakit, dokter menyarankan agar jangan banyak bergerak. Cedera punggungku cukup parah yang mengakibatkan engsel tangan kanan bergeser. Katanya: "Nak, janganlah banyak bergerak. Sedikit saja salah bergerak bisa menyebabkan cacat nantinya." Kalimat dokter itu sungguh sangat tidak membantu. Malah membuatku tertekan luar biasa."

Sejurus kemudian, sebelum dibawa ke ruang operasi, Ahmir salah seorang sahabatnya berujar."Yahya, hidupmu kini ada di tangan Allah. Ini mirip seperti sebuah perjudian, antara hidup dan mati. Kini kamu berada di puncak kenikmatan dari sebuah pencarian. Bertahanlah, sabarlah sahabat. Allah pasti bantu." Kalimat Ahmir dirasakan Yahya sangat luar biasa. Ia sangat termotivasi dan semangat hidupnya muncul kembali.

"Operasi berjalan selama lima jam dan aku siuman selepas 3 hari. Saat terjaga tangan kananku sulit digerakkan. Namun, entah mengapa, aku merasa orang yang paling bahagia di muka bumi ini. Bahkan kepada dokter kuberitahukan bahwa aku tidak peduli dengan cedera yang kualami. Aku justru bahagia Allah masih mengizinkanku hidup," kenang Yahya.

"Dokter mengatakan aku harus tinggal di rumah sakit selama beberapa bulan. Tapi tahukah kawan, aku dirawat cuma dua pekan saja! Itu karena aku latihan rutin dan penuh disiplin. Satu hari dokter datang dan bilang: "Hari ini kita coba latihan naik tangga ya." Padahal tanpa sepengetahuan mereka sebenarnya aku telah melakukan latihan atas inisiatif sendiri, dua hari sebelum dokter datang," sambungnya. Begitulah, akhirnya ia dapat menggerakkan kembali tangan kanannya seperti sediakala dan cuma dua pekan di rumah sakit.

"Kecelakaan itu telah mengubah jalan hidupku. Aku jadi suka merenung. Jika Allah inginkan sesuatu, maka kehidupan seorang individu bisa berubah hanya dalam hitungan detik. Aku pun mulai serius berpikir tentang hidup ini dan Islam tentunya. Keinginan untuk memeluk Islam makin menjadi-jadi, yang berarti harus meninggalkan rumah, keluarga yang kucintai dan semua kemewahan hidup disana,"ungkapnya. Akhirnya ia memutuskan pindah ke Potsdam.

Kala pindah ke Potsdam Yahya cuma membawa beberapa lembar pakaian, buku sekolah dan beberapa CD kesayangannya. Ia tinggal sementara di apartemen ayahnya.

"Kecil memang tempatnya, hingga aku musti tidur di dapur. Tapi itu tidak masalah bagiku. Aku merasa bahagia. Sangat bahagia, persis seperti kala terjaga dari siuman di rumah sakit selepas kecelakaan hebat itu."

Mengucap dua kalimah syahadah
imageTak berapa lama ia mulai menjalani hari pertama di sekolah. Mendadak semua serba baru baginya. Apartemen baru, sekolah baru, teman baru dan pertamakali tanpa keluarga lengkap. Persis sehari selepas hari pertama di sekolah, ia pun bersyahadah. Begitu teman-teman sekolahnya tahu ia beragama Islam mulailah mereka mengejek dengan kalimat-kalimat usil.

"Ada teroris", "Usamah bin Laden datang," "Islam itu kotor". Begitu mereka mengejek Yahya. Sebagiannya malah ada yang menganggapnya gila. Lebih parahnya lagi, bahkan ada yang tidak percaya ia orang Jerman asli.

"Aku bisa maklumi, karena mereka hanya tahu Islam dari media yang cenderung memojokkan Islam," tukasnya

Akan tetapi setelah 10 bulan berjalan situasinya benar-benar berubah. Sikap teman-temannya berubah drastis. Rekan-rekan sekelasnya berhenti bersikap usil. Malah mereka sering bertanya tentang Islam. Pandangan mereka tentang Islam pun berubah. Menurut mereka, ternyata Islam itu cool! Indah! Subhanallah!

"Perubahan itu tentu saja tidak serta merta. Secara halus dan perlahan aku melakukan dakwah di kelas. Tentu saja bukan dengan ceramah agama. Sikap dan tingkah lakulah yang banyak membantu mereka mengenal Islam. Percaya tidak, kini aku bahkan punya ruang shalat khusus. Padahal akukah satu-satunya siswa Muslim di sekolah itu," ujar Yahya senang.

"Mereka baru tahu ternyata Islam punya adab atau tata tertib dalam hidup. Yang menarik bagi mereka, Islam tidak ekslusif, tidak mengelompokkan diri dalam kelompok-kelompok khusus. Seperti di sekolahku ini," imbuhnya.

Dikatakannya, di sekolah itu ada tiga kelompok utama yakni kelompok yang suka hura-hura. kongkow-kongkow; lalu ada kelompok punk; dan satunya lagi kelompok yang suka pesta-pestaan. Setiap orang selalu mencoba untuk jadi anggota kelompok dari salah satu grup, semata-mata supaya diterima oleh yang lainnya.

"Kecuali aku! Aku tidak masuk kelompok manapun, namun diterima oleh semua mereka. Aku bisa menjadi teman bagi setiap orang. Tidak perlu menggunakan pakaian tertentu supaya dibilang "cool." Bahkan mereka selalu mengundangku, demikian juga teman-temanku yang Islam pada acara-acara mereka," kisah Yahya.

Mereka menaruh respek pada Yahya sebagai seorang muslim. Bahkan lebih dari itu, jika ada acara mereka secara khusus menyiapkan makanan halal untuknya. Misalnya acara bakar sate, maka mereka siapkan dua alat pembakar. Satunya untuk mereka dan satunya lagi khusus untuk Yahya dan rekan-rekan Muslimnya.

"Bukan main! Kini mereka benar-benar terbuka dengan Islam. Aku hanya berdoa agar Allah beri mereka hidayah. Amiin," harapnya sembari berdoa.

Selepas memeluk Islam, kesibukan Yahya kini bertambah. Ia menjadi produser film. YaYa Productions nama perusahaannya yang berlokasi di Potsdam. Produksinya terutama film-film dokumenter yang kebanyakan mengisahkan perjalanan hidup seorang muallaf dan kebanyakan dalam bahasa Jerman dengan terjemahan bahasa Inggris.

"Tujuan aku buat film adalah untuk menunjukkan kepada kalangan non-Muslim bagaimana Islam yang sebenarnya. Jauh dari apa yang ditampilkan media selama ini. Mudah-mudahan film-film itu bisa mencerahkan pandangan mereka," ujar Yahya yang meyakini pekerjaannya itu sebagai bagian dari dakwah. [zulkarnain jalil (Aceh)/www.hidayatullah.com]


sumber Photo : http://www.friendster.com/photos/45098069/1/933401031


Looking for last minute shopping deals? Find them fast with Yahoo! Search.

Sabtu, 19 Januari 2008

Direktur Itu Bersyahadat


Cetak halaman ini Kirim halaman ini melalui E-mail
Sabtu, 05 Januari 2008
Akhirnya, "wanita menyebalkan"  dengan tertawanya yang lepas dan bersuara keras  itu mengucapkan dua kalimah syahadat dan memeluk Islam
 
Oleh: M. Syamsi Ali
Ketika pertama kali mengikuti kelas the Islamic Forum, wanita ini cukup menyebalkan sebagian peserta. Pasalnya, orangnya seringkali tertawa lepas, bersuara keras dan terkadang dalam mengekpresikan dirinya secara blak-blakan. Bahkan tidak jarang di tengah-tengah keseriusan belajar atau berdiskusi dia tertawa terbahak. Hal ini tentunya bagi sebagian peserta dianggap kurang sopan.
Theresa, demikian dia mengenalkan dirinya, sangat kritis dan agresif dalam menyampaikan pandangan-pandangannya. "From what I've learned I do believe Islam is the best religion", katanya suatu ketika. "but why women can not express themselves freely as men?, lanjutnya.
Dalam sebuah diskusi tentang takdir dan bencana alam, tiba-tiba Theresa menyelah "wait..wait…what? I don't think God will allow people to suffer". Ternyata maksud Theresa adalah bahwa Allah itu Maha Penyayang dan tidak mungkin akan menjadikan hamba-hambaNya menderita. Dia menjelaskan bahwa tidak mungkin bisa disatukan antara sifat Allah Yang Maha Pemurah dan penyayang dan bencana alam yang terjadi di berbagai tempat.
Biasanya saya memang tidak terlalu merespon secara serius terhadap pertanyaan atau pernyataan si Theresa tersebut. Saya tahu bahwa dia memang memiliki kepribadian yang lugas dan apa adanya, dan sangat cenderung untuk merasionalisasi segala hal. Belakangan saya tahu bahwa Theresa dengan nama akhir (last name) Gordon, ternyata adalah direktur sebuah rumah sakit swasta di Manhattan. Kedudukannya itu menjadikannya cukup percaya diri dan berani dalam mengekspresikan dirinya.
Namun dalam tiga minggu sebelum Ramadan lalu, terjadi perubahan drastis pada sikap dan cara bertutur kata Theresa. Kalau biasanya tertawa terbahak apa adanya, dan bahkan tidak ragu-ragu memotong pembicaraan atau penjelasan-penjelasan saya dalam diskusi-diskusi di kelas, kini dia nampak lebih kalem dan sopan. Hingga suatu ketika dia bertanya: "Is it true that Islam does not allow the women to laugh loudly?" Saya mencoba menjelaskan kepadanya: "It depends on its context" jawabku.
"Some women or people laugh loudly for no reasons but an expression of bad attitude. But some others do laugh because that is their nature", jelasku.
Maksud saya dalam penjelasan tersebut, jangan-jangan Theresa sering tertawa keras dan apa adanya memang karena tabiatnya. Bukan karena prilaku yang salah. Kalau memang itu sudah menjadi bagian dari tabiatnya, tentu tidak mudah merubahanya. Sehingga kalau saya terfokus kepada masalah ketawa, jangan-jangan dia terpental dan lari dari keinginannya untuk belajar Islam.
Suatu hari Theresa meminta waktu kepada saya setelah kelas. Menurutnya ada sesuatu yang ingin didiskusikan. Setelah kelas usai saya tetap di tempat bersama Theresa. "I am sorry Imam" katanya. "Why and what is the reason for the apology?", tanyaku. "I think I've been impolite in the class in the past", katanya seraya menunduk. "Sister Theresa, I have been teaching in this class for almost 7 years. Alhamdulillah, I've received many people with many backgrounds. Some people are very quite and some others are the opposite", jelasku. "But I always keep in mind that people have different ways of understanding things and different ways of expressing things", lanjutku.
Saya kemudian menjelaskan kepadanya karakter manusia dengan merujuk kepada para sahabat sebagai contoh. Di antara sahabat-sahabat agung Rasulullah SAW ada Abu Bakar yang lembut dan bijak, tapi juga ada Umar yang tegas dan penuh semangat. Ada Utsman yang juga lembut dan sangat bersikap dewasa, tapi juga ada Ali yang muda tapi tajam dalam pandangan-pandangannya. "Even between themselves, they often involved in serious disagreement", kataku. Tapi mereka salaing mamahami dan saling menghormati dalam menyikapi perbedaan-perbedaan yang ada.
"Do you think I will be able to change?", tanyanya lagi. Saya berusaha menjelaskan bahwa memang ada hal-hal yang perlu dirubah dari cara bersikap dan bertutur kata, dan itu adalah bagian esensial dari ajaran agama Islam. Tapi di sisi lain, saya ingin menyampaikan bahwa dalam melakukan semua hal dalam Islam harus ada pertimbangan prioritas. "I am sure, one day when you decide to be a Muslim, you will do so", motivasi saya. "But don't expect to change in one day", lanjutku.
Hampir sejam kami berdialog dengan Theresa. Ternyata umurnya sudah mencapai kepala 4. Bahkan Theresa adalah seorang janda beranak satu wanita dan sudah menginjak remaja.
Hari-hari Theresa memang sibuk Sebagai direktur rumah sakit di kota besar seperti Manhattan, tentu memerlukan kerja keras dan pengabdian yang besar. Tapi hal itu tidak menjadikan Theresa surut dari belajar Islam. Setiap hari Sabtu pasti disempatkan datang walaupun terlambat atau hanyak untuk sebagian waktu belajar.
Sekitar dua minggu sebelum Idul Adha, Theresa datang ke kelas sedikit lebih awal dan nampak berpakaian rapih. Selama ini biasanya berkerudung untuk sekedar memenuhi peraturan mesjid, tapi hari itu nampak berpakaian Muslimah dengan rapih. "You know what, I've decided to convert", katanya memulai percakapan pagi itu. "Alhamdulillah. You did not decide it Sister!", kataku. "When some one decides to accept Islam, it's God's decision", jelasku.
Beberapa saat kemudian beberapa peserta memasuki ruangan. Saya menyampaikan kepada mereka bahwa ada berita gembira. "A good news, Theresa have decided to be a Muslim today". Hampir saja semua peserta yang rata-rata wanita itu berpaling ke Theresa dan menyalaminya. "So the big lady will be a Muslim?", kata salah seorang peserta. Memang Theresa digelari "big lady" karenanya sedikit gemuk.
Menjelang shalat Dhuhur, saya meminta Theresa untuk mengambil air wudhu. Sambil menunggu adzan Dhuhr, saya kembali menjelaskan dasar-dasar islam secara singkat serta beberapa nasehat kepadanya. Saya juga berpesan agar kiranya Theresa dapat menggunakan posisinya sebagai direktur rumah sakit untuk kepentingan Islam. "Insha Allah!", katanya singkat.
Setelah adzan dikumandangkan saya minta Theresa untuk datang ke ruang utama masjid. Di hadapan ratusan jama'ah, Theresa mempersaksikan Islamnya: "Laa ilaaha illa Allah-Muhammadan Rasul Allah". Allahu Akbar! [www.hidayatullah.com]
New York, December 24, 2007
* Penulis adalah imam Masjid Islamic Cultural Center of New York. Syamsi adalah penulis rubrik "Kabar Dari New York" di www.hidayatullah.com 
Share this article


Never miss a thing. Make Yahoo your homepage.